****
Mereka berada di sebuah kamar sederhana, dengan perabotan yang tidak berlebihan, namun tetap rapih tertata. Sebuah lemari coklat muda yang cukup besar di pojok kamar, sebuah tempat tidur berpegas untuk satu orang, sebuah meja biru yang di atasnya terletak sebuah komputer dan sebuah tempat pensil, dengan beberapa lembar kertas tertumpuk, sebuah rak buku yang berisikan buku-buku dari berbagai topik dan ukuran, dan sebuah meja rias putih dengan cermin yang cukup besar. Sederhana, tidak berlebihan, cukup untuk menunjang aktivitas seseorang mulai dari bangun hingga tidurnya. Namun bukan semua itu yang memukau Mikhael. Di kursi meja rias tersebut, duduk seorang perempuan. Tanpa perlu melihat ke imaji wajah dari pantulan cermin sekalipun, Mikhael sudah sanggup mengenali bentuk tubuh Alexandria, perempuan sempurna yang pernah dijumpainya itu. Rambut panjang Alexandria terlihat basah, sehabis mandi rupanya dia. Alexandria mengenakan sebuah mantel mandi berwarna ungu muda, yang tidak terikat talinya. Lengan jenjangnya mengambil sebuah sisir, dan kemudian menyisiri rambutnya dengan sangat hati-hati, menata untaian sutra tersebut helai-helainya, melepaskan segala kekusutan yang di beberapa tempat mengikat. Tuhan menyentuh punggung Mikhael, menyadarkan Mikhael dari timbunan kedetilan perhatiannya.
"Sekarang pasang inderamu baik-baik, perhatikan apa yang akan engkau lihat."
Mikhael menuruti ujaran Tuannya, memperhatikan dengan teliti setiap yang perlu dilihatnya. Seperti memakai sebuah lup, tiba-tiba detil perhatian Mikhael tersita oleh tekstur rambut Alexandria. Rambut Alexandria agak berombak, tidak lurus benar, dan berwarna sedikit kecoklatan. Alexandria berdiri, melepaskan mantel mandinya, sehingga terbukalah dirinya apa adanya. Mikhael teringat pada Hawa di Firdaus dahulu, sebelum akhirnya terpaksa diusirnya karena Hawa melanggar larangan memakan buah pengetahuan baik dan jahat. Tubuh Alexandria berbangun jenjang, langsing, yang membuatnya seakan berpostur tinggi melebihi tinggi sebenarnya. Payudaranya tidak terlalu besar, namun membulat. Pinggulnya membulat lebar, terlihat semakin lebar karena pinggangnya kecil. Ada sedikit lipatan lemak di beberapa tempat di perutnya. Kulitnya putih bersih, dipermadani barisan rambut-rambut halus berwarna coklat muda di sekujur tubuhnya. Alexandria ini sedikit berbeda dengan yang dilihat Mikhael waktu itu. Namun Mikhael tidak tahu persis apa saja yang membuatnya berbeda. Sang Maha Tahu mengetahui isi hati Mikhael.
"Lihatlah Alexandria apa adanya saat ini. Bandingkan dengan dirinya saat engkau melihatnya waktu itu. Adakah engkau melihat sedikitpun raut wajah yang tegang karena takut orang-orang melihat kelemahannya? Adakah engkau mendapati dia berjalan sambil tertunduk karena malu melihat orang-orang yang memandangnya? Tidak, Alexandria mensyukuri KESEMPURNAAN yang sudah ada pada dirinya APA ADANYA. Dia memandang dirinya sempurna, karena itulah Alexandria menjadi sempurna di matamu. Bukan karena Aku lebih mengasihi dia daripada ciptaanku yang lain, tetapi karena Alexandria tidak menyerah pada keterbatasan wawasannya tentang indah dan buruk. Dia berusaha memperbaiki apa yang dia pikir sendiri sebagai kekurangannya, dan berusaha menonjolkan apa yang dia pikir sendiri sebagai kelebihannya. Alexandria tidak terobsesi untuk merekayasa secara berlebihan hal-hal yang kurang berkenan di hatinya."
Mikhael menangkupkan tangannya di depan dadanya, keningnya sedikit berkerut mencoba menyerap sebanyak mungkin siratan dari Yang Maha Bijaksana. Dia menggigit bibirnya sendiri, dan tanpa sadar sedikit mengangguk-angguk. Mikhael mulai merasakan dalam palung hatinya, kebenaran perkataan Tuhan itu. Dia ingat, betapa Alexandria terlihat berjalan ringan seakan tak terpengaruh hukum gravitasi. Betapa bidadari itu seperti tak pernah lepas dari senyum tersiratnya, yang membuat matahari seakan memancar dari wajahnya. Betapa Sang Putri itu begitu menjadi pembawa aura bahagia bagi sekitarnya, dengan keramahan tulus yang selalu dia sampaikan kepada setiap orang yang ditemuinya. Alexandria terlihat sempurna, bukan karena Tuhan pilih kasih dalam menciptakan dirinya, namun karena Alexandria memancarkan kesempurnaan dari dalam tubir laut jiwanya.
Dan sebuah usikan janggal menggenang di dada Mikhael, seperti ketika seorang penggali sumur mencapai kedalaman air tanah yang dicarinya. Sebuah usikan yang berbeda, sebuah gelitikan yang tak dikenalinya. Benaknya tak mampu mengurai kekusutan benang batinnya tersebut. Kebingungan mendera setiap sel otaknya, mengantar pori-pori kulit Mikhael untuk mulai mengembun. Kegalauan menjemput keperkasaannya. Dan tiba-tiba, impuls syaraf-syaraf Mikhael menggerakkan otot-otot lidahnya untuk berkata,
"Tuhan, seandainya Engkau ijinkan, aku ingin melepaskan posisiku sebagai Panglima Malaikatmu. Ijinkan aku turun ke bumi, dengan meninggalkan segala yang aku miliki sekarang. Beri aku kesempatan menjadi sama seperti manusia. Menikmati tangis mereka, mengecap peluh mereka, dan merengkuh kebahagiaan mereka."
Yang Maha Mengasihi tidak terkejut, tidak juga terkesiap. Dia tahu, Dia Maha Tahu. Sebagian diriNya tahu, apa yang diminta Mikhael bahkan sebelum Mikhael memikirkannya. Tuhan memeluk Mikhael, menganggukkan kepalaNya dengan penuh pengertian, mengusap tiap pori-pori di wajah Mikhael. Dan pada akhirnya, melepaskan Mikhael pergi menjalani kehendaknya. Mikhael tersenyum lega, dan untuk terakhir kali, mencium kedua tangan dan kaki Tuhannya. Mikhael memandang wajah Tuhan, Tuhan menganggukkan lagi kepalaNya sambil tersenyum. Mikhael membalikkan badannya untuk pergi, dan senyum Sang Maha Tahu seketika menghambar, dan wajahNya menyuram tersiram titik-titik hujan dari mataNya.
****
(bersambung)