Mohon tunggu...
Delianur
Delianur Mohon Tunggu... Penulis - a Journey

a Journey

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Gerhana Matahari Pilgub DKI

13 Maret 2016   20:15 Diperbarui: 13 Maret 2016   21:04 540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beberapa kali saya terjebak dalam sekumpulan orang yang membicarakan Pilgub DKI. Ngobrol kesana kemari tentang Jakarta dan pemimpin yang cocok untuk Jakarta. Ketika perbincangan sampai pada pertanyaan kelayakan Ahok menjadi Gubernur, sebetulnya saya tidak bisa menjawab. Bukan karena tidak ber KTP DKI. Karena waktu Amerika mengadakan pilpres pun, saya ringan saja mengatakan dukung Obama. Padahal saya bukan warga Amerika.

Saya bingung menjawab, karena sama sekali tidak punya informasi memadai sebagai dasar menjawab. Saat ini informasi memang mengalir deras dan cepat. Tetapi dalam banyak hal, deras dan berlimpahnya informasi tidak serta merta menjadikan semua lebih terang, justru sebaliknya. Dunia jadi lebih gelap karena informasi yang overload. Hoax dan klarifikasi datang silih berganti. Susah membedakan antara yang otentik dan manipulatif. Semuanya serba samar dan tidak pasti. Perlu usaha ekstra untuk mengungkapnya.

Jadi apakah Ahok itu layak memimpin Jakarta lagi, saya tidak tahu jawabannya. Karena tidak memiliki pijakan informasi yang jelas untuk menjawabnya.

Tetapi kalau dasarnya pengalaman personal, saya bisa mengatakan kalau Ahok tidak layak jadi Gubernur DKI. Alasannya sederhana. Ketika saya muter-muter Jakarta pakai mobil pribadi, stressnya minta ampun. Kemacetan perasaan makin parah. Jarak tempuh dari tempat saya di kawasan Ragunan ke kantor di kawasan Gatsu yang tidak seberapa, bisa sampai 4 jam lebih. Lalu ketika saya pindah pakai Bus Way, sami mawon. Karena cerita Bus tidak layak pakai, suka mogok, AC tidak berfungsi, Bus Terbakar, menunggunya lama, itu bukan hal yang saya ketahui dari media, tapi pengalaman sendiri. Dulu Sutiyoso berani semprit rombongan Wapres yang masuk jalur Bus Way. Sekarang jalur Bus Way tidak steril. Perasaan siapa saja bisa masuk.

Memang di jalur Bus Way yang sering saya naiki sudah ada peremajaan. Ada bus baru bermerek H**o. Jadi meski masih menunggu lama, sekarang relatif aman dan nyaman dibanding sebelumnya. Tapi di badan Bus baru itu jelas terpampang tulisan "Bantuan Tekhnis Kemenhub RI". Sama dengan Bus kota yang saya naiki di Bandung. Sementara kata teman yang kerja di H**o, yang beli Bus itu ya Kemenhub bukan Pemprov DKI.

Tapi bahwasannya Ahok mempunyai terobosan, itu suatu hal yang mesti diakui. Tidak bisa dinafikan. Saya percaya itu. Karena itu kesaksian langsung masyarakat. Bukan hasil lembaga survei atau omongan pengamat politik. Seperti program lelang jabatan sampai dengan penataan birokrasi Pemda DKI.

Jadi kembali keatas, pada dasarnya saya sama sekali tidak punya jawaban bila ditanya apakah Ahok layak memimpin Jakarta tidak. Tetapi karena keisengan plus penasaran, beberapa kali saya iseng menjawab. Saya bilang kalau saya tidak memilih Ahok. Maka seperti yang diprediksi, cap anti Ahok, muslim fundamentalis, tidak toleran, anti Cina, anti Kristen langsung keluar. Kalau sudah seperti itu, saya lebih memilih diam dan senyum untuk menikmati ketimbang capek-capek menjelaskan.

Begitu juga ketika beberapa waktu lalu iseng nulis tentang Calon Independen di dinding facebook. Tulisan yang intinya mengingatkan bahwa status Calon Independen tidak otomatis jauh lebih baik dari Calon Partai. Dasar argumentasinya jelas. Bahwa kita sekarang ini ada di era Demokrasi liberal padat modal. Di era seperti sekarang, selain partai maka pemodal mempunyai peranan penting dalam memenangkan pertarungan politik.

Setelah menulis ini inbox dan wall saya tiba-tiba dikirim beberapa tulisan yang membolehkan Non-Muslim menjadi pemimpin. Respon yang aneh. Karena berulang kali saya baca tulisan iseng saya, perasaan tidak menyinggung masalah pemimpin non-muslim. Hanya berbicara tentang status independen calon pemimpin dalam era demokrasi liberal yang padat modal.

Sebetulnya ketika membaca kiriman copy paste seperti itu, ingin sekali saya menjawab "Pak, mau saya kasih dalil lebih kuat bahwa Non-Muslim itu boleh jadi pemimpin?Bukan hanya sekedar copy paste status facebook atau tulisan di kompasiana. Begini. Dulu sebelum Nabi menyuruh umat Islam hijrah ke Madinah, Nabi pernah menyuruh umat Islam hijrah ke Habsyah (Ethiopia). Kenapa ke Habsyah?padahal Habsyah itu bukan hanya negeri yang berpenduduk Kristen, Negus Raja mereka pun Kristen. Bahkan penasehat rajanya juga para pendeta. Kalau Raja mau mengambil kebijakan, dia harus berkonsultasi dengan para pendeta. Lalu kenapa Nabi menyuruh kaum muslimin hijrah ke negeri yang dipimpin orang Kristen?Menyuruhnya dua kali lagi"

"Kalau ada orang yang membantah bahwa itu hal itu dilakukan Nabi karena krisis, maka tanyakanlah pada orang itu, hal krisis apa yang dimaksud?Kalau krisis yang dia maksud karena di Mekkah waktu itu penuh teror dan intimasi terhadap kaum muslimin, lalu kenapa Nabi tidak mengajak orang yang hijrah ke Habsyah itu ikut ke Madinah. Tempat yang lebih tenang, kondusif dan langsung berada dibawah kepemimpinan Nabi. Ingatkan juga orang itu bahwa Nabi memanggil pengungsi Habsyah ke Madinah pada tahun ke-7 hijrah. Jadi selama 7 tahun Nabi berdomisili dan memimpin Madinah, kaum muslimin masih tetap di Habsyah dibawah pimpinan Negus yang Kristen. Bahkan ketika salah satu pimpinan muslim ke Habsyah, ada yang berpindah agama menjadi Kristen, Nabi tidak reaktif memanggil kaum muslim di Habsyah ke Madinah. Untuk menguatkan, Nabi menikahi janda yang ditinggal suaminya masuk Kristen"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun