Indonesia merupakan negara yang menganut sistem hukum sebagai landasan dalam kehidupan. Pancasila dijadikan sebagai dasar negara yang memiliki kandungan kaidah dan norma dalam bertindak serta menjadi dasar berlakunya legalitas Indonesia yang terkandung landasan filosofis, sosiologis dan yuridis dalam menjunjung nilai keadilan.Â
Kekaisaran Roma memiliki pepatah yaitu Quid leges sine moribus berarti hukum tidak berarti banyak apabila tidak dijiwai oleh moralitas. Hukum dan moral memiliki ikatan erat karenanhya hukum tidak dapat dilaksanakan dengan sebenarnya apabila tidak memiliki moral didalamnya.
 Shidarta, kode etik ialah prinsip moral yang melekat pada suatu profesi dan disusun secara sistemasis, yang disusun berdasarkan rujukan dalam sarana kontrol, sebagai pencegah kesalahpahaman dan konflik, sebagai pendengar campur tangan pihak lain. Tujuan dari kode etik profesi tentu menjunjung tinggi martabat profesi dan menjaga keadilan.Â
Setiap tindakan yang mencoreng nama baik instansi atau profesi bahkan melanggar kode etik harus dikenakan sanksi ataupun pembinaan. Polisi dapat diberikan sanksi dan pembinaan oleh Komisi Polisi Nasional (Kompolnas), hakim dapat diberikan sanksi dan pembinaan oleh Komisi Yudisial, Jaksa dapat diberikan sanksi dan pembinaan oleh Komisi Kejaksaan, dan Pengacara dapat diberikan sanksi dan pembinaan oleh dewan etik.
Menurut Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, Advokat ialah orang yang berpraktek memberikan jasa hukum diluar dan didalam pengadilan yang sudah memenuhi aturan serta syarat berdasarkan Undang-undang yang berlaku.
Advokat yang memiliki norma dan moral yang tinggi dalam melakukan tugasnya sebagai pembela keadilan tentu harus bersikukuh dan tidak boleh lengah oleh godaan apapun termasuk didalamnya tindak pidana suap, penelantaran klien, dan lainnya.
 Contoh pelanggaran Kode Etik Advokat Indonesia yang dilakukan oleh advokat Bernama Fredrich Yunadi beliau melakukan pelanggaran terkait dugaan menghalangi penyidikan di Komisi Pemberantas Korupsi. Adapun Fredrich diberhentikan dari PERADI yang berarti tak dapat melanjutkan profesi sebagai pengacara Adapun Fredrich dinyatakan bersalah karena menelantarkan klien setelah menerima honorarium sebesar Rp.450.000.000.
 Tindak perbuatan yang dilakukan oleh Advokat atas nama Fredrich Yunadi tentu sangat merugikan kliennya yang sudah melakukan pembayaran untuk diwakilkan hak hukumnya di Pengadilan dan terjadi penelantaran serta Fredrich menghalangi penyidikan intansi terkait.Â
Dari tindakan ini Fredrich dikenakan sanksi berakibat namanya tidak sterdata lagi dari PERADI dan jejak pekerjaan atau tindakan yang dilakukannya telah tercatat dan tersebar. Fredrich Yunadi juga divonis kurungan penjara 7,5 tahun dan denda sebesar Rp. 500 juta subsider 8 bulan kurungan.
Sebagai aparat penegak hukum yang seharusnya menunaikan dan menjalankan tugas semestinya dengan prinsip kepercayaan antar 2 pihak tentu harusnya melaksanakan apa yang telah dijanjikan dan disepakati bersama, artinya tisdak boleh pihak manapun melakukan pelanggaran dan pengingkaran kesepakatan karena hal ini berakibat timbulnya rasa tidak percaya dan terjadinya keraguan atas pihak yang melakukan pelanggaran.Â
Akibat yang ditimbulkan atas kejadian ini, tentu nama baik advokat terkait telah mengalami dan mendapatkan titik hitam dikalangan orang yang berurusan dan berkaitan dengan dunia hukum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H