Mohon tunggu...
Delianur
Delianur Mohon Tunggu... Penulis - a Journey

a Journey

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Qatar 2022: Piala Dunia (Tanpa) Hingar Bingar

20 November 2022   16:46 Diperbarui: 20 November 2022   20:46 593
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Untuk event seperti Piala Dunia, Qatar 2022 bisa dikatakan memiliki ironi tersendiri. Piala Dunia yang dilaksanakan di masa melimpah ruahnya alat distribusi informasi dan komunikasi, terlaksana seolah tanpa hingar bingar seperti yang terjadi di event Piala Dunia sebelumnya.

Sejujurnya, kesimpulan di atas awalnya adalah pengalaman personal saja. Namun setelah ditelusuri, kesimpulan di atas sepertinya menjadi kesimpulan jamak.

Awalnya adalah ketika sekitar 1.5 bulan lalu mendapat email dari Supreme Committee for Delivery and Legacy. 

Semacam panitia tertinggi bentukan Pemerintah Doha-Qatar yang menangani Piala Dunia Qatar 2022 mulai dari proses lobby, bidding dan pelaksanaan. Email yang meminta CV karena mereka membutuhkan orang untuk menjadi konsultant data dengan durasi kerja selama 1-2 bulan atau selama Piala Dunia.

Email ini tidak hanya memaksa untuk Googling mencari tahu apa itu Supreme Committee for Delivery and Legacy, tapi juga mesti Googling untuk tahu kapan sebetulnya Piala Dunia di Qatar akan dilaksanakan. Ternyata memang tahun ini, bukan tahun depan karena pada tahun ini tidak terasa hingar bingarnya.

Namun seperti yang ditulis sebelumnya, sepertinya ini bukan pengalaman personal. Di media sosial, beberapa mengungkap hal yang serupa. 

Piala Dunia sekarang tidak terasa hingar bingarnya. Beberapa informasi yang biasanya sudah tersebar dan mudah terlihat mengenai Piala Dunia, sama sekali tidak terlihat. 

Mulai dari Jadwal Piala Dunia, ulasan para pengamat sepak bola, artikel-artikel yang membedah kekuatan tim-tim yang berlaga di Piala Dunia, sampai dengan official song Piala Dunia 2022. 

Bila merujuk pada official account YouTube-nya, official song Piala Dunia Qatar 2022 sudah dipublish 7 bulan lalu dan ditonton 37 Juta orang. Jumlah kecil dibandingkan fans olahraga yang paling dikenal di muka bumi.

Padahal Qatar 2022 tidak hanya penuh dengan informasi negatif yang akan menjadi viral, tapi juga informasi positif yang akan membuat orang tercengang.

Misalkan saja hasil investigasi RTS, Radio Television Suisse, yang memaparkan proses penunjukan Qatar sebagai tuan rumah. 

Menurut lembaga penyiaran dari Swiss ini, Qatar telah melakukan vote buying atau menyuap para pengurus FIFA hingga mereka bisa menggeser Amerika yang semula ditunjuk menjadi tuan rumah World Cup. Angkanya tidak tanggung-tanggung, yaitu 180 Juta Dollar. Mengingat FIFA juga dianggap organisasi yang korup, sulit membantah temuan RTS ini.

Para penggiat HAM juga menyerukan boikot terhadap World Cup Qatar 2022. Mereka menuding bahwa Qatar telah mengorbankan nyawa para pekerja migran dari Asia Selatan untuk mengejar target pembangunan stadion. 

Setelah isyu pekerja migran Asia Selatan mereda, panitia Qatar 2022 juga dicibir telah menyewa buzzer offline untuk memeriahkan Piala Dunia. Karena penduduknya sedikit tapi uang berlimpah, Qatar menyewa orang-orang Asia Selatan yang dikenal miskin, untuk menjadi supporter bayaran sehingga Piala Dunia tetap terasa meriah. Mereka akan berlaku layaknya supporter sepak bola fanatik yang bernyanyi, menari dan memainkan alat musik untuk memeriahkan stadion.

Sekitar seminggu sebelum Piala Dunia dihelat, Qatar juga membuat kebijakan kontroversial, utamanya bagi masyarakat Barat. 

Sebagai negara dengan mayoritas muslim,  Qatar menyatakan tidak akan memberi tempat bagi LGBT dalam Piala Dunia kali ini. 

Kebijakan yang ditentang masyarakat Barat dan para pemain Eropa. Di antaranya adalah Manuel Neuer. Kiper dan Kapten Timnas Jerman yang menyatakan akan memakai ban kapten berwarna pelangi di Qatar nanti. Tapi bagaimanapun, itu sudah menjadi kewenangan tuan rumah yang tidak bisa ditolak.

Sekitar dua hari menjelang Pembukaan Piala Dunia, Qatar kembali membuat kontroversi. Mereka menyatakan bahwa mereka menyatakan minuman al-kohol, terlarang di Piala Dunia Qatar. Tidak bisa lagi dijual bebas seperti di Piala Dunia sebelumnya. Minuman berakohol hanya bisa dijual di hotel dan tempat-tempat khusus saja.

Kebijakan ini tidak hanya membuat marah penonton peminum minuman beralkohol, tapi juga membuat geram Budweiser. 

Produsen minuman berakohol yang sudah terdaftar sebagai sponsor resmi Qatar 2022 dan sudah memasang spanduk serta stand di berbagai penjuru kota. Entah bagaimana kelanjutan dari kebijakan ini. 

Bolanet
Bolanet

Apakah akan berlanjut ke pengadilan internasional atau cukup dengan membayar biaya kompensasi. Tapi yang jelas Presiden FIFA sudah menyatakan tidak bermasalah dengan kebijakan ini serta mendukungnya dan kekecewaan Budweiser pasti berlapis-lapis diatas kekecewaan penulis yang beberapa hari lalu diberitahu bila CV nya tidak bisa diproses lagi. Sehingga lamunan menjadi konsultan data World Cup pun kandas.

Selain itu, Qatar juga memiliki banyak informasi positif yang tidak ada di Piala Dunia sebelumnya dan sangat berpotensi menjadi viral.

Seperti inovasi Qatar membuat stadion bernama Stadion 974. Keunikan stadion ini bukan pada angka 974 yang merupakan Kode Internasional Qatar, tapi stadion sekali pakai yang dibuat dari tumpukan kontainer. Karena letaknya juga berdekatan dengan pelabuhan. Konstruksi bangunan nya pun diatur sedemikian rupa sehingga terasa sejuk, meski tanpa harus memasang pendingin AC.

Pada Qatar 2022 ini juga ada stadion yang dilengkapi dengan kamar. Sehingga penonton bukan hanya bisa membeli seat untuk menonton pertandingan, tapi menyewa kamar dengan balkon mengarah ke lapangan sepak bola. 

Satu lantai khusus stadion digunakan khusus untuk fasilitas ini. Jadi bagi yang menyewa kamar ini, bila timnya dirasa bermain buruk, maka dia bisa langsung tidur saja.

Lalu kenapa Qatar 2022 jadi terasa tidak hingar bingarnya?

Pasti faktornya tidak tunggal. Ada banyak hal yang membuat masyarakat tidak merasakan demam Piala Dunia seperti sebelumnya.

Penulis sendiri mencatat setidaknya ada dua hal yang menyebabkan kemeriahan Piala Dunia kali ini berkurang.

Pertama, waktu pelaksanaan. Berbeda dengan Piala Dunia sebelumnya yang dilaksanakan setelah musim kompetisi usai, sekitar Juni-Juli, Piala Dunia kali ini dilaksanakan di akhir tahun, November-Desember, ketika kompetisi sepak bola sedang berjalan hampir setengah putaran.

FIFA dan Panitia sendiri sengaja memindahkan jadwal karena mempertimbangkan musim. Pertengahan tahun adalah musim panas dengan suhu yang sangat tinggi khas wilayah Timur Tengah dan akan sangat tidak mungkin bermain bola di tengah musim panas seperti itu. Sedangkan November-Desember sudah memasuki musim dingin yang cukup kondusif untuk sebuah pertandingan sepak bola.

Karena digelar di tengah musim kompetisi lah perhatian masyarakat pun jadi terpecah. Perbincangan sepak bola mendekati bulan November atau di bulan November, masih seputar pertandingan Liga-Liga di negara Eropa dan Liga Champions. Jangankan membahas Piala Dunia, Liga Eropa yang jelas digelar bersamaan Liga-Liga di negara Eropa, perhatian orang lebih tersedot dengan Liga Champions.

Hal kedua yang tidak bisa diindahkan adalah bahwa saat ini sepak bola sudah terkuliti sedemikian rupa sampai pada tingkat yang lebih kecil. Orang mempunyai cara baru dalam menikmat sepak bola.

Dulu menjelang Piala Dunia orang mungkin masih ingat memori tentang perang Malvinas antara Inggris-Argentina dan bersamaan terjadi dengan gol tangan Tuhan Maradona yang mengecoh kiper Inggris Peter Shilton. Karenanya ketika generasi David Beckham dan Diego Simeone bertemu kembali di Prancis 1998, tensi pertandingan antar keduanya kembali meninggi. Lalu kartu merah David Beckham karena provokasi Simeone, menjadi sangat ikonik dan terus dikenang.

Begitu juga ketika disebutkan tentang Kamerun yang akan bertanding. Memori gol satu-satunya Roger Milla yang mempercundangi Maradona Cs di Piala Dunia 1994, selalu jadi bahan untuk diperbincangkan.

Namun di era digital, memori-memori seperti itu bisa diulang dan ditonton setiap hari. Tanpa harus menunggu Piala Dunia yang digelar empat tahu sekali. Orang tinggal duduk di kursi, membuka YouTube dan menuliskan beberapa keyword yang dimaksud. 

Maka semua peristiwa piala dunia yang sudah menjadi ikonik akan muncul seketika. Mulai dari tendangan pinalti Roberto Baggio yang gagal menembus gawang Claudio Taffarel di Piala Dunia Amerika sampai 1990, sampai dengan tandukan Zidane ke Materazzi di Piala Dunia Jerman 2006.

Bahkan dalam banyak hal, orang tidak perlu lagi begadang dan menunggu untuk mengetahui jalannya pertandingan antara Manchester City dan Real Madrid di semifinal Champions 2022. Orang hanya perlu bangun pagi, lalu klik YouTube untuk mencari tahu menit-menit krusial pertandingan tersebut.

Referensi: 1

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun