Mohon tunggu...
delulu
delulu Mohon Tunggu... Editor - Writer

Write for fun.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sungguh, Aku Suka Kamu

17 Februari 2012   04:51 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:32 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seperti ditelanjangi, hatiku ciut menatap wajahmu, Dik. I love rain, but hate walk under the rain, wet and make me cold, Tara mengelus sebuah foto di meja dengan ibu jari. Di sudut gambar tertulis, in memoriam Andika, 2009.


Dialihkannya pandangan ke Bundaran Hotel Indonesia yang kian dipadati kendaraan. Kilat sesekali muncul dan terlihat jelas dari kantornya di lantai 24. Sudah terlalu lama, pikirnya.


Hujan kian deras saat Tara memasuki bis PPD 10 tujuan Kampung Rambutan. Malam itu hujan tiada rehat meski semenit untuk membiarkannya melewati jalan Sudirman tanpa payung. Tempat favoritnya masih kosong, di pojok kursi pada baris ke empat atau kelima. Tempat strategis untuk memerhatikan jalan dan orang yang berlalu lalang di pinggiran jalan Sudirman. Tapi hari itu hujan, semua wajah ditutupi payung dan tudung kepala. Ekspresi seragam yang menunjukkan kekecewaan karena hujan belum juga reda dan udara semakin dingin menusuk.


Tepat sebelum Sampoerna Square, bis berhenti, macet. Tara tidak menyia-nyiakan waktu untuk mengamati jalan. Dan di sana, berdiri di bawah payung biru. Seorang pria dengan mata sayu dan wajah menyedihkan. Tara menyukainya. Ada kesamaan diantara mereka, sama-sama terluka. Dilihatnya langit yang semakin deras menumpahkan rintikan air. Tara menyentuhkan tangannya pada gagang payung. Harusnya dia mengikuti hatinya kali ini meski jika harus terlihat bodoh?


“Hai,“ Tara dengan yakin menghampiri cowok yang sedang berdiri di trotoar, tangannya memegang payung. Hujan semakin deras ketika Tara memutuskan untuk nekat turun dari bis.
Cowok itu, mengenakan kemeja biru yang bagian lengannya terlipat hingga ke siku. Menampakkan otot bisepnya yang kokoh. Rambutnya basah terkena cipratan hujan, tangannya yang lain memegangi tas yang tersampir di bahu.
“Bingung ya?“ Kata Tara lagi. Cowok itu melemparkan tatapan heran ketika Tara muncul tepat dihadapannya.
“Namaku Tara, kamu siapa?“ Tara menimbang-nimbang untuk mendengar jawaban, tapi cowok itu hanya menatapnya sambil sesekali mengarahkan pandangan ke arah jalan.
“Resya,” jawab cowok itu pelan.
“Aku lihat kamu dari bis, berdiri di sini.“ Tara menunjuk ke arah sepatu Resya yang basah terkena air hujan.
Resya tidak menjawab. Matanya masih mengawasi jalan, agak melirik ke kanan kiri memperhatikan orang-orang lalu lalang dengan payung. Beberapa mencuri pandang ke arahnya dan gadis aneh yang berdiri di depannya bermandikan gerimis.
“Kamu nunggu bis?” Tara mengikuti arah pandangan Resya ke arah bis.
“Iya,“ Resya menjawab singkat. Tara tak bisa memahami ekspresi Resya, tak ada kilatan tertarik sama sekali di matanya. Perlahan dia tau kalau aksi nekatnya ini akan berujung kelegaan. Setidaknya Tara tau kali ini dia tidak perlu menebak-nebak perasaan seseorang.
“Pulang kerja atau kuliah atau main?” Tara memandang menyelidik ke arah Resya sambil memeluk tubuhnya dengan satu tangan.
“Kerja,” Resya mulai bergerak tidak nyaman. Ada apa dengan gadis ini? Usaha kejahatan macam apa di tengah guyuran hujan? Dirapatkannya pegangan pada tali tas di bahunya.
“Umur kamu berapa?” Tara memainkan ujung pegangan payungnya.
Resya memandangnya dengan tatapan menyelidik. Tidak menjawab. Anak ini gila atau apa sih? Maling kok nanya umur.
“Oke, langsung aja... Aku suka kamu...” ditatapnya Resya lekat-lekat. Awalnya Tera hanya memandang jalan dan sesekali memerhatikan sekeliling lalu menatap Tara tidak percaya. Wah, kalo mau bikin gue kehipnotis kirimin yang model Natalie Portman kek, masa cewek kurus gila begini?
Tara tau akhirnya akan begini, toh dia hanya mencoba peruntungan aja.
“Apa?” Resya jelas kaget dan tidak percaya. Tatapan matanya berubah lebih ramah. Seperti baru saja mendengar gurauan.
“Aku nggak gila, aku cuma mau bilang itu aja. Tadi dari dalam bis, aku benar-benar penasaran. Hatiku bisa sakit kalo aku nggak turun dan bilang ini.” Tara tersenyum.
“Terus?” Pandangan Resya sedikit mencemoh.
“Ya nggak ada terus, aku cuma nggak mau menyesal aja. At least, aku udah bilang ke kamu kalo aku suka kamu. Dan kamu harus ingat kalau kamu lagi sedih, di luar sana ada aku yang suka sama kamu. Jadi, jangan menatap hujan memelas seperti mata ini lagi,“ Tara kembali menatap Resya yang membuat jantungnya tiba-tiba berdegup. Tak ada yang menatapnya seperti itu. Sudah lama sekali.
“Aku udah punya pacar,” kata Resya acuh.
“Nggak masalah, aku nggak peduli. Aku cuma mau kamu tau kalo aku suka, itu aja,” Tara menunggu jawaban tapi Resya tetap acuh.
“Oke, aku pergi. Ingat, jangan pasang wajah begitu ya.” Tara mengerling pada Resya. Menyentuh bahunya dengan akrab dan langsung ditepisnya.
“Ah, jangan jutek begitu. Aku uda bilang, aku bukan orang aneh. Aku waras kok. Aku hanya nggak mau menyesal dua kali.” Nada suara yang ceria berubah kesedihan. Resya dapat merasakan kegetiran dalam suara Tara. Hatinya bilang, Tara tidak berbohong. Tapi Resya terlalu pintar untuk memercayai hatinya, dia selalu berpikir terlebih dahulu. Apa gue seharusnya pergi dari sini?
“Apa kita pernah ketemu sebelumnya?” Kata Resya akhirnya.
“Sebelumnya? Enggak.” Tara sudah kembali memerhatikan jalan.
“Jadi?”
“Kita baru ketemu skarang, tadi aku yang lihat kamu. Kamu nggak lihat aku.”
“Oke..” Resya sedang menganalisa situasi. Ada gadis tiba-tiba muncul di tengah hujan dan bilang suka. Mereka belum bertemu sebelumnya, lantas siapa dia?
“Oke, aku pergi ya.” Tara melambaikan tangan.
“Hati-hati,” kata Resya akhirnya. Gadis ini, dia sepertinya sedang terluka.
“Kamu juga, setidaknya kita bisa saling mendoakan.” Tara menyunggingkan tersenyum lalu berjalan ke arah berlawanan dengan bis.
“Ke mana dia?” Resya tanpa sadar melangkah mendekat ke arah Tara yang membelakanginya.
“Meninggal, 2009 lalu, tanpa kata apapun,” ucap Tara tanpa menoleh. Bahkan dengan suara hujan, Resya dapat mendengar jelas suara Tara.
“Maaf,“ kata Resya.
“Setidaknya, kali ini aku mengikuti kata hatiku meski terlihat bodoh. Dan Resya, sungguh, aku suka kamu.” Tara menoleh lalu berbalik cepat dan meninggalkan Resya.
Ada sedikit kebahagiaan di hatinya. Setidaknya, gue nggak akan menyesal dua kali, gumam Tara.

Resya memperhatikan langkah Tara yang semakin menjauh. Melihat punggungnya yang ditopang dengan keyakinan. Tanpa sadar, Resya tersenyum. Gue mungkin terluka, tapi ada yang lebih terluka daripada gue. Lebih menderita.

Nb : dibuat beberapa bulan lalu di dalam bis kota PPD 10 tepat di depan Halte Karet, Sudirman. Hari itu, seorang pria berpayung biru sedang menunggu hujan reda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun