"Menulis adalah bekerja untuk keabadian"Â Pramoedya Ananta Toer, Minke dalam Tetralogi Pulau Buru.
Bagi orang yang membanggakan konsep literasi di sebuah kota industri yang tidak ramah akan nilai literasi, bahkan pendidikan. Mereka adalah seumpuma akar rumput yang tumbuh di sela bebatuan. Tumbuh bersusah payah, berusaha mendobrak tatanan hidup keseharian, atau patah-tumbuh-hilang-lalu mati.
Serupa dengan apa yang dilakukan sahabat saya Kasiyanto Bin Iskandar bersama teman-temannya dari internal Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dalam Geraka Hang Nadim Menulis (Gerhanalis).
Gerakan ini berawal dari program menulis seminggu sekali untuk media lokal Haluan Kepri, dalam sepekan mereka kirimkan tulisan dengan tema yang berbeda-beda; politik, sejarah, keislaman, pemuda dan lain-lain.
Sartre, semasa hidupnya pernah mengatakan "kesadaran selalu muncul bersamaan dengan hasrat". Hal yang sama juga berlaku pada lingkaran sababat saya ini.
Berawal dari kesadaran pikiran jika mereka bisa nulis di koran berarti kemungkinan besar mereka juga akan bisa menulis di buku, dalam hal ini saya melihatnya serupa hasrat. Sementara bagi saya yang juga mencintai literasi, sabda singkat seharusnya dikemukakan, "Ya, harus bisa!".
Berbicara tentang kesadaran, Hegel dalam rona pantulan kehidupan, mengatakan, "kesadaran diri akan tumbuh ketika manusia berhasil menjadikan dirinya sendiri sebagai obyek refleksi (pantulan)". Sementara pantulan yang muncul dalam lingkaran komunitas sahabat saya ini adalah kala mereka memahami, "Menulis di koran bisa, kenapa tidak dengan membukukan ide dan gagasan itu dalam sebuah karya tulisan berbentuk buku".
Kasyanto sempat berucap, bahwa dasar dari hasrat atau keinginan menerbitkan tulisan mereka adalah agar setiap gagasan itu tidak hilang begitu saja. Jadi tercetuslah keinginan bersama untuk menulis dan menerbitkan buku.
Jauh hari, beberapa tahun yang lampau, sosok legenda kesusastraan Indonesia, Pramoediya Ananta Toer biasa dipanggil Pram menukilkan kalimat ideal tentang kepenulisan. "Menulis adalah bekerja untuk keabadian" tulisnya menggunakan sosok Minke dalam Kuartet Pulau Buru termasyhur itu.
Bagi orang yang memahami literasi dan pentingnya ide pembukuaan, saya menganggap dasar-dasar kecemasan sahabat saya adalah, perihal kata-kata yang terucap kapan saja akan bisa hilang tersapu angin, Ia serupa debu beterbangan. Hanya satu cara agar kata, ide dan gagasan menjadi abadi, yakni dituliskan atau dibukukan.