Belakangan ini, istilah "mental stroberi" semakin sering dilemparkan ke generasi Z. Katanya sih, generasi yang lahir di era digital ini gampang rapuh, sensitif, dan mudah terluka kayak buah stroberi. Tapi tunggu dulu, mari kita bedah bareng-bareng, apakah julukan ini memang pas atau justru cuma bentuk kegelisahan generasi sebelumnya yang nggak paham konteks zaman now.
Generasi Z tumbuh di era yang bener-bener beda. Mereka hidup di dunia yang super terhubung, di mana informasi mengalir secepat jempol scrolling feed Instagram. Ketika generasi sebelumnya bangga dengan motto "bekerja keras sampai tumbang", Gen Z justru dengan lantang berkata, "Work-life balance adalah hak asasi!" Bukan mental stroberi, tapi ini namanya kesadaran diri yang tinggi.
Coba deh kita flashback ke masa lalu. Generasi sebelumnya mungkin terbiasa dengan kultur "terima nasib" dan "yang penting bertahan". Tapi Gen Z? Mereka berani speak up ketika melihat ketidakadilan. Mereka vokal soal kesehatan mental, kesetaraan gender, dan isu-isu sosial lainnya. Kalau ini dibilang mental stroberi, berarti definisi stroberi perlu direvisi.
Yang lucu, ketika Gen Z menuntut lingkungan kerja yang lebih manusiawi, mereka malah dibilang manja. Padahal, bukankah wajar kalau mereka nggak mau hidupnya cuma dihabiskan untuk kerja rodi? Mereka paham banget kalau hidup bukan cuma soal mengejar materi, tapi juga tentang kesehatan mental dan kebahagiaan personal.
Soal kepekaan sosial, Gen Z justru patut diacungi jempol. Mereka adalah generasi yang paling aware sama isu lingkungan, kemanusiaan, dan keadilan sosial. Ketika ada yang bilang "dulu juga begitu", Gen Z berani bilang "tapi sekarang harus lebih baik." Ini bukan soal mental stroberi, tapi mental progresif yang berani melawan status quo.
Belum lagi soal kreativitas dan adaptasi teknologi. Gen Z tumbuh besar dengan smartphone di tangan, membuat mereka jago multitasking dan cepat beradaptasi. Mereka bisa jualan online sambil kuliah, bikin konten kreatif sambil aktivis sosial. Mental stroberi dari mananya coba?
Dan hey, mari kita bicara soal resiliensi Gen Z dalam menghadapi dunia yang makin chaos ini. Mereka tumbuh di tengah pandemi global, krisis ekonomi, dan ketidakpastian masa depan yang bikin pusing. Tapi lihat nih, mereka tetap bisa survive dengan cara mereka sendiri. Bikin podcast, jadi content creator, atau membangun startup dari kamar tidur. Kalau ini dibilang lemah, yang bilang mungkin perlu dicek matanya.
Yang lebih keren lagi, Gen Z punya keberanian untuk mendobrak norma-norma toxic yang udah mengakar. Mereka berani bilang "no" ke toxic positivity, kultur lembur yang nggak masuk akal, dan ekspektasi sosial yang memberatkan. Ini bukan soal sensitivitas berlebihan, tapi soal berani membuat batasan yang sehat.
Jadi, next time kalau ada yang bilang Gen Z mental stroberi, coba tanya balik: "Emangnya kenapa kalau kayak stroberi? Stroberi itu manis, banyak vitamin C, dan punya nilai jual tinggi di pasaran!" Ya kan? Lagian, lebih baik jadi stroberi yang berani speak up daripada jadi batu yang diam aja diinjak-injak.
Yang perlu kita pahami, setiap generasi punya tantangan dan caranya sendiri dalam menghadapi hidup. Daripada sibuk men-judge dengan istilah "mental stroberi", mending kita appreciate cara Gen Z dalam membawa perubahan positif ke dunia. Toh, pada akhirnya, yang kita butuhkan bukan generasi yang kuat menahan derita, tapi generasi yang berani memperjuangkan kehidupan yang lebih baik.
Jadi, mental stroberi? Bring it on! Toh stroberi tetap jadi salah satu buah premium yang paling dicari. Sama kayak Gen Z, sensitif bukan berarti lemah, justru peka terhadap hal-hal yang perlu diubah. Dan mungkin, justru inilah yang dibutuhkan dunia saat ini: generasi yang berani menunjukkan kelembutan sekaligus kekuatan untuk membawa perubahan!