Mohon tunggu...
Delta Mercia
Delta Mercia Mohon Tunggu... -

Pecinta dan pelaku seni musik, fotografi, dan tulisan, yang percaya pada kalimat "Bekerja adalah Cinta yang ngejawantah"...

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Sang Pecinta (Episode VII)

18 Mei 2010   21:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:07 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

****

Kesadaran Mikhael kembali dari perantauan ciptanya. Ditemuinya mahkota indah kekasihnya masih tergerai di lengan atas kirinya, dan wajah cantik itu masih di atas dadanya, serta telapak jenjang tangan kiri yang terbiasa membelainya bersemayam di solar plexusnya. Jantung Mikhael berderap bagaikan derakan langkah kaki-kaki kuat kuda-kuda liar di padang rumput. Tak habis mata air syukurnya akan kehadiran kekasihnya dalam hidup fananya sekarang. Hidup yang tiada lagi kosong, nafas yang tak lagi hampa. Kini dia melakukan segalanya dalam kebebasan nuraninya, dan dia menaruh kemerdekaan nurani itu untuk kebahagiaan Alexandria yang begitu dikasihinya. Cukup sering dia mengatakan kedalaman cintanya pada Sang Puteri, namun setiap kata yang dirangkai benak dan dilepas bibirnya tiada pernah mampu benar-benar melukiskan lukisan isi hatinya kepada Alexandria. Begitu dalamnya kasih tersebut, sehingga semua kata serasa tak lagi bermakna. Amat besarnya cinta tersebut, membuat semua kalimat tiada lagi memiliki guna. Kadangkala, Mikhael begitu berduka. Bukan oleh peristiwa-peristiwa sedih manusia fana, tapi oleh ketidak mampuan lidahnya melukis rasa setepat-tepatnya untuk Alexandria. Rasa yang baru dipahaminya setelah beberapa masa menjadi bagian dari manusia. Cinta yang baru dipelajarinya dari interaksinya dengan banyak manusia di awal kedatangannya ke bumi. Cinta yang dulu hanya berupa usikan janggal di seluruh keberadaan fisik dan mentalnya, yang akhirnya membuatnya memohon ijin dari Sang Maha Kuasa untuk menjadi mahluk fana. Begitu lirih, begitu sayup, bibirnya mendesahkan kata demi kata terbaik, hasil penemuan jiwanya sendiri, untuk Alexandria tercintanya:

"If the words of men said: You are the Love of my life, then I, Mikhael say: You are the Life of my love.

Jika kalimat manusia berkata: Engkaulah cinta bagi hidupku, maka aku, Mikhael berkata: Engkaulah hidup bagi cintaku."

Begitu lirih, begitu hati-hati diucapkannya semua itu. Membiarkan getaran hati dan molekul cinta yang mengambil peran terpenting dari tindakannya, dan menaruh pengartian kata dalam peran terakhir pernyataan perasaannya.

"Pertama kali aku memandangmu, aku melihat hakikat cinta. Dan pertama kali engkau menyentuhku, aku mengindera cinta. Dan setelah begitu banyak detik berlalu, engkau tetap Satu yang aku cinta."

Begitu sayup diucapkannya sambil mengelus rambut kecoklatan perempuan pujaannya, seperti seorang ibu yang menyanyikan nyanyian tidur bagi bayinya. Cukup jelas untuk menenangkan tidurnya, namun cukup lembut agar nyanyiannya tidak membuatnya terjaga. Keseimbangan yang sempurna, yang hanya bisa dicapai karena kualitas cinta dari sang Ibu. Kesempurnaan keseimbangan yang setara pula yang dicapai Mikhael, yang hanya bisa dicapai karena kualitas cintanya pada Alexandria.

Alexandria terbawa kembali ke dunia nyata, setelah telinganya seakan didera oleh deru jantung Mikhael tadi. Begitu nyamannya dada Mikhael, sehingga Alexandria menunda keterjagaannya selama mungkin. Dalam pejamnya, Alexandria mendengar semua kelirihan yang Mikhael tiupkan, memenuhi setiap lubang dalam rongga batinnya, menjadikannya utuh sempurna sebagai perempuan yang paling berbahagia di muka bumi, terlebih lagi di alam kahyangan tempatnya berasal, yang sehari-hari hanya penuh dengan sorakan kedigdayaan diri dan jeritan perbudakan belaka. Sekuat tenaganya Alexandria menahan buliran air mata bahagianya, agar jangan sampai Mikhael sadar bahwa dia mendengar setiap desahan bicaranya. Air mata yang keluar sebagaimana air tanah yang memancar akibat daya kapiler alamiah, bukan seperti air tanah yang terpancar akibat rekayasa cangkul-cangkul dan pipa-pipa manusia. Bagaimana mungkin lagi dia menukarkan semua ini demi kebesaran, kekayaan, dan kemakmuran Ayahandanya? Anugerah yang jauh lebih kekal daripada semua yang ditawarkan Ares pada dirinya. Kemewahan rasa yang tak mungkin mampu dibeli, dirampas, diakuisisi, dengan apapun dari yang dimiliki Kahyangan Sang Dewa Perang.

Pengembaraan benak Alexandria tertunda sejenak, karena telinganya kembali menangkap sebuah kelirihan dari bibir Mikhael, sebuah kehangatan dari hembusan nafas kekasih hatinya:

"Wajah Helen memang telah membuat Sparta meluncurkan seribu kapal perangnya untuk menghanguskan Troya, namun kesempurnaan seorang Alexandrialah yang telah membuat Surga merelakan satu Penghulu Malaikatnya, untuk memindahkan keindahan Surga ke dunia."

Tatanan kalimat Mikhael yang janggal namun indah membahagiakan, membuat Alexandria tidak lagi dapat menahan senyuman di bibir manisnya. Dia membuka matanya, sedikit menengadahkan kepala ke arah wajah Mikhael di atas kepalanya. Tanyanya,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun