Mohon tunggu...
Delicia
Delicia Mohon Tunggu... profesional -

GP, White Lily

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Sastrawan Cyber, Tebarkan Pesonamu dan Catat Riwayatmu

8 November 2011   02:08 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:56 726
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

*Angkatan 2000-an

Lalu apakah cuma sampai diangkatan 2000-an itu saja perkembangan sastra negeri ini, ternyata tidak. Setelah angkatan 2000-an maka bermunculan sastra-sastra maya seiring dengan perkembangan tekhnologi internet. Banyak sastra bermunculan, dan sastra-sastra itu dikenal sebagai cybersastra karena menggunakan media cyber.

Banyak penulis bermunculan dengan karya-karya yang juga berestetika tinggi dan bercorak seni tersendiri. Tidak kalah sebenarnya dengan angkatan-angkatan sebelumnya. Perbedaannya adalah kini di puisi, prosa dan drama kita tak jarang menyinggung "ponsel', "facebook", dan "pizza" barangkali berbeda dengan yang sebelumnya. Namun karena begitu menjamur memuat karyanya di internet tanpa mengharapkan honorarium maka kesan terhadap seorang sastrawan cyber adalah "amatiran" berbeda dengan  sastrawan "profesional" yang mengirimkan karyanya dan disunting sana-sini supaya bisa dimuat di koran atau majalah untuk kemudian memperoleh honor yang pantas.

Namun Cybersastra mengalir seperti air, bercerita banyak hal tanpa perlu sensor sana-sini. Berbicara tentang rintik hujan sampai toilet pembesar istana. Mungkin belum ada yang terlalu mencuat namanya seperti Sutan Takdir Ali Syahbana, N.H. Dini, Amir Hamzah, Chairil Anwar, H.B Yassin dan sastrawan tenar lainnya. Namun yang menulis di media cyber dan menghasilkan karya sastra tetaplah sastrawan "Sastrawan Cyber" meskipun harus dikatakan amatir namun tak akan mengurangi nilai dari sastra itu sendiri. Embel-embel "Amatir" atau mungkin " abal-abal"  terkesan sederhana, apa adanya dan merakyat.

Tekhnologi  internet/cyber begitu mendunia, seandainya anak-anak kita di bangku sekolah suatu hari nanti diwajibkan menenteng laptop ke sekolahnya, digital book misalnya, maka tak tertutup kemungkinan guru bahasa Indonesianya akan mengenalkan dan meminta mereka mencari sastra cyber yang ditulis oleh sastrawan cyber amatir yang nama dan jumlahnya tak tercatat satu-satu ini.

Itu bukan hal yang mustahil, lalu apa yang akan kita persiapkan jika anak-anak itu nanti mencari dan menemukan karya kita?, sastrawan cyber amatiran harus menuliskan namanya meskipun ia amat amatiran sekalipun. Tuliskanlah riwayatmu, meskipun karya yang ditulis dipandang sebelah mata dan dinilai tak seberapa hari ini.

Kalau saya pribadi ingin mereka mengenal bahwa "Delicia" menggunakan tangan yang sama untuk memegang pisau bedah dan menulis. Ingin mereka tahu bahwa kecintaan terhadap dunia sastra tidak boleh mati oleh kesibukan/rutinitas kita sebagai masyarakat sosial yang juga mempunyai tanggung jawab di bidang lainnya. Jiwa seni dan kecintaan itu harus dibiarkan berkembang liar untuk menuliskan banyak asa dan menuliskan banyak cerita agar tak terlupakan oleh anak negeri. Dari sastrawan amatiran akan dipelajari kesederhanaan dan apa adanya, akan memberitahu bahwa pernah terjadi satu babak dalam generasi kita hari ini.

Apa yang diharapkan dari sastrawan cyber di tengah kemelaratan bangsanya? Menjaga nurani. Itu saja. Dan tugas menjaga nurani yang diemban oleh sastrawan-sastrawan cyber sudah memilki arti penting bagi moral bangsa yang kian hari terasa kan terpuruk. Dalam sebuah sajak sederhana yang berjudul “Mata Penyair”, Subagio Sastrowardoyo mengungkap bahwa jika mata penyair itu digunakan sebagaimana mestinya, maka yang dilihatnya adalah kepahitan yang tengah dialami bangsanya, terutama manusia yang berada di sekelilingnya. Ketika ia menutup matanya atau membutakan matanya, maka yang dilihatnya hanya melulu keindahan. Dengan demikian, menjadi penyair atau sastrawan sesungguhnya lebih merupakan kutukan daripada anugerah atau kehormatan. Ia dikutuk untuk terus menyuarakan kenyataan yang berada di lingkungannya. Dan kenyataan yang tengah dialami bangsa Indonesia saat ini adalah krisis ekonomi, politik, hukum, budaya, atau biasa disebut sebagai krisis multidimensional.Dalam kondisi seperti ini, para sastrawan ditantang untuk menyuarakan realitas bangsanya.http://asepsambodja.blogspot.com/2008/10/sastrawan-cyber-di-tengah-kemelaratan.html

Tidak perlu muluk-muluk harus terkenal sebagai sastrawan profesional, dan tak mau menyangkal untuk disebut sastrawan, meskipun dikatakan sastrawan amatir. Semua bermula dari kecintaan dan tetaplah tebarkan pesona dengan menuliskan apa saja yang kita mau.

Sumber terkait:

http://www.jendelasastra.com/wawasan/artikel/sastra-cyber

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun