Mohon tunggu...
delulu
delulu Mohon Tunggu... Editor - Writer

Write for fun.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Belum Ada Judul

15 Februari 2012   12:25 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:36 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku merasa kosong, melompong, tanpa udara. Aku merasa sepi, hampa, sendiri tanpa suara. Dan aku berasa di sini, dalam sunyi. Dan aku masih menyepi dalam sunyi. Tak ada pola Tak ada corak Tak ada bentuk Hanya warna dan itu pun hitam Aku diantara yang kedua Aku terjaring Aku tenggelam Aku terkubur

Dan aku bilang, jangan coba mendekatiku lagi kenangan. Aku sudah jengah dan sedikit pongah akan ketabahanku sendiri. Aku ini bukan sendirian, aku cuma belum menemukan seseorang. Tak bisakah kau kendurkan sedikit ikatanmu?

[caption id="attachment_184007" align="alignleft" width="184" caption="Rita Trefois - Between The Lines Galeri Nasional, 13 Februari 2012"][/caption]

Galeri itu dipenuhi corak gambar yang cantik dan menakjubkan. Torehan tinta kasar di atas permukaan kanvas putih yang kini berubah menjadi pola-pola dalam sebuah kain. Aku menyentuh permukaannya, merasakan tekstur kasar di ujung jariku. Warna jingga dan merah muda, judul lukisan itu Between The Lines. Saat melangkahkan kaki ke Galeri sepi pengunjung itu, mataku langsung jatuh cinta pada sebuah lukisan di sudut ruangan. Selintas lukisan itu memang tampak biasa, torehan warna sederhana yang bagiku mirip corak kain ulos. Namun, dua garis berwarna senada dengan lukisan yang dibingkai warna creamy itulah yang menarik perhatianku. Aku, mungkin memang berada di antara dua garis itu.

"Temanmu masih belum datang, Len?" Gian, menepuk pundakku ketika aku terpana memandangi lukisan Rita Trefois. Pelukis asal Jerman yang begitu mengagumi budaya Indonesia melalui batik. Dia salah satu seniman kontemporer Jerman yang menggabungkan budaya Indonesia dengan Jerman dalam karya lukisan batik.

"Belum, sudah kutelpon dia, tapi tidak diangkat. Mungkin sedang menyetir kali ya," aku melewati beberapa lukisan lagi.

“Dia ini datang sebagai narasumber?” Gian bertanya ragu-ragu tanpa menoleh. Dia masih sibuk memotret. Aku memerhatikan Gian sesekali ketika matanya tidak tertuju padaku ketika menanyakan sesuatu.

“Iya, sebagai narasumber,” tanpa sadar aku merasakan kekecewaan dalam suaraku sendiri. Sepertinya aku memang tidak yakin kehadirannya kuharapkan sebatas narasumber.

“Berhentilah kecewa, Alena, kamu bisa hidup tanpa Rian selama ini. Sekarang apa susahnya?” Baru sekali ini Gian menyebut nama Rian. Gian mengarahkan kameranya ke arahku. “Pasang muka muram begitu, semua pengunjung akan tahu kamu sedang patah hati.”

“Aku bukannya patah hati, aku memang belum memulai apapun dengannya,” keluhku.

“Itulah masalahnya, kamu mencoba dekat dengannya tapi kalian belum memulai apapun. Bukannya itu lebih mudah diakhiri?” Gian menurunkan kameranya. Menatapku sambil mengangkat satu alisnya. Beberapa pengunjung mulai berdatangan menatap kami sambil lalu. Wartawan dan fotografer di tempat pameran rasanya bukan sesuatu pemandangan aneh.

“Maksudmu?” Aku menghampirinya yang kini sedang bergantian menatap lukisan Rita Trefois yang beberapa saat lalu hampir membuatku tenggelam dalam lamunan.

“Garis itu, sama halnya dengan pilihan, Len.” Gian menunjuk lukisan Between The Lines. “Kalau kamu merasa berada di tengahnya,” Gian menyentuh bagian tengah lukisan dengan ujung jarinya. “Kamu salah, kamu ada di sini, atau di sini?” Gian menunjuk dua garis bergantian.

“Rian bukannya sudah pergi terlalu lama ya? Lima tahun, dan saat kembali di membuat janji sebagai narasumber untuk artikelmu. Jika dia memang berani, rasanya dia akan kembali sebagai kekasih, atau paling tidak teman minum kopi. Itu kalau aku ya...” Gian terkekeh sendiri.

Tak ada yang dapat aku ungkapkan, kenangan akan Rian tersimpan sebagai hal yang indah. Tak ada yang berubah untuknya. Tapi semua berubah seiring waktu. Lima tahun, dan apa yang tidak aku sadari di sini?

"Aku masih harus balik ke kantor, Len, kamu masih mau di sini?" Gian sudah membereskan peralatan memotretnya. Tripod sudah dilipat, kamera dan lensa sudah rapi masuk ke dalam ransel.

"Aku masih mau di sini, mungkin sebentar lagi dia akan datang."

Gian mengangkat bahu.

Sudah satu jam berlalu. Suara dentingan musik gamelan dari pengeras suara mulai mengayun di sela-sela ruangan yang mulai ramai pengunjung. Aku masih menunggu Rian. Kupaksakan langkahku menuju ke luar Galeri. Akankah aku terlihat bodoh jika aku melakukan ini?

"Sorry," seorang gadis bertubuh kurus dengan jins belel dan kaos putih ketat menabrakku saat memasuki galeri. Rambut hitamnya digelung dan dimasukkan ke dalam topi. Dia mengapit sebuah Ipad dan menenteng Iphone, dia kembali jalan terburu-buru tanpa memandangku. Selintas aku dapat melihat wajahnya yang sumringah.

Ponselku berbunyi. Panggilan masuk. Di layar tertulis nama Gian.

"Halo," aku tidak repot menyembunyikan kekecewaan dalam suaraku. Aku berharap itu Rian.

"Ah, kamu nggak mau sedikit menyembunyikan nada kecewa ya? Pura-pura seneng kek," protes Gian.

"Kenapa telpon, barusan juga dari sini."

"Tripodku ketinggalan, aku taro di bawah kursi deket lukisan yang tadi."

"Trus?"

"Trus? Ya liatin dong, tanyain ke orang Galeri, oke?"

"Oke."

Tripod itu ada di sana, tepat di bawah lukisan. Aku melirik lukisan itu lagi. Mungkin sudah waktunya aku pergi. Rian mungkin tidak akan datang. Tidak untukku.

Dan dia berdiri di sana, dengan jins coklat dan kemeja warna senada dengan motif kotak-kotak. Berdiri tiga meter dariku. Dia menoleh tepat saat aku akan memanggilnya.

"Hai," katanya sebelum menghampiriku.

"Hai," aku menerima uluran tangannya. Tak lama dia mengecup pipiku. Segera saja degup jantungku memburu. Ada apa ini? Kecupan manis ini, untuk apa? Tak ada yang mengecupku sebelumnya.

"Apa kabar?" Rian tersenyum memandangku. Tahukah, aku sudah menunggumu...

"Baik." Aku tersenyum, masih merasa kaget akan kecupan manis yang mendarat di pipiku.

Seseorang muncul dari dari belakang Rian. Gadis yang bertabrakan denganku. Dia tersenyum... Padaku? Atau pada Rian?

"Sebentar ya," ujar Rian pada gadis itu lalu menggiringku ke arah pintu ke luar Galeri.

"Aku sudah mau pulang," kataku akhirnya.

"Kenapa? Bukannya kamu setuju mengangkat tentang karya lukisanku?"

Aku mengangkat bahu, "Gian membutuhkan ini."

“Gian? Gian teman kuliahmu dulu?”

Aku mengangguk lemah. “Dan aku rasa aku tidak bisa mewawancaraimu, akan aku kabari lagi ya.”

"Oke, dan maaf karena aku ter..."

"Nggak apa-apa..." sergahku cepat."Gadis itu, Kinar kan?"

Rian menoleh ke arah gadis itu. Dia melambai.

"Maaf Len, aku ..."

Aku menggeleng.

"Ternyata benar, bukan aku yang di antara dua garis. Tapi kamu..."

"Apa?" aku melihat ekspresi bingung di wajah Rian. Keningnya berkerut dengan pandangan sepolos anak-anak.

"Aku pergi," dan begitu saja langkahku terasa mantap saat jejak langkahku menjauh darinya. Aku menoleh sekali lagi dan aku melihat Rian memeluknya. Seharusnya, aku tau... Aku adalah garis yang harus dihapus.

Angin hangat menyambutku begitu aku membuka pintu Galeri. Ada sesuatu tertinggal namun aku tidak sanggup menoleh atau berbalik untuk melihat benda apa itu. Rasanya asing tapi aku merasa bebas. Seperti melepaskan beberapa beban berat. Lima tahun, dan berakhir hanya dalam lima menit.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun