Pada Desember 2015 Indonesia mulai menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). MEA dibentuk untuk mewujudkan ASEAN sebagai kawasan perekonomian yang solid dan diperhitungkan dalam sistem perekonomian internasional. MEA bertujuan mendorong tercapainya aliran bebas barang, jasa, tenaga kerja terlatih (skill labour) serta aliran investasi yang bebas. MEA akan menerapkan 12 sektor prioritas yang disebut free flow of skilled labor (arus bebas tenaga kerja terampil) untuk perawatan kesehatan (health care), turisme (tourism), jasa logistik (logistic services), e-ASEAN, jasa angkutan udara (air travel transport), produk berbasis agro (agrobased products), barang-barang elektronik (electronics), perikanan (fisheries), produk berbasis karet (rubber based products), tekstil dan pakaian (textiles and apparels), otomotif (automotive), dan produk berbasis kayu (wood based products).
MEA merupakan realisasi atas misi 2020 untuk menciptakan kawasan ekonomi yang terintegrasi dalam bentuk pasar tunggal berbasis industri bersama. Bentuk pasar tunggal menyebabkan seluruh masyarakat ASEAN dapat bekerja dan berkompetisi di seluruh negara ASEAN. Industri bersama menekankan adanya kerja sama antara setiap negara untuk meningkatkan perindustrian terutama dalam mendorong komoditas unggulan lokal menjadi produk berstandar internasional.
Indonesia memiliki peluang bersaing dalam MEA 2015. Menurut Bank Indonesia, Indonesia berada pada peringkat 16 berdasarkan besarnya skala ekonomi yang didukung oleh bonus demografi dengan besarnya usia produktif dan pertumbuhan kelas menengah yang besar. Selain itu, Indonesia juga memperoleh peringkat 4 sebagai prospective destinations berdasarkan UNCTAD World Investment Report. Pemanfaatan seluruh peluang tersebut harus didukung dengan pengerahan tindakan-tindakan yang efektif dan terarah dari segala pihak.
Perekonomian ASEAN didukung oleh Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Untuk memajukan perekonomian ASEAN maka UMKM yang ada harus didukung oleh sistem yang dapat membangkitkan semangat UMKM sehingga dapat bersaing di pasar nasional maupun internasional. Dalam hukum permintaan ekonomi dinyatakan bahwa semakin murah harga suatu barang maka permintaan akan barang tersebut juga akan semakin meningkat sehingga untuk meningkatkan jumlah penjualan komoditas lokal harus dilakukan peningkatan mutu produk melalui penyediaan sarana prasana serta lembaga yang bertugas untuk mengendalikan mutu setiap komoditas lokal yang dihasilkan oleh UMKM serta pengendalian nilai jual produk agar produk yang dibuat dapat bersaing dari segi harga yang terjangkau serta kualitas yang terjamin.
Permasalahan awal yang menghambat gerak Indonesia dalam menghadapi MEA adalah Indonesia belum siap untuk berkompetisi secara bebas. Ketidaksiapan bangsa Indonesia tampak dari meningkatnya jumlah UMKM yang gulung tikar akibat harga bahan pokok yang semakin tinggi yang menjadi imbas dari inflasi di Indonesia. Selain itu, sistem pemanfaatan UMKM dianggap kurang efektif dalam mendukung keberlanjutan UMKM disertai dengan Sumber Daya Manusia yang rendah sehingga inovasi dan kreasi yang dihasilkan sangat minim.
Langkah yang dapat dilakukan oleh Indonesia untuk mampu berkompetisi dalam MEA adalah menggabungkan teori Relativitas ke dalam Recycle System melalui Penerapan Sistem Konglomerasi dalam memajukan UMKM disertai dengan pemasaran menggunakan metode Multi Level Marketing. Teori Relativitas dianalogikan kedalam proses UMKM yang menggambarkan tinggi rendahnya pendapatan suatu usaha dipengaruhi oleh modal yang dimiliki baik bersumber dari sistem konglomerasi dengan inovasi dan kreasi untuk mengolah sumber daya. Recycle system sendiri memiliki fokus untuk memodifikasi sistem konglomerasi yang biasanya memberi keuntungan kepada “konglomerat” yang memiliki modal besar dan merugikan masyarakat dengan usaha dan modal kecil. Hasil Modifikasi yang diharapkan adalah terbentuknya pembagian keuntungan antara konglomerat dengan pemilik usaha sehingga tercapai kesejahteraan. Selain itu, inovasi pemasaran berupa metode multi level marketing diharapkan dapat meningkatkan kuantitas penjualan produk.
Sebagai contoh, Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah khususnya kayu dan rotan. Komoditi rotan digunakan sebagai bahan perabotan dan barang manufaktur lainnya. Dalam skala perdagangan internasional, nilai perdagangan rotan sebesar US$ 4 Miliar (World Resources Institute et al., 1985). Menurut Kementerian Perdagangan Indonesia menyuplai 80% kebutuhan rotan dunia dengan sumber hutan tropis Indonesia dari pulau Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi sebesar 90% dan sisanya dari budidaya. Sebagai penghasil rotan terbesar, Indonesia telah menyuplai 65 % kebutuhan rotan mentah dunia
Pada tahun 2011, dunia mengalami penurunan ekspor rotan baik dalam bentuk bahan mentah, furniture, maupun kerajinan rotan. Penyebab penurunan tersebut adalah adanya kebijakan yang membatasi jumlah ekspor rotan disebabkan jumlah rotan yang bersumber dari hutan semakin sedikit sehingga untuk mengatasi permasalahan tersebut diperlukan diadakan budidaya yang berkelanjutan serta pembenahan sistem produksi maupun pemasaran. Pasar rotan yang didominasi oleh furniture rotan mendorong untuk dilakukan diversifikasi produk furniture rotan yang didukung oleh Sumber Daya Manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H