Desa Karanganyar Kec. Tirto Kab.Pekalongan (24/ 01)  konveksi batik memiliki peran yang sangat penting dalam perekonomian lokal. Meskipun menghasilkan produk batik yang berkualitas, banyak konveksi batik di desa ini menghadapi tantangan terkait dengan budaya kerja yang masih berantakan. Hal ini berdampak pada rendahnya efisiensi, produktivitas, dan kualitas produk. Untuk mengatasi masalah ini KKN TIM I UNDIP 2024/2025  dengan program studi bahasa dan kebudayaan jepang, Delia Wulan Safitri melaksanakan  penyuluhan mengenai 5S, sebuah budaya kerja yang berasal dari Jepang yang dapat meningkatkan keteraturan dan efisiensi di tempat kerja.
Sebelum penerapan 5S, konveksi batik di Desa Karanganyar mengalami beberapa masalah utama dalam lingkungan kerja yaitu kebersihan yang kurang terjaga yang dimana lingkungan kerja yang kotor dan tidak terorganisir membuat para pekerja kesulitan untuk menemukan alat atau bahan yang dibutuhkan, sehingga proses produksi menjadi lambat dan tidak efisien. Selain itu juga masalah penataan alat yang berantakan yaitu alat dan bahan produksi sering kali diletakkan sembarangan, menyebabkan pemborosan waktu untuk mencari dan mengambil alat yang diperlukan. Hal ini juga memengaruhi kualitas batik yang dihasilkan. Selanjutnya yang  terakhir kurangnya standarisasi prosedur kerja yaitu Pekerja tidak memiliki prosedur kerja yang jelas dan standar, sehingga cara kerja mereka cenderung tidak terorganisir dan cenderung dilakukan secara individual tanpa koordinasi yang baik. Dalam rangka mengatasi masalah-masalah tersebut, Delia dari TIM I KKN UNDIP 2024/2025  mengadakan penyuluhan mengenai 5S, yang merupakan singkatan dari lima prinsip yang diterapkan dalam budaya kerja Jepang. 5S bertujuan untuk menciptakan lingkungan kerja yang bersih, teratur, efisien, dan produktif. Konsep 5S ini yang pertama adalah Seiri (Sortir) yang berarti menyortir barang-barang yang tidak perlu dari area kerja. Seiri ini berfungsi untuk  membuang atau menyimpan barang-barang yang tidak digunakan, sehingga hanya alat dan bahan yang benar-benar dibutuhkan yang ada di tempat kerja. Dengan cara ini, area kerja akan lebih rapi dan tidak berantakan. Selanjutnya Konsep 5S yang kedua adalah Seiton (Set in Order) yang berarti memilah barang-barang yang tidak perlu, langkah selanjutnya adalah menata alat dan bahan dengan rapi. Delia mengajarkan bagaimana cara mengelompokkan dan menata alat-alat batik berdasarkan jenis atau kegunaannya. Misalnya, semua peralatan lukis batik disimpan dalam satu tempat, sementara bahan pewarna dan kain disusun terpisah di tempat yang mudah dijangkau. Konsep 5S yang ketiga adalah Seiso (Shine) yang berarti membersihkan area kerja adalah langkah ketiga yang sangat penting. Delia menekankan bahwa kebersihan lingkungan kerja akan meningkatkan kenyamanan serta mencegah kontaminasi pada produk batik. Setiap pekerja diminta untuk membersihkan area kerja mereka sebelum dan setelah bekerja, sehingga kebersihan menjadi bagian dari budaya kerja sehari-hari. Konsep 5S yang keempat adalah Seiketsu (Standardize) yang berarti setelah 3S pertama diterapkan, penting untuk menetapkan standar kerja yang jelas. Konsep seiketsu ini mengajarkan bagaimana cara membuat jadwal pembersihan, cara menyimpan barang, serta prosedur kerja yang sistematis dan dapat diikuti oleh setiap pekerja. Standarisasi ini bertujuan untuk menjaga konsistensi dan kelancaran operasional konveksi batik. Konsep 5S yang terakhir adalah Shitsuke (Sustain) yang berarti menjaga dan mempertahankan kebiasaan 5S dalam jangka panjang. Konsep Shitsuke ini  menyarankan untuk mengadakan evaluasi rutin setiap minggu agar seluruh pekerja tetap konsisten dalam menerapkan 5S. Penerapan disiplin dan kebiasaan baik yang terus dijaga akan memastikan bahwa 5S menjadi budaya kerja yang berkelanjutan.
Selama penyuluhan berlangsung, para pekerja di konveksi batik sangat antusias dan aktif bertanya mengenai langkah-langkah praktis yang bisa dilakukan untuk menerapkan 5S di tempat kerja mereka. Mereka menyadari bahwa penerapan 5S dapat membantu mengurangi kekacauan dan meningkatkan efisiensi kerja, yang pada gilirannya dapat meningkatkan produktivitas serta kualitas produk batik yang mereka hasilkan.
“ oh ini itu budaya kerja orang Jepang ya mbak, mungkin kalau di lingkungan kerja konveksi saya ini memang masih banyak hal yang perlu dibenahi mbak masalah benda-benda tajam yang masih berantakan kadang susah nyarinya kemana , jarum juga kadang ada di lantai , mungkin jika melaksanakan ini membantu banget mbak “ Ujar Bu Zakiyah salah satu pemilik UMKM konveksi batik di Desa Karangnyar.
“ Oh ini pas mbak diterapkan juga yang jahit di rumah apalagi yang mungkin punya anak kecil bahaya banget kalau naruh benda-benda tajam sembarangan “ Ujar Bu Nia salah satu pekerja di UMKM konveksi batik di Desa Karanganyar.
Penerapan budaya kerja 5S di konveksi batik Desa Karanganyar diharapkan dapat memberikan dampak yang signifikan terhadap peningkatan efisiensi dan kualitas kerja. Dengan lingkungan kerja yang lebih tertata dan bersih, serta prosedur yang lebih jelas, para pekerja diharapkan dapat bekerja dengan lebih produktif dan menghasilkan batik berkualitas tinggi.
Melalui penyuluhan yang dilakukan oleh Delia dari KKN TIM I UNDIP 2024/2025 Â diharapkan konveksi batik di Desa Karanganyar dapat menerapkan 5S secara berkelanjutan dan menjadikannya sebagai budaya kerja yang mendukung pertumbuhan usaha batik lokal. Dengan perbaikan dalam budaya kerja ini, konveksi batik di Desa Karanganyar tidak hanya akan meningkatkan kualitas produksinya, tetapi juga akan menciptakan lingkungan kerja yang lebih nyaman dan efisien bagi semua pihak.
Penulis :Delia Wulan Safitri, S1-Bahasa dan Kebudayaan Jepang, Fakultas  Ilmu Budaya
Dosen Pembimbing Lapangan : Muhammad Indra H.W.K, S.T., MPWK.
Lokasi : Desa Karanganyar, Kecamatan Tirto, Kabupaten Pekalongan