Tarif WC Umum
Beberapa waktu lalu, Mentri BUMN membuat kebijakan yang cukup mengagetkan beberapa kalangan. Memerintahkan Pertamina untuk menggratiskan tarif WC Umum yang tersebar di banyak SPBU berlogo Pertamina.
Ada yang bilang itu hanya pencitraan Mentri untuk meniti jalan menjadi Capres 2024. Ada juga yang bilang kalau kebijakan itu merugikan masyarakat kecil yang berkutat di bisnis ini. Dan seterusnya, dan seterusnya...
Diluat segala kontroversi diatas, karena keriuhan berita ini, banyak orang yang dikagetkan dengan perputaran uang dalam bisnis WC umum. Ternyata ada uang sangat besar dari bisnis yang kerap disepelekan banyak orang ini.
Seorang teman misalnya. Dia menemukan bahwa sebuah pasar induk di Jakarta bisa mendapatkan uang Rp 35 Juta/Hari dari bisnis WC Umum. Artinya dalam sebulan ada pemasukan lebih dari 1 Milyar atau sekitar 12 Milyar dalam setahun.
Temuan teman lain di daerah lain lagi. Seorang yang berbisnis WC umum, rumahnya sangat jauh berbeda dengan WC umum yang dia kelola. Besar dan megah. Dalam situasi normal, pendapatan penjaganya hampir dua kali lipat diatas UMR. Dalam situasi ramai, pendapatan penjaga nya bisa 4 kali lipat diatas pendapatan di hari-hari normal.
Pastinya angka diatas tidak sama di semua daerah dan juga bukan rata-rata. Angka-angka diatas juga pastinya tidak akan kita temukan dalam publikasi resmi. Hanya ditemukan kalau kita berbicara langsung dengan orang-orang yang terlibat di bisnis itu.
Hanya saja, angka-angka diatas mau tidak mau telah memukul mental beberapa orang ketika menyodorkan uang Rp 2000 ke penjaga WC umum. Angka yang juga memaksa orang untuk merevisi kembali motif nya ketika membayar Rp 2000 ke WC umum.
Dalam banyak kesempatan, orang kerap merasa bahwa dia sedang bertindak heroik ketika masuk WC Umum. Uang Rp 2000 yang dia berikan, seolah sudah menjadikan dia pahlawan. Karena dia serasa sudah membantu orang yang menurutnya tidak beruntung secara ekonomi dan ekonomi nya dibawah dirinya.
Namun angka-angka di lapangan ternyata tidak seperti sangkaan. Dalam banyak kesempatan, kadang ekonomi orang yang sedang menyodorkan uang Rp 2000 itu, justru mesti lebih ditolong ketimbang yang menerima Rp 2000. Dan ini tidak hanya terjadi di WC umum. Tapi juga bisnis-bisnis lain yang kerap disepelekan orang.
Mungkin dari kasus ini kita layak merevisi motif ketika memberi selama ini. Bahwa ketika kita memberi, kita tidak sedang bertindak heroik membantu orang lain. Karena siapa tahu justru kita yang layak ditolong.Â