Mohon tunggu...
Delima Purnamasari
Delima Purnamasari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa.

Kadang suka jadi akun curhat.

Selanjutnya

Tutup

Joglosemar

Geliat Rumah Produksi Tempe di Dusun Gedong

14 November 2022   12:19 Diperbarui: 14 November 2022   12:46 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu usaha rumahan yang ada di Dusun Gedong adalah pembuatan tempe. Produksi ini dilakukan oleh tiga orang, yakni Surtini (53), Margiyati (44), dan Suwarti (66). Semangat mereka adalah api yang terus menghidupi rumah produksi hingga bisa bertahan sampai kini 10 tahun lamanya. Terlebih, di tengah gempuran harga kedelai tinggi, pasaran menipis, dan untung yang tidak seberapa.

Tidak seperti geblek, tak banyak yang memilih ide usaha ini. Di Dusun Gedong sendiri hanya ada dua rumah produksi tempe. Meski begitu, menurut mereka, orang di dusun ini sebenarnya sudah bisa membuatnya. Mereka sendiri tidak memerlukan pelatihan khusus.

"Dulu di sini dibuat sama tujuh orang. Tapi sekarang bertiga aja. Kalau dulu sehari bisa sampai 20 kg," jelas Surtini menceritakan usaha yang mulai menurun.

Saat ini mereka hanya memproduksi tempe dari 10 kg kedelai. Angka ini menurun setengah dari periode sebelumnya. Pembuatan tempe pun tidak dilakukan setiap hari. Hanya dilakukan tiga kali setiap pasaran pasaran Pon, Paing, dan Kliwon. Namun, konsistensi yang dimulai tiap setengah empat pagi ini harus berhenti lantaran harga kedelai yang semakin mahal. Langkah yang diambil demi menghindari kerugian.

"Dulu dari gereja ngasih modal 150 ribu. Terus buat beli kedelai 3 atau 5 kg. Nanti di hari Minggu bikin sayur, hasilnya buat modal lagi," jelas Margiyati tentang awal mula usaha tempe dan pengelolaan modal yang tipis.

Tempe yang produksi Dusun Gedong ini dilapisi dengan dua jenis daun. Pertama, daun pisang untuk bagian dalam. Sedangkan bagian kedua, menggunakan daun temu. Tempe akan diikat dengan tanaman yang mereka sebut karetan. Bahan-bahan ini dipilih karena mudah ditemukan khususnya kala musim hujan.

Proses memasak juga masih dilakukan secara tradisional menggunakan kayu bakar. "Kalau pakai gas ya engga untung," kata Suwarti.

Mereka membuat tempe dalam dua ukuran. Ukuran sedang dihargai Rp1000 untuk dua buah. Sedangkan yang kecil, Rp1000 memperoleh empat buah. Sekali produksi sejatinya mereka hanya mendapatkan untung 10 ribu tiap orang. Ini pun dengan tidak menghitung modal alam, seperti kayu dan daun. Jumlah yang kecil ini diakali dengan cara dikumpulkan dan baru dibayarkan setiap setahun sekali.

"Ya buat kegiatan aja sebenarnya, Mba," tutur Suwarti sembari terus membungkus tempe.

Nantinya limbah produksi tempe ini akan digunakan sebagai pakan ternak pemilik rumah. Mulai dari babi hingga kambing. Tempat produksi ini selalu digilir setiap empat bulan sekali agar mereka tidak bosan.

"Gatau nanti ada yang nerusin atau engga. Yang muda sudah pada merantau," pungkas Margiyati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Joglosemar Selengkapnya
Lihat Joglosemar Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun