Indonesia merupakan negara yang menganut sistem pemerintahan demokrasi konstitusional. Prinsip ini tertuang dalam pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Pelaksanaan sistem demokrasi di Indonesia tampak pada penyelenggaran pilkada secara langsung. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan merupakan objek dari penyelenggaraan pemerintahan.
Hak suara rakyat dalam pilkada memiliki konsep one man one vote sehingga tercipta equality kepada setiap individu. Kepala daerah dipilih melalui pilkada dengan sistem pemungutan suara. Baik-buruknya suatu pemerintahan daerah tergantung kepada kinerja birokrasi pemerintahan terutama kinerja dan kualitas kepala daerah sehingga setiap daerah memiliki urgensi untuk memilih kepala daerah yang berkompeten.
Indonesia merupakan negara dengan penyelenggaraan Pilkada terbanyak di dunia. Sejak pilkada secara langsung dimulai dari juni 2005 hingga april 2014 telah terselenggara sebanyak 1.027 kali pilkada di 524 daerah provinsi, kabupaten dan kota se-Indonesia (http://otda.kemendagri.go.id, 2015). Dari data tersebut terhitung bahwa Indonesia menyelenggarakan pilkada sebanyak dua sampai tiga kali per hari (Djohan, 2015).
Intensitas pilkada langsung yang besar telah menimbulkan berbagai permasalahan baik dari segi pembiayaan maupun konflik sosial lainnya. Pilkada langsung yang ditandai dengan biaya mahal yang membebani APBD dan bakal calon peserta, banyaknya waktu yang tersita untuk pelaksanaan pilkada, penyelesaian perkara hukum pasca pilkada yang berlarut-larut, maraknya konflik, dan politisasi birokrasi. Menurut Sektretaris Jenderal Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra) Yuna Farhan, biaya pilkada kabupaten/kota Rp 25 miliar dan untuk pilkada provinsi Rp 100 miliar sehingga keseluruhan pilkada di indonesia membutuhkan Rp 17 trilliun sedangkan pelaksanaan pilkada serentak hanya membutuhkan Rp 10 trilliun (http://seknasfitra.org, 2012).
Upaya untuk mengatasi dampak dari pilkada langsung dengan jadwal yang tidak beraturan sesuai dengan data diatas adalah pelaksanaan Pilkada serentak. Landasan yuridis dari penyelenggaraan pilkada serentak adalah Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang yang tercantum pada pasal 3 ayat 1. Hal ini diharapkan mampu menghemat anggaran APBD terutama dalam hal percetakan surat suara dan biaya birokrasi yang terkait. Pilkada serentak menggunakan surat suara yang diatur dalam pasal 94 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 diatas memiliki tantangan berupa keterlambatan distribusi surat suara dan kerusakan surat suara maupun surat suara yang tidak sah.
Berdasarkan laporan dari Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bantul pada 20 november 2015, selama dua hari pelipatan surat suara pilkada Bantul KPU menemukan sebanyak 342 surat suara yang tidak layak digunakan karena sobek maupun terkena noda. Komisioner KPU Bantul Divisi Logistik Joko Nugroho mengatakan, ada sebanyak 710.656 lembar surat suara Pilkada berdasarkan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) ditambah surat suara cadangan sebanyak 2000 lembar sehingga total suara yang sah yang dikirim ke KPU sebanyak 712.656 lembar (http://jogja.solopos.com, 2015).
Penggunaan surat suara juga berkaitan erat dengan tindakan penggelapan surat suara yang sering dilakukan salah satunya seperti yang diungkapkan oleh Ketua Panitia Pangawas Pemilu (Panwaslu) Bandar Lampung Adek Asy’ari mengatakan bahwa “proses pelipatan suara sangat rentan rusak dan rawan pelanggaran seperti penggelapan surat suara, misalnya yang melipat membawa keluar surat suara atau bisa surat suaranya jadi rusak karena kecoblos pakai kuku atau kena rokok sehingga surat suara jadi bolong” (http://www.duajurai.com, 2015).
Berdasarkan data diatas diperoleh bahwa pelaksanaan pilkada langsung dengan menggunakan surat suara memiliki kecenderungan adanya penyimpangan sehingga cara yang lebih efektif dan efisien adalah memanfaatkan kemajuan teknologi. Pemanfaatan teknologi melalui sistem e-voting merupakan suatu wujud pelaksanaan e-government untuk mencapai smart government.
Beberapa negara telah berhasil menerapkan e-voting dalam pilkada seperti Nigeria, India, dan Brasil. Kabupaten Jembrana juga telah menerapkan e-voting dalam skala kecil khususnya dalam pemilihan kepala desa. Berdasarkan penerapan e-voting di Kabupaten tersebut diperoleh bahwa e-voting merupakan suatu konsep pemilihan yang memiliki keuntungan yang sangat banyak khususnya penghematan anggaran dalam jangka panjang karena mesin untuk e-voting dapat dipergunakan secara berkelanjutan. Selain itu, sistem e-voting memiliki keuntungan lain berupa transparansi data, keakuratan, dan kecepatan. Menurut Junaidi (2011), dalam pemilihan kepala desa dengan sistem e-voting, rata-rata waktu yang dibutuhkan pemilih untuk memberikan suaranya hanya 25.83 detik. Tingkat keakuratan hasil pemilihan akan lebih tinggi karena bebas dari kesalahan perhitungan manual dan kemungkinan manipulasi data.
Kecepatan dalam memilih menggunakan e-voting tampak pada penelitian yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Jembrana terkait Pengaruh e-voting terhadap jumlah TPS melalui perbandingan antara jumlah TPS pada Pilkades dengan jumlah TPS pada pemilihan presiden tahun 2009 di lima kecamatan. Hasilnya adalah TPS yang dibutuhkan untuk Pilpres 2009 menggunakan surat suara di lima kecamatan adalah 373 TPS dengan rata-rata pemilih 548 orang per TPS sedangkan dengan metode e-voting hanya membutuhkan 254 TPS (32% lebih sedikit) dan rata-rata pemilih 806 orang per TPS atau 47% lebih banyak (Warta Ekonomi dan Dian Rakyat, 2010: 21-22). Dari data tersebut bahwa penghematan yang diperoleh melalui sistem e-voting adalah penghematan jumlah birokrat terkait sehingga penghematan akan menjadi lebih besar ketika pilkada serentak menggunakan sistem pemungutan suara melalui e-voting.
Mewujudkan pilkada serentak yang transparan, adil, akurat, dan dapat dipertanggunggjawabkan membutuhkan sinergitas antara 4 komponen dengan konsep Trigonal Planar. Konsep Trigonal Planar medeskripsikan kerjasama antara akademisi (Academician), bisnis (Business), pemerintah (Government) dan masyarakat (Community) yang memiliki kutub tersendiri tetapi memiliki persinggungan pada tujuan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Untuk menyukseskan pilkada serentak menggunakan metode e-voting, pemerintah berkewajiban untuk membuat suatu kebijakan yang mengatur tentang penyelenggaraan pilkada serentak seperti yang telah dilakukan oleh negara India. Akademisi yang merupakan bagian masyarakat yang memiliki latar belakang pendidikan baik dalam bidang politik dan teknologi melakukan pengabdian berupa sosialisasi kepada masyarakat secara langsung untuk menjelaskan sistem baru pilkada serentak. Bisnis atau pihak swasta memiliki andil dalam memberikan dukungan kepada pemerintah untuk penyediaan mesin atau alat yang dibutuhkan. Masyarakat memiliki kewajiban untuk mendukung sistem pilkada serentak melalui pemilihan kepala daerah yang berkompeten.