Mohon tunggu...
Della Cindy
Della Cindy Mohon Tunggu... Guru - Guru Bimbingan Konseling

Edu-Psychology

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Perilaku Self-Injury pada Siswa: Sikap Manipulatif atau Permasalahan Psikologis

5 Juli 2024   10:10 Diperbarui: 5 Juli 2024   10:15 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Secara umum guru serta masyarakat umum memiliki kecenderungan pandangan atau persepsi yang justru negatif pada siswa atau individu yang melakukan perilaku self-injury. Pelaku self-injury dilihat sebagai pribadi yang yang memiliki kepribadian buruk, serta melahirkan anggapan bahwa siswa yang melakukan self-injury merupakan siswa yang berbahaya, memiliki kepribadian suka mencari perhatian, dinilai sebagai individu yang rapuh, lemah, tidak kompeten, pelaku merupakan seseorang dengan sikap manipulatif hingga pemikiran bahwa pelaku self-injury adalah orang -- orang yang ingin bunuh diri (Banerjee & Meheli, 2022).  

Self-injury melibatkan sebuah perilaku pengambilan tindakan yang menyebabkan kerusakan jaringan, perilaku self-injury pada  seringkali dipandang sebagai perilaku yang melanggar aturan sosial, tidak hanya sebagai perilaku patogenesis yang menyebabkan luka atau kesakitan  namun juga dianggap sebagai perilaku penyimpangan sosial  yang dilakukan oleh individu atau siswa secara sukarela seringkali siswa yang mencoba melakukan self-injury akan memperoleh label atau kata -- kata kasar hingga tanggapan seperti gila, bodoh egois, sehingga membuat siswa, merasa malu, rendah diri, jijik, marah pada diri sendiri sehingga enggan mengungkapkan perilaku mereka (Banerjee & Meheli, 2022) (Tan et al., 2024)

Siswa dengan perilaku self-injury menceritakan umumnya mereka yang mengatakan perilaku mereka pada guru atau orang tua mereka akan memperoleh respon seperti "apa yang kamu lakukan, apakah kamu bodoh, kenapa kamu melakukan ini, hingga kalimat kenapa kamu merugikan diri sendiri. Mereka juga menceritakan akan memperoleh tanggapan yang seakan menganggap gila seperti kalimat "mereka aneh, mereka adalah orang gila mengapa mereka melakukan hal seperti itu", hingga kalimat menyakitkan seperti "untuk apa  kamu melakukan ini apakah kamu butuh perhatian", hingga paksaan untuk terus berpikir positif seperti "tidak bisakah kamu mengendalikan pikiran, dan berpikir lebih positif lagi" dan sebagainya masih banyak lagi. Persepsi dari masyarakat diatas akan memberikan pengaruh pada stigma diri. Stigma diri muncul ketika seseorang menginternalisasi stigma publik dan menurunkan harga diri dan efikasi diri yang mempengaruhi sikap individu (Emqi & Hartini, 2022).

Emotional Quotient, Ending Self-Stigma serta Self-Compassion

Meskipun seringkali dipandang sebagai perilaku penyimpangan sosial, hingga wujud kepribadian buruk pada seseorang self-injury nyatanya merupakan sebuah fenomena psikologis atau kondisi psikologis dimana perilaku tersebut hadir karena ketidak mampuan seorang siswa melakukan pengendalian, penyampaian emosi yang dirasakan. Seorang individu dengan kecenderungan perilaku self-injury nyatanya merupakan individu yang mengalami berbagai masalah fungsi interpersonal dan intrapersonal termasuk permasalahan pengaturan emosi, perilaku penghindaran rasa sakit secara psikologis yang dilimpahkan dalam bentuk melalui merasakan sensasi sakit secara fisik  (Banerjee & Meheli, 2022).

Seringkali perilaku melampiaskan rasa sakit secara psikologis yang dilakukan melalui perilaku self-injury akan menyebabkan bekas luka tertinggal berupa jaringan parut yang tertinggal akibat bekas luka sayatan, goresan yang justru meningkatkan persepsi negatif publik serta diri sendiri. Kondisi adanya bekas luka akan menimbulkan perasaan marah, jijik, malu, dan stigma diri yang dimiliki individu sehingga memperbesar siswa dengan perilaku self-injury memilih menyembunyikan perilaku self-injury mereka dan tidak memperoleh bantuan (Banerjee & Meheli, 2022).

Kecerdasan emosi (emotional quotient) merupakan kapasitas yang dimiliki seseorang untuk mengenali perasaan sendiri, perasaan orang lain, kemudian kapasitas memotivasi diri sendiri dan kapasitas mengendalikan emosi sendiri dengan baik dan mengendalikan emosi ketika berelasi dengan orang lain yang membantu seseorang menyadari dan memperhatikan hal-hal yang berlangsung dalam diri, merefleksi diri, mengamati dan menggali pengalaman pengalaman yang disadari dan tidak, termasuk emosi. Individu yang memiliki kesadaran serta kecerdasan emosional memiliki kesadaran diri yang baik sehingga  mampu mengenali emosi dan pengaruhnya, termasuk menyadari keterkaitan antara emosi yang sedang dirasakan. kecerdasan emosional sebagai kapasitas untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi; mengontrol dan mengelola dorongan hati dan menampilkan kesenangan; mengatur suasana hati dan menjaga supaya beban stres tidak melemahkan kemampuan berpikir, berempati dan berdoa. kecerdasan emosional merupakan kapasitas untuk melihat, menilai, dan menampilkan emosi secara efektif, memahami emosi, menggunakan perasaan untuk mengarahkan proses kognitif dan tindakan serta kapasitas untuk mengatur emosi dalam diri sendiri dan orang lain (Primanita, 2020).

Aspek-aspek kecerdasan emosional yaitu:

  • Mengenali diri, yaitu kemampuan individu untuk menyadari dan memahami keseluruhan proses yang terjadi di dalam dirinya, perasaannya, pikirannya, dan latar belakang dari tindakannya  
  • Mengelola diri, yaitu Menangani emosi, menunda kenikmatan
  • Memotivasi diri, yaitu menggunakan hasrat yang paling dalam untuk menggerakkan dan menuntut kita menuju sasaran dengan inisiatif dan bertindak secara efektif.
  • Mengenali emosi orang lain, yaitu kemampuan individu untuk memahami perasaan, pikiran dan tindakan orang lain
  • Membina hubungan, yaitu kemampuan individu untuk membangun hubungan secara efektif dengan orang lain (Primanita, 2020).


Sementara itu ending self-stigma merupakan intervensi untuk mengurangi stigma dengan prinsip-prinsip menggabungkan teknik kognitif-perilaku, pendidikan yang relevan, latihan memperkuat kesadaran dan menggunakan kekuatan diri sendiri, serta mengubah perspektif seseorang (Ardiyani & Muljohardjono, 2020). Sebagian siswa yang memperoleh pengalaman  persepsi negatif dari publik atau orang lain secara berulang dan terus menerus akan merasakan adanya perasaan malu terkait citra tubuhnya serta terjadi penurunan tingkat rasa keberhargaan diri yang berkaitan dengan penampilan hingga perasaan negatif akan dirinya.
Self-compassion pada dasarnya merupakan proses multidimensi yang terdiri atas empat komponen utama, yakni komponen kognitif berupa kesadaran akan penderitaan; komponen afektif berupa kekhawatiran atau perhatian simpatik yang berkaitan dengan tergerak secara emosional terhadap penderitaan; aspek intensi berupa sebuah harapan atau keinginan untuk melihat resolusi atau kelegaan dari penderitaan; serta aspek motivasional berupa responsivitas atau kesiapan individu untuk membantu meringankan penderitaan yang membantu individu mengakhiri atau melakukan upaya ending self-stigma hingga pada akhirnya pada akhirnya dapat berfokus pada resolusi ketimbang terlalu berlarut pada penderitaan, atau pemikiran negatif (Wijaya & Hidayat, 2023).

Lalu Apa Yang Harus Dilakukan
Perilaku self-injury merupakan perilaku yang tidak dapat dihindarkan dari pandangan masyarakat sekitar bahkan guru sekalipun yang mestinya mampu memberikan pertolongan bagi siswa untuk meregulasi emosi nya, mengatasi dan memitigasi stigma menjadi penting untuk memfasilitasi pencarian bantuan dan memfasilitasi proses pemulihan pada perilaku self-injury terlebih dahulu yang dapat dilakukan adalah melalui upaya pemberdayaan diri seorang individu untuk mengatasi persepsi negatif masyarakat akan perilaku self-injury dan mengakhiri atau melakukan upaya ending self-stigma melalui upaya self-compassion serta emotional quotient, yakni latihan memperkuat kesadaran dan menggunakan kekuatan diri sendiri, serta serta  sikap menerima dengan sadar kesakitan yang dirasakan serta penderitaan yang dirasakan termasuk penderitaan psikologis, pemberdayaan, memperkuat kesadaran, sikap menerima bekas luka, serta melalui upaya emotional quotient dengan cara memahami keseluruhan proses yang terjadi di dalam diri, menangani emosi, menunda kenikmatan yang diperoleh dari melukai diri, memahami perasaan, pikiran dan tindakan orang lain guna mengubah perspektif seseorang serta menghilangkan stigma pada diri sendiri.
Ending self-stigma, emotional quotient serta self-compassion membantu siswa dengan perilaku self-injury. memperkuat kesadaran dan menggunakan kekuatan diri sendiri, serta serta sikap menerima dengan sadar kesakitan yang dirasakan serta penderitaan, membantu siswa tidak malu serta jijik pada luka bekas self-injury yang dimiliki hingga membantu siswa mencari pertolongan, serta membantu mencegah siswa melakukan perilaku self-injury dengan membantu siswa memahami emosi mereka, meregulasi emosi mereka. Siswa harus menghentikan stigma serta pandangan buruk mereka atas perilaku self-injury yang mereka lakukan, menyadari dengan penuh untuk tidak malu memiliki bekas luka, tidak merasa jijik sikap menerima dengan sadar kesakitan yang dirasakan serta penderitaan yang dirasakan termasuk penderitaan psikologis emosional yang dirasakan, mengenali, mengelola emosi, serta menunda mencari kenikmatan untuk melampiaskan emosi serta  memahami perasaan, pikiran dan tindakan orang lain guna mengubah perspektif seseorang untuk menekan persepsi negatif publik.

DAFTAR PUSTAKA

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun