Mohon tunggu...
Despa Liana Sari
Despa Liana Sari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Andalas dan Podcaster di spotify

Mahasiswa baru di Universitas Andalas yang sedang giat - giatnya mengerjakan tugas. Memiliki hobby menulis puisi sejak SMP dan suka bercerita. Memiliki podcast di spotify yaitu podcast bercerita oleh delisa yang membahas tentang permasalahan sehari - hari.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Maraknya Ujaran Kebencian di Media Sosial: Dampak dan Tantangannya

14 Juni 2024   00:34 Diperbarui: 14 Juni 2024   00:37 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seiring dengan perkembangan zaman, media sosial telah menjadi tempat bagi masyarakat untuk menghabiskan waktu. Di media sosial, pengguna sering membagikan aktivitas sehari - hari sebagai bentuk ekspresi diri. Tidak jarang, unggahan-unggahan tersebut menarik perhatian pengguna lain. Berbagai platform media sosial telah lama menyediakan kolom komentar sebagai sarana umpan balik untuk unggahan pengguna. Komentar-komentar ini sangat beragam, mulai dari tanggapan atas kegiatan serupa, pujian, kritik, hingga ujaran kebencian yang belakangan ini semakin sering ditemukan.

Ujaran kebencian di kolom komentar sangat mudah ditemui. Setiap saat, ada saja pengguna media sosial yang tidak menyukai suatu unggahan dan tidak mampu mengendalikan rasa ketidaksukaannya. Ujaran kebencian tersebut bisa berupa rasisme, pencemaran nama baik, perundungan, fitnah, ejekan, dan sebagainya. Kalimat-kalimat buruk ini bisa menimpa siapa saja. Bukan hanya figur publik yang bisa mendapatkan kecaman dari pengguna media sosial, tetapi bahkan anak-anak yang tidak tahu apa-apa terkadang menjadi sasaran empuk bagi pengguna media sosial yang tidak bijaksana.

Maraknya ujaran kebencian ini dapat kita jumpai di beberapa media sosial populer seperti Instagram, X (sebelumnya dikenal sebagai Twitter), TikTok, dan Facebook. Hal ini dapat dibuktikan dengan mudah. Ketika kita membuka kolom komentar suatu unggahan, terutama unggahan figur publik, dengan cepat kita akan menemukan berbagai komentar yang berisi ujaran kebencian, baik yang positif maupun negatif. Pelaku penyebar ujaran kebencian di media sosial biasanya menggunakan nama samaran agar tidak mudah dikenali dan menghindari sanksi sosial.

Sebenarnya, ujaran kebencian juga bisa kita temui di dunia nyata. Namun, penggunaan ujaran kebencian di media sosial jauh lebih marak. Hal ini terjadi karena identitas penyebar ujaran kebencian di media sosial sulit dilacak. Akibatnya, orang merasa tidak memiliki batasan saat mengeluarkan pendapat di dunia maya.

Fenomena ini menimbulkan berbagai dampak negatif, baik bagi individu yang menjadi korban maupun bagi masyarakat secara keseluruhan. Bagi korban, ujaran kebencian dapat menyebabkan stres, depresi, dan penurunan rasa percaya diri. Dalam beberapa kasus, hal ini bahkan bisa mendorong korban untuk melakukan tindakan ekstrem, termasuk bunuh diri. Bagi masyarakat, penyebaran ujaran kebencian dapat memperburuk polarisasi sosial, memperkuat stereotip negatif, dan mengikis rasa saling percaya di antara individu.

Upaya untuk mengatasi maraknya ujaran kebencian di media sosial telah dilakukan oleh berbagai pihak, termasuk pemerintah, platform media sosial, dan organisasi non-pemerintah. Pemerintah telah memberlakukan undang-undang yang mengatur tentang ujaran kebencian dan menyediakan mekanisme pelaporan bagi korban. Platform media sosial juga semakin ketat dalam memantau konten dan menerapkan algoritma untuk mendeteksi dan menghapus ujaran kebencian. Selain itu, kampanye edukasi dan peningkatan literasi digital gencar dilakukan untuk mengajarkan pengguna media sosial tentang pentingnya berkomunikasi dengan bijak dan bertanggung jawab.

Namun, upaya-upaya ini masih menghadapi berbagai tantangan. Kebebasan berekspresi sering kali dijadikan alasan untuk membenarkan ujaran kebencian, dan tidak sedikit pula yang menganggap bahwa tindakan pemerintah dan platform media sosial dalam memoderasi konten adalah bentuk sensor yang berlebihan. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang lebih holistik dan kolaboratif untuk menangani masalah ini. Edukasi dan peningkatan kesadaran masyarakat tentang dampak negatif ujaran kebencian perlu terus ditingkatkan, begitu pula dengan upaya untuk memperkuat mekanisme pelaporan dan penegakan hukum.

Pada akhirnya, tanggung jawab untuk menciptakan lingkungan media sosial yang sehat dan aman bukan hanya terletak pada pemerintah dan platform media sosial, tetapi juga pada setiap individu sebagai pengguna. Dengan saling menghormati dan berkomunikasi secara positif, kita dapat bersama-sama memanfaatkan media sosial sebagai ruang yang mendukung pertumbuhan dan kesejahteraan bersama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun