Pak tua berumur 65 tahun itu rutin kontrol ke poli jiwa. Keluhannya habis obat, susah tidur. Pak Tua ini kerab sekali tiba-tiba menangis. Ia mengatakan bahwa ia bahkan sudah lupa kapan terakhir ia tertidur. Sepanjang malam hanya duduk di depan televisi sampai layarnya menjadi biru atau kotak-kotak pelangi. Ia merasa lelah, karena pikirannya terus menerawang sementara badannya ingin sekali tertidur. Mungkin sempat tertidur ditangan kursi tetapi pikirannya terus saja terasa siaga.
Bapak tua ini adalah pensiunan tentara, berpakaian amat rapi selalu saja tampak klimis meskipun ia berjalan harus dengan menggunakan tongkat. Ia hidup dari dana pensiunannya. Punya 3 orang anak, masih tinggal 1 daerah tetapi tidak satu rumah dengan bapak tua ini. Pak tua tinggal dengan cucunya laki-laki yang katanya saat itu duduk di bangku SMA. Hanya berdua, jarang dijenguk anak-anak. Cucu yang tinggal dengannya, hanya malam saja pulang ke rumah. Pagi si cucu sekolah, sore mungkin berkumpul dengan teman-temannya dan malam terlelap begitu sampai di rumah. Pak tua kesepian.
Setiap harinya, karena tidak ada yang memasak di rumah ditambah pak tua yang kesusahan berjalan, dan mungkin juga sangat hemat dengan dana pensiunan maka makanpun hanya sekedarnya.  Nasi, mie instant, telur, dan  terkadang malas makan karena tidak ada selera makan dan tidak ada teman makan.
Pak tua yang mengalami depresi ini, sering sekali menangis. Menangisi ketidakpedulian anak-anaknya, anak-anak yang seolah tidak pernah cocok dengannya. Pak tua yang perfeksionis ini sering sekali mendapat simpati dari dokter koas. Dari yang mengantarnya pulang, memberinya makanan sampai memberinya uang saku meskipun saku kita juga amat tipis waktu itu. Namun keadaan Pak tua jauh sangat memprihatinkan, dibandingkan tipisnya kantong kami.
Hari ini saya menceritakan kisah itu, bukan tanpa tujuan. Saya mempelajari kasus dari pasien kami ini, menelaah kembali dan kemudian saya membagikannya di sini. Di masa muda, saat karir sampai pada puncaknya kita seringkali lupa diri. Kita menempatkan pekerjaan kita di atas segalanya. Hubungan dengan Tuhan dan keluarga sering terabaikan. Sering lupa dengan anak-anak, bahkan anak-anak dibiarkan besar dengan sendirinya. Yang penting asap dapur mengepul, maka amanlah keluarga. Namun harusnya tidak demikian, orang tua harus memberi waktu buat keluarganya terutama buat anak-anaknya. Tidak ada pekerjaan yang lebih mulia dibandingkan kepercayaan Tuhan untuk menjadi orangtua. Posisi apapun bisa digantikan orang, tapi posisi sebagai orang tua tidak bisa digantikan oleh orang lain.
Ketika kita memberikan waktu yang tersisa pada anak, maka dimasa tua kita akan mendapat waktu sisa juga dari mereka "hanya waktu sisa". Orangtua yang kerap jauh, hampir-hampir tidak terjalin ikatan bathin dengan anak-anaknya. Itulah yang sering diratapkan Pak tua dimasa tuanya. Ia ingin mengulang waktu untuk menjadi ayah yang sempurna bagi anak-anaknya, dan baru menyesali hal itu diusianya yang amat renta. Namun anak-anaknya semuanya menjauh, fokus dengan pekerjaan dan keluarganya masing-masing. Bagi anaknya "kalau memang bapak butuh uang, datanglah...atau kasih tahu saja nanti kami kasih". Anak-anaknya tidak berpikir kalau ayah mereka butuh perhatian, butuh kasih sayang dari mereka. Apa yang ayahnya tak bisa berikan pada mereka dimasa anak-anak, tidak bisa diberikan pula oleh anak-anak dimasa tua ayahnya. Itu namanya tabur tuai. Apa yang ditabur, itu yang kemudian dituai.
Pak tua banyak menyesali diri dalam kesepiannya. Saat itu aku tidak begitu paham, namun semenjak anak-anak hadir dalam rumah tangga kami dan melihat orangtua yang kian menua aku semakin paham akan hal itu. Jangan sampai mengabaikan mereka disaat hari tuanya, meskipun orangtuaku mengabaikan aku. Aku jangan sampai mengabaikan anak-anakku, supaya anak-anakku kelak tidak mengabaikan aku. Karena disaat sakit, tua dan sekarat merekalah kelak yang ada untuk kita. Bukan rekan-rekan kerja, bukan teman-teman yang tertawa sekarang bersama kita.Â
Waktu akan terus berjalan, yang terlewati harus dikejar kembali, walaupun mungkin tidak persis samalagi. Anak-anak akan semakin besar, jangan sampai kehilangan waktu bersama mereka. Beri waktu yang berkualitas untuk anak-anak, untuk suami, untuk istri, dan keluarga yang kita sayangi. Keluarga adalah komunitas cinta kasih, komunitas hidup dan keselamatan.
Apa yang tidak kita beri, kita tidak akan menerimanya. Taburlah yang baik supaya kelak menuai yang baik pula.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H