Memang kita tidak bisa menjadi superhero seperti yang ada di film-film yang ditayangkan di bioskop. Kita tidak bisa terbang, mengangkat rumah, mengelurkan listrik, air, api, udara atau mengeraskan tanah. Kita hanya bisa melakukan sesuatu yang masuk akal dan layak dilakukan orang biasa. Namun, bukan salahnya kita berusaha untuk jadi luar bisa seperti mereka yang ada di film-film itu. Luar biasa.
Kata orang, di Indonesia itu bebas. Bebas mengaku tuhan, bebas melakukan pemberontakan dan bebas berusaha apapun. Tapi kalau ditelisik kebebasan itu ternyata ada batasan-batasannya. Luar biasa jika kita dapat menyikapi batasan tersebut dengan baik.Muncul dibenakku bertanya, “Apa sih yang membatasi kebebasan itu?” Kalau kata guruku di SMP jawabanya , “I-DEO-LO-GI” dengan suara yang dialek jawanya kental. Ternyata ideologi melahirkan peraturan perundang-undangan. Nah, konon ini yang membatasi kebebasan di Indonesia. Bukan membatasi sih tapi mengatur. Kata orang, hukum itu tidak berjalan jika tidak ada uangnya. Aku tidak setuju. Ini terlalu jahat tapi nyata. Ya sudah aku setuju. Ada yang pernah bilang, “Peraturan dibuat karena ada masalahnya.” Seketika ku berpendapat “Semakin banyak peraturannya negar itu semakin banyak masalahnya, dong?”
Masalah? Yang namanya hidup pasti punya masalah. Ini bukan waktunya memikirkan masalah pribadi yang berdampak pribadi.Ini waktunya memikirkan masalah pribadi yang dampaknya nyata luar biasa merugikan orang banyak. Baiklah. Ungkap saja tindakan korupsi yang semerbak di negeriku ini. Rasanya seperti gagal dididik. Sadis.
Siapa yang disalahkan? Tidak ada yang mengaku untuk disalahkan. Mungkin hanya sehelai rambut dari jutaan rambut yang ada di kepala manusia yang ingin mengaku. Kalau dengar berita ini, rasanya, botol Kratingdaeng yang sudah habis kuminum ingin ku pecahkan di kepala para koruptor. Disaat ayahku kerja pulang malam dalam mencari nafkah, mereka hanya mengandalkan tanda tangan dan langsung dapat uang banyak. Menjerit hati ini. Menyingkapi ini kita sebagai pemuda tak boleh diam saja. Jangan sampai beberapa tahun lagi Indonesia jadi juara dalam survei negara terkorupsi se dunia. Sakit. Itu tidak luar biasa.
Kita harus melakukan hal yang biasa namun dampaknya luar biasa. Apalagi kalu bukan perubahan karakter seperti yang digalakkan kurikulum baru ini. Biarkan ini merugikan negara 1 kali. Balaskan dengan 99 kali menguntungkan negara. Siapa lagi kalau bukan pemuda yang melakukannya.
Memang kita bukan badan legislatif yang dapat menurunkan peraturan untuk menindak perbuatan ini. Pasti kita ingin mereka dimiskinkan, ditembak mati, bahkan digantung. Tapi kita dapat menjadi badan legislatif, yudikatif, dan harus eksekutif di lingkungan kita dalam perubahan karakter baru.
Menjadi yang luar biasa dengan hal yang biasa. Percaya.
“Korupsi identik dengan mengambil hak orang lain, pelajar identik dengan penanam akhlak agama.“ Seseorang yang kuat agamanya akan tahu bahwa mengambil hak orang lain adalah dosa yang besar. Butuh penekanan dalam bidang ini. Lembaga pendidikan harus berusaha untuk menyusun kurikulum yang religius agar generasinya takut tuhan. Kita, sebagai pemuda harus berusaha menyempatkan waktu untuk mengenal tuhan. Hal biasa dampak luar biasa.
“Korupsi identik dengan kebohongan, pelajar identik dengan ujian.“ Nah kalau kita tidak ingin sejahat koruptor, kita tidak boleh berbohong saat ujian berlangsung. Kalau kata sekolahku “Mencontek adalah tindakan kejahatan.” Kebohongan dalam ujian yang aku maksud adalah contekan. Ini memang hal biasa. Tapi kalau sikap ini terus menerus menjamur, kita akan terbiasa menjadi seorang pembohong dan nanti saat jadi pejabat akan mudah tergoda dengan korupsi. Kan udah biasa toh? Kapan luar biasanya kalau gitu?
“Korupsi identik dengan uang, pelajar identik dengan belanja.” Sudah tahu dong, apa yang harus dilakukan pelajar untuk terhindar dari karakter koruptor? Nah, berhenti jadi orang yang konsumtif. Remaja yang luar biasa adalah remaja yang dapat menahan nafsunya dalam berbelanja. Jadi jika saat nanti kita tidak punya uang, kita tidak akan menghalalkan segala cara apalagi dengan korupsi untuk memenuhi kepentingan belanja ini. Tak perlu ambil uang rakyat untuk kepuasan pribadi. Sadis.
Lalu “Korupsi identik dengan kerja sama, pelajar identik dengan pergaulan.” Kalau kata ilmu sosiologi, tingkah laku berasal dari kepribadian, kepribadian berasal dari nilai dan norma yang didapat dalam pergaulan. Nah, kita harus bersusah payah untuk memilih teman karena teman-teman disekeliling kita menentukan prilaku kita. Kalau berada di lingkup orang baik kita akan menjadi baik. Namun, jika berada di lingkungan yang tidak baik, bukan tidak mungkin korupsi jadi tradisi kita. Kita tak menyadari bahwa aspek ini sangat penting. Kita juga akan jadi luar biasa jika ada di lingkup yang luar biasa. Lalu jika sudah terlanjur ada di lingkungan salah, gemana? Ya, kita harus bekerja dua kali untuk menghindari damapak negatifnya.
Kalau saja aku boleh usul. Sebelum para koruptor dimasukkan ke penjara, ia harus dihypnotherapy hingga nagis darah supaya dia paham apa yang dilakukannya menyayat hati orang-orang yang telah memilihnya.
Sebagai generasi penerus bangsa kita harus kuat menahan cobaan sejak dini. Kita ini layaknya tiang dalam sebuah rumah. Jadi kalu tiangnya tidak kokoh, apakah rumahnya akan berdiri tegak? Jangan sampai saja korupsi adalah hal yang biasa. Smpai-sampai orang yang melakukannya bilang “Korupsi?” “Ah udah biasa!” Tidak!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H