Polemik GAFATAR yang membuat resah ternyata juga berdampak dengan Penulisan berita yang membuat resah oleh oknum awak media. Ditengah "hingar bingar" nya fenomena GAFATAR tersebut, kecenderungan "kejar setoran" dari oknum awak media kadang memuat berita yang cenderung melenceng dan kurang berbobot.
Misal pada salah satu media cetak dan online nasional yang memuat berita regional dan berkantor di Kaltim (link berita : http://www.tribu##ews.com/regional/2016/01/20/waspada-enam-kabuatenkota-di-kaltim-ini-ternyata-restui-keberadaan-gafatar) (angka ## diganti nn.red) memuat berita yang kurang mengenakan dan melenceng dari fakta di lapangan. (posting Minggu, 24 Januari 2016) dengan tagline “Waspada, Enam Kabupaten/Kota Kaltim ini ternyata Restui Keberadaan Gafatar”. Ternyata setelah di baca inti dari pemberitaan ini adalah adanya forum Kordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) dengan penyampaian Gubernur Kaltim, Awang Faroek Ishak. Bekal komfirmasi yang “dianggap” melegitimit pemberitaan miring ini adalah "Dari informasi intelejen yang saya terima, Gafatar itu ada diBalikpapan, Samarinda, Bontang, Berau, Kutai Barat dan Kutai Kartanegara," kata Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak, usai rapat tertutup dengan Pangdam, Kapolda, BNPT dan elemen mastarakat lainnya, Rabu (20/1/2016). (dikutif dari media yang bersangkutan)
Pemberitaan ini saya anggap hanya berbekal ilmu jurnalistik yang kurang memadai dari reporter yang bersangkutan. Bentuk statement seperti ini tidak dapat di jadikan dasar atas pembentukan opini bahwa “Gafatar di restui di Kaltim”. Seperti yang sudah saya tuliskan pada salah satu artikel sebelumnya di Kompasiana dengan judul “Eksodus Gafatar”(http://www.kompasiana.com/delinayusuf/eksodus-gafatar_56a09d5665afbd2609917f58) bahwa berdasarkan hasil liputan bersama rekan-rekan media dan kepolisian setempat, salah satu perkampungan Eksodus Gafatar di Kec. Samboja, Kab. Kutai Kartanegara di beri waktu selambat-lambarnya 7 hari (terhitung tanggal 19 Januari 2016 untuk di pulangkan ke daerah asalnya. Hal serupa pula di lakukan pada beberapa wilayah lainnya seperti Samarinda (daerah Kel. Tanah Merah), Desa Loleng (Kec. Kota Bangun), Dusun Antai (Kec. Sebulu) dan daerah-daerah lainnya. Warga Kaltim khususnya merasa resah dengan keberadaan eksodus Gafatar tersebut yang membentuk “perkampungan baru” di luar wilayah desa perkampungan warga. Kegiatan yang dilakukan pun cenderung tidak berbaur dengan masyarakat setempat sehingga menimbulkan prasangka buruk dari warga. Hal ini di perparah dengan berbagai pemberitaan yang menyebut Organisasi GAFATAR sebagai dalang di balik hilangnya sejumlah warga di daerah lain serta “dugaan” GAFATAR menganut ajaran yang salah (walau jika di kaji lebih dalam belum tentu benar).
Terlepas dari berbagai opini tersebut, penulis berharap pola pemberitaan yang dilakukan berbagai media tidak mengandalkan "jaringan" saja dan memang benar-benar liputan teraktual dan sesuai dengan fakta dan data di lapangan. Fenomena "kejar deadline" ditengah dinamisnya artikel dan pemberitaan era sekarang harus di ikuti dengan lahirnya media dan berita yang teraktual dan dipercaya pula.
Mudah-mudahan sesegera mungkin ada perbaikan dan revisi dari media yang bersangkutan, khususnya reporter yang melakukan liputan.
Samarinda, 24 Januari 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H