****
Kelima indera Alexandria berangsur timbul ke permukaan samudera kesadaran. Semburat rasa hangat di tengkuk dan pipi kirinya, dilanjutkan dengan rasa yang sama di telapak tangan dan lengan kirinyalah yang pertama menyembul ke permukaan kesadaran itu. Walaupun hangat, namun amat sangat terasa, karena kontras dengan kekapan sejuk di sekujur anggota tubuhnya yang lain. Wangi rumput menggoda rongga hidungnya, bercampur dengan aroma daun cemara yang begitu dikenalnya sekian lama. Suara gemerisik daun-daun kapas yang bertepuk menyambut kembalinya Sang Putri ke dunia mereka, mengusik gendang telinga Alexandria. Wajahnya berhias senyuman, seakan-akan senyuman seorang putri sejagad yang sedang menerima tepuk tangan penghormatan dari para pemirsanya. Lidahnya mengecap hambar, kekeringan terkuras dahsyatnya gelegak lava gunung api percintaan yang dinikmati Alexandria sebelumnya. Penglihatannyalah yang terakhir timbul ke permukaan kesadaran, seiring dengan membukanya katup kelopak matanya. Sayu, menyaring perlahan sinar terang yang terserap tiba-tiba oleh rana mata. Bentuk bidang berputinglah tamu pertama yang datang menyapa mata Alexandria, imaji dada Sang Ksatria yang menjadi alas pipi kanannya selama terhisap ke dalam jagad bawah sadar. Bibirnya kembali menampakkan senyuman, lebih jelas dari sebelumnya, dan lebih dalam membinarkan bahagia yang tak terungkapkan dari dadanya. Telapak tangan kiri Alexandria yang sejak tadi terhampar di daerah perut Mikhael, di sekitar pusarnya, diusapkan perlahan sekali, lima milimeter per detik, ke arah dada Mikhael, untuk berkubang di kolam rambut halus tepat di atas solar plexus. Kelima jari lentiknya bertingkah seperti sekumpulan anak kecil yang sedang bermain-main siram air di sana.
Belahan bibir Alexandria mengecupi dada kekasihnya, menyusupkan kata-kata kasih sayang dan rasa terima kasih ke dalam pori-pori, atas kedamaian Surga yang telah dipersembahkan Sang Ksatria beberapa saat lalu. Matanya mengalirkan khayal, dan syukur atas segala yang telah dinikmatinya bersama Mikhael. Di luar kendali, pandangan Alexandria perlahan terbang memasuki dunia terawang. Tidak terlelap, tidak terjaga juga. Nuansa putih di kejauhan sana makin mendekat. Bentuk demi bentuk mulai mewujud, membawa sayap terawang Alexandria kembali ke tempat yang disebutnya rumah, yang telah ditinggalkannya beberapa warsa sebelumnya.
****
Di atas awan putih yang menjadi pondasinya, sebuah istana kelabu berdiri kokoh ditunjang oleh pilar-pilar perkasanya, diapit menara-menara keagungannya. Sebuah pintu besar memanggil Alexandria menghampiri, menghantar Alexandria menuju hamparan permadani merah yang sangat panjang, yang seakan membelah sebuah ruangan maha besar menjadi dua, dengan berujung pada sebuah singgasana merah, sehingga tampak seperti lidah panjang yang membakar keluar dari singgasana tersebut. Sebuah pedang besar tersampir di sebelah kanan singgasana, dan sebuah perisai di sebelah kirinya. Di atas singgasana tersebut, duduk seorang lelaki besar yang terlihat sangat perkasa dan berwibawa. Alexandria melangkahkan kakinya, meniti permadani yang menyala laksana api, sampai akhirnya berhenti beberapa meter di depan lelaki itu. Alexandria menundukkan kepalanya, menyentuhkan tangan kiri ke dadanya, dan pucuk tangan kanannya ke tengah keningnya. Suaranya mengumandang tinggi dan tegas, menepikan keheningan ke pojok-pojok ruangan besar tersebut.
"Wahai Ares yang Agung, Pelindung para pengangkat pedang dan pembawa perisai, Pemberkat setiap busur dan anak panah yang diluncurkannya, Penyuci setiap peluru yang melesat dan mesiu yang terbakar. Termuliakanlah engkau oleh setiap pekik peperangan, dan terseganilah engkau oleh setiap darah pertempuran. Inilah aku, Alexandria, putrimu, menghadap sesuai dengan kehendakmu."
Ares, Sang Dewa Perang, menegakkan tubuhnya yang terduduk di singgasana, menaruh tangan kirinya ke atas sandaran, dengan tangan kanan terkepal di atas lutut kanannya. Suaranya menghentak, bergetar seperti air pancuran yang tertahan.
"Suara burung gagak menghantarkan berita ke telingaku. Menurut mereka, engkau kembali melanggar perintahku untuk tidak sekali-kali meninggalkan istana ini. Apa yang kau lakukan? Masihkah kau tidak bisa mengerti perkataanku? Terlalu bebalkah dirimu sehingga ujung-ujung berduri dari sesahku yang berulang-ulang pun tidak mampu mendidikmu? Apakah yang kurang dari semua kemuliaan dan kekayaan yang aku berikan padamu, sehingga kau masih saja merasa perlu untuk pergi ke luar istana ini. Tiada yang bisa menjagaimu sebaik aku melindungimu. Tiada yang mampu menyakitimu, karena tiada yang cukup bernyali untuk lancang mempersengketakan kepemilikanku!"
Alexandria telah bersimpuh di atas permadani, tetap menunduk tak memandang paras ayahandanya yang sedang meradang. Telinganya mendengar setiap kata yang menyembur dari mulut Sang Dewa. Namun matanya mengawang, membayangkan senyuman gembiranya, karena untuk tersenyum di dunia realita tak cukup keberaniannya. Oleh karena itu, dia benar-benar menikmati setiap senyuman di alam pikirannya, dan membiarkan setiap kata dan kalimat yang dilontarkan ayahnya meluncur dengan amat sangat lancar. Kata dan kalimat dari lidah Ares, meluncur deras membelah atmosfir ruangan, mendobrak daun telinga kanan Alexandria, menggetarkan gendang telinganya, menembus keluar daun telinga kirinya, kemudian menguap bersama partikel uap air di udara. Amat sangat lancar, bahkan terlalu lancar.
"ALEXANDRIA", teriak Ares dengan maksud merenggut perhatian puterinya yang seperti tidak mengindahkan kata-katanya, "mengertikah kau akan semua yang baru saja aku katakan padamu?"
"Aku mengerti, Ayahanda", jawab Alexandria melembutkan aura panas yang sebelumnya meraja. "Benar, aku memang meninggalkan istana ini. Tapi aku ingin Ayah ingat, bahwa aku bukan pedang Ayah yang akan berayun kemanapun tangan Ayah mengarah. Aku bukan perisai Ayah, yang akan tetap menurut perintah Ayah untuk menghalangi hunjaman tombak yang mengarah ke tubuh Ayah, walaupun itu berarti akan melukai dan menghancurkannya. Aku bukan rompi anti peluru Ayah, yang akan tetap memeluk raga Ayah walaupun peluru-peluru berterbangan untuk mencabik-cabiknya. Aku bukan permadani yang melindungi kasut Ayah dari debu dan kubangan menjijikkan. Aku mahluk hidup, puteri Ares Yang Agung, yang punya kehendak bebas, hasrat mencari kebahagiaan, dorongan meniti jembatan kehidupan, yang tidak bisa diperlakukan sebagaimana benda mati!"