Mohon tunggu...
Della Winka Septia
Della Winka Septia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Dengar musik

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dinamika Politik Perjanjian Giyanti pada Masa Pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono I

24 Desember 2023   11:32 Diperbarui: 24 Desember 2023   11:35 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Penulis : Della Winka Septia, Zakiyah Azzahrah

Kerajaan Islam Mataram didirikan pada tahun 1586. Kerajaan Mataram pada awalnya hanyalah sebuah kerajaan di bawah kekuasaan Kerajaan Pajan. Setelah Pajan jatuh, Sutawijaya mendeklarasikan berdirinya Kerajaan Mataram. Deklarasi Kerajaan Islam Mataram dimulai setelah Sutawijaya membunuh sultan Pajang Arya Pangiri. Sepeninggal Sultan Hadiwijaya, tahta Pajang yang seharusnya diserahkan kepada Pangeran Benawa sebagai Putra Mahkota Pajang digantikan oleh Arya Pangiri. Stawijaya tidak terima dengan perlakuan Arya Pangiri yang naik takhta dan membunuh Putra Mahkota Pajang, sehingga ia melancarkan serangan ke Pajang dan berhasil merebut kembali takhta Pajang. Tahta Kerajaan Pajan diselamatkan oleh Sutawijaya dengan memindahkannya ke Mataram. Sutawijaya mengubah nama kerajaan Pajan menjadi kerajaan baru bernama Mataram (Abimanyu, 2015: 19).

 Kerajaan Islam Mataram sekilas tampak tidak bisa dipisahkan dari dua kerajaan pendahulunya, Demak dan Pajang. Kedua kerajaan Islam ini merupakan penerus kerajaan Majapahit. Oleh karena itu Kerajaan Mataram Islam juga merupakan pewaris takhta Kerajaan Majapahit, dan Raja Mataram merupakan keturunan Raja Majapahit. Lahirnya Kerajaan Islam Mataram membawa dampak yang sangat besar terhadap dinamika situasi politik di Jawa. Sejak berdirinya, Mataram mengklaim sebagai satu-satunya kerajaan yang sah di seluruh Pulau Jawa. Melihat klaim tersebut, tidak mengherankan jika perluasan wilayah menjadi perhatian utama raja-raja Mataram, terutama di wilayah pesisir dimana para ulama berperan sebagai penguasa sekaligus pedagang. Hampir seluruh wilayah Jawa Tengah dan Timur berada di bawah kekuasaan Mataram kecuali Brambangan yang tetap tidak masuk Islam seperti yang diimpikan Sutawijaya (Jajat, 2013: 21).

Meskipun Mataram gagal menaklukkan Brambangan pada tahun , kerajaan Islam Mataram menyatukan seluruh wilayah Jawa dan sekitarnya, termasuk Madura, pada Masa Keemasan. Ketika kolonialisme Barat (dalam hal ini VOC) mulai menyerbu nusantara khususnya Jawa Barat, raja Mataram yang beragama Islam pun melakukan perlawanan dan perlawanan terhadap VOC yang berpusat di Batavia (sekarang Jakarta). Setelah berhasil menaklukkan wilayah Jayakarta dari Kesultanan Banten, VOC menyerbu Batavia pada tahun 1619.Jayakarta merupakan wilayah di Jawa bagian barat yang tidak ditaklukkan oleh Kerajaan Islam Mataram (Abimanyu, 2015: 22).

Perjanjian Giyanti memutuskan untuk membagi kekuasaan Kerajaan Mataram menjadi dua: Kesultanan Kasunanan di Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Perjanjian tersebut juga menetapkan Pangeran Mankubumi sebagai Sultan Kesultanan Yogyakarta dengan gelar Sri Sultan Hamengkubwono I. Sekitar sebulan setelah Perjanjian Giyanti, Shri Sultan Hamengkubuwono I yang saat itu bermukim di Pesangrahan Ambar Ketawan mendirikan sebuah istana di pusat kota Yogyakarta yang kini menjadi pusat pemerintahan Kesultanan Yogyakarta.

Perkembangan, perubahan, dan keberlangsungan politik Kesultanan Nga Yogyakarta berbeda beda pada setiap pemerintahan karena kebijakan yang diterapkan oleh masing-masing raja yang memerintah Kesultanan Nga Yogyakarta berbeda-beda. Sri Sultan Hamengkubuwono I adalah raja pertama Kesultanan Ngayogyakarta yang memerintah dari tanggal 13 Februari 1755 sampai dengan 24 Maret 1792. Sultan Hamengkubuwono I adalah nama gelar yang dipakai oleh Raden Mas Sujana, Sultan Yogyakarta pertama, ketika memproklamirkan berdirinya Kesultanan Yogyakarta dan pengangkatannya sebagai raja. Sebelum mendapat gelar Sultan Hamengkubwono I, ia menggunakan dua nama lain: Raden Mas Sujana dan Mankubumi. Di bawah pemerintahan Sultan Hamengkubuwono I, Kesultanan Yogyakarta tumbuh dan berkembang menjadi kerajaan yang besar dan berkuasa pada masa itu. Besar dan kuatnya Kesultanan Yogyakarta berhasil mengalahkan VOC Kasunanan Surakarta dan seluruh Pulau Jawa.

 Oleh karena itu, Sultan Hamengkubuwono I berupaya menyatukan kembali wilayah kerajaan Islam leluhurnya, Mataram. Sultan Hamengkubuwono I pertama kali membangun Keraton Yogyakarta sebelum memulai rencananya menyatukan Kerajaan Islam Mataram. Langkah pertama yang dilakukan Sultan Hamengkubuwono I setelah menerima wilayah pasca Perjanjian Zyanti adalah pembangunan istana. Sultan Hamengkubwono I segera memerintahkan pembukaan Hutan Beringan. Di hutan ini terletak desa Pachetokan yang merupakan pendahulu Kesultanan Yogyakarta. Pemukiman ini dipilih oleh Sultan Hamengkubuwono I untuk membangun Keraton Yogyakarta. Hanya karena Sultan Hamengkubuwono I tidak mampu menaklukkan Surakarta dan menyatukan wilayah Mataram Islam yang terpecah, bukan berarti kepemimpinannya di Kesultanan Yogyakarta gagal.

Di bawah kepemimpinan Sultan Hamengkubwono I, Kesultanan Yogyakarta mulai berkembang pesat dan mengalami pergantian pemerintahan di bidang politik, seiring dengan masa pemerintahan Sultan Hamengkubwono I yang menandai dimulainya disintegrasi Kerajaan Islam Mataram. Salah satu perkembangan Kesultanan Yogyakarta adalah kekuatan prajurit Kesultanan Yogyakarta pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono I jauh lebih kuat dibandingkan kekuatan VOC dan Surakarta di seluruh pulau Jawa. Sultan Hamengkubuwono I juga dianggap sebagai raja terbesar kedua di Yogyakarta setelah Sultan Agung.

Referensi

Abimanyu, S. 2015. Kitab Terlengkap Sejarah Mataram. Yogyakarta : Indonesia. Jakarta: Kawan Pustaka.

Anshori, M.J. 2007. Sejarah Nasional Indonesia : Masa Prasejarah Sampai Masa Proklamasi Kemerdekaan. Jakarta : Mitra Aksara Panaitan.

Graaf, D. 1985. Kerajaan-Kerajaan Islam Di Jawa (Peralihan Dari Majapahit ke Mataram). Yogyakarta. Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun