Mohon tunggu...
Delianur
Delianur Mohon Tunggu... Penulis - a Journey

a Journey

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Anak Bajang Menggiring Angin": Rahwana, Rama, Kera, dan Raksasa

3 Januari 2021   11:09 Diperbarui: 3 Januari 2021   11:31 505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurut Arendt "The most radical revolutionary will become the conservative the day after revolution" Bahwa mereka yang paling radikal mendukung revolusi akan menjadi konservatif sehari setelah revolusi terjadi.

Bagi banyak kalangan, novel Anak Bajang Menggiring Angin dari Sindhunata yang sudah menjadi klasik ini, merepresentasikan perlawanan mereka yang lemah dan tidak berdaya ketika berhadapan dengan absurditas kekuasaan. Lihatlah absurditas kekuasaan ketika Rama berhasil menaklukan Rahwana. 

Apa yang dilakukan Rahwana, secara terselubung juga dilakukan Rama. Meski dalam bentuk berbeda. Anak Bajang sarat dengan imajinasi simbolik yang menggali-makna-makna filosofis yang dalam sehingga bisa menghadirkan kembali kisah klasik Ramayana dalam sebuah sastra yang indah dibaca dan dicerna.

Sosok Rahwana yang digambarkan Sindhunata, mau tidak mau akan mengingatkan kita pada kondisi sekarang ini. Bila dalam novel ini Sindhunata menggambarkan Rahwana pada diri satu orang, Raja Alengka, maka dalam kehidupan nyata kadang kita seperti menghadapi Rahwana yang tidak berbilang. 

Banyak orang yang berlaku seperti Rahwana, meski dia bukan di puncak kekuasaan seperti Rahwana. Lebih tragis lagi, bahkan banyak yang berlaku seperti Rahwana padahal dia bukan hanya tidak ada di puncak kekuasaan seperti Rahwana, kesaktian seperti Rahwana yang sulit mati pun tidak dia miliki.

Mungkin yang agak menyentuh adalah ketika Sindhunata menutup novel ini dengan fragmen anak-anak kera dan anak-anak raksasa. Ketika Rama berlaku seperti Rahwana yang penuh angkara murka, anak-anak kera dan anak-anak raksasa justru bermain-main gembira. Kera dan Raksasa yang baru saja berdarah-berdarah bertarung membela Rahwana dan Rama, sekarang anak-anak mereka bermain gembira bersama-sama.

Dalam paragraph penutupnya, Sindhunata menulis, "Mereka terus bersenda gurau. Lari berkejar-kejaran. Main gajah-gajahan. Berguling-guling di tanah sambil bersorak riang. Rukun dan damailah hati anak-anak kera dan anak-anak raksasa ini. Dan mereka tidak berpikir apa-apa, kecuali bergembira. Kegermbiraan mereka seakan mengejek: kisah dan riwayat yang dialami orang tua mereka ternyata hanyalah mimpi yang berakhir dengan kesia-siaan belaka"

Mungkin seperti itulah mestinya kita menghadap absurditas kekuasaan. Dihadapi dengan ceria dan gembira seperti anak-anak yang bermain. Bermain-main dengan siapapun. Terlepas apakah dulu dia musuh atau bukan. 

Hanya mungkin masalahnya, kita tidak hanya sedang berhadapan dengan Rahwana yang ada dimana-mana, tapi juga kera dan raksasa sudah tidak bisa lagi bermain bersama. Karena kera dan raksasa nya tidak bisa bermain bersama, anak-anak nya pun kadang tidak bisa bermain bersama lagi.

sudah tayang di bidiktangsel.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun