Pelanggaran kode etik merupakan isu yang memberikan pandangan ketidakpercayaan terhadap sistem peradilan, kode etik dibuat untuk memastikan bahwa para penegak hukum, termasuk hakim dapat menjalankan tugasnya dengan profesionalisme, objektivitas, dan tanpa konflik kepentingan.
Kode etik merupakan seperangkat norma dan pedoman yang mengatur perilaku dan tindakan dalam menjalankan tugasnya agar bertujuan untuk memastikan integritas, objektivitas, dan keadilan dalam sebuah proses persidangan. Dalam hal ini hakim diharapkan untuk mematuhi kode etik agar menjaga kepercayaan publik terhadap sistem peradilan, menghindari suatu konflik dalam kepentingan, dan dapat bertindak profesional serta bertanggung jawab dalam setiap keputusan yang telah diambil.
Pelanggaran kode etik di Indonesia terjadi, baik berupa penyalahgunaan wewenang, ketidakadilan dalam pengambilan keputusan, ataupun pengabaian terhadap suatu bukti yang relevan. Sehingga memberikan dampak yang tidak hanya dirasakan oleh pihak-pihak yang terlibat tetapi merusak kepercayaan masyarakat terhadap lembaga hukum secara menyeluruh.
Hal ini menimbulkan pertanyaan, bagaimana jika hakim dalam proses persidangan melakukan suatu pelanggaran kode etik dalam memberikan keputusan?
Kasus pelanggaran kode etik hakim yang terlibat suap di Indonesia, salah satu kasus yang paling menonyol Pada kasus pembunuhan yang telah menjerat Gregorius Ronald Tannur yang terjadi Pada 04 Oktober 2023 di tempat karaoke di Surabaya. Polrestabes Surabaya yang telah menangani kasus tersebut menyatakan bahwa Gregorius Ronald Tannur telah melakukan penganiyaan terhadap kekasihnya, sehingga Gregorius Ronald Tannur ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat Pasal 338 subsider dan Pasal 351 ayat (3) KUHP, Gregorius Ronald Tannur dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) selama 12 Tahun penjara.
Namun Pada Senin 22 Juli 2024 ketiga hakim yang bernama Erintuah Damanik, Heru Hanindyo, dan Mangapul telah memberikan vonis bebas kepada tersangka (Gregorius Ronald Tannur) yang tercantum pada Putusan Nomor 454/Pid.B/2024/PN.Sby, yang menyatakan bahwa tersangka tidak terbukti secara sah dalam melakukan tindak pidana yang telah didakwakan, namun vonis pembebasan Gregorius Ronald Tannur menjadi sorotan karena tidak beralasan hakim tersebut hanya mempertimbangkan dengan tidak adanya saksi pada saat kejadian, kemudian tidak mempertimbangan bukti-bukti yang telah dijukan oleh JPU, dan hakim tersebut mempertimbangkan dengan adanya pengaruh alkohol pada saat peristiwa terjadi. Hal ini penyidik Jampinsus Kejagung telah mengurigai adanya ketadakberesan dalam putusan tersebut.
Pada Rabu 24 Oktober 2024 Penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana (Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung) telah melalukan penahanan kepada ketiga hakim tersebut , karena dugaan suap dan gratifikasi dalam memberikan putusan bebas kepada Gregorius Ronald Tannur di Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. Ketiga hakim tersebut menerima uang suap sebesar Rp3,5 Milyar dari Ibu Tersangka, suap tersebut diberikan untuk tujuan memberikan vonis bebas kepada Gregorius Ronald Tannur karena tidak terbukti telah melakukan pembunuhan dan penganiayaan terhadap kekasihnya.
Pelanggaran berat yang dilakukan oleh ketiga hakim tersebut jelas bertentangan dengan Kode Etik Hakim, yang seharusnya Hakim bertindak tanpa memihak, mempertimbangkan semua bukti secara adil, dan memberikan keputusan berdasarkan pada fakta serta hukum yang berlaku. Suap yang telah diterima oleh ketiga hakim tersebut menciptakan suatu pandangan negatif terhadap penegakan hukum. Sehingga Komisi Yudisial (KY) dapat bertindak sebagai pengawas kode etik hakim memberikan saksi terhadap hakim yang melanggar kode etik, termasuk pada pengawasan yang ekternal untuk mencegah pelanggaran tersebut.