Novel "Memang Jodoh" sebagai karya terakhir Marah Roesli, seolah menjawab dua pertanyaan besar diatas. Di satu sisi kita seolah menemukan darimana sebetulnya inspirasi munculnya roman Sitti Nurbaya. Sedangkan di sisi lain, kita menjadi faham kenapa konflik Marah dengan kaumnya seolah terus berlanjut tanpa henti. Ada dinamika yang berbeda yang dihadapi Marah Roesli dan Buya Hamka. Selain juga keduanya mempunyai karakter berbeda.
Inspirasi Sitti Nurbaya sendiri pada akhirnya tidak jauh dari apa yang dialami oleh Marah Roesli sendiri. Seorang anak bangsawan yang tidak bisa menerima cara adat memperlakukan lelaki dan perempuan dalam pernikahan. Marah bukan hanya menolaknya, tapi juga melawan dengan tidak mengikuti perintah adat. Meski tentunya dengan berbagai macam perubahan.
Selain itu, kita juga akan mengerti bahwa sebetulnya Marah sendiri sudah berdamai dengan para tetua adatnya. Seperti dengan mamak, pamannya, yang selama ini keduanya dianggap saling menyakiti. Di satu sisi Pamannya tersakiti oleh Marah karena kemenakan yang suah dia biayai sekolahnya sejak kecil, tidak menurut kehendak dirinya. Suatu tindakan yang secara adat, sudah mencoreng harga diri pamannya Marah. Sedangkan disisi lain, Marah juga marah terhadap pamannya karena sudah membuan dirinya dan Ibu nya atau adik pamannya itu.
"Memang Jodoh" sendiri adalah karya terakhir Marah Roesli yang selesai pada tahun 1961. Dibuat Marah Roesli sebagai hadiah perkawinannya yang ke-50 untuk istrinya yang selama ini membela dia. "Memang Jodoh" adalah semi autobiorafi Marah Roesli. Tokoh utama dalam novel ini, Marah Halim, adalah Marah Roesli sendiri. Namun berdasar wasiatnya kepada anak-anaknya, novel ini baru boleh dipublikasikan 50 tahun kemudian. Ketika tokoh-tokoh yang tercantum dalam novel ini diperkirakan sudah meninggal. Jadilah "Memang Jodoh" baru diterbitkan Mizan pada tahun 2013. Diberi judul "Memang Jodoh" seperti untuk meneguhkan bahwa halang rintang apapun yang ingin memisahkan Marah dan Istrinya, baik yang datang dari keluarga Istri yang berlatar budaya Sunda maupun suami yang berlatar Minang, itu tidak akan memisahkan mereka berdua.
Sebagaimana lazimnya sastra dengan kisah masa lalu yang juga ditulis pada masa lalu, selain menggambarkan kepada kita bahasa yang berkembang pada masa itu, juga mendokumentasikan kepada kita situasi sosial budaya pada masanya. Pada novel yang menceritakan konflik yang terjadi karena perkawinan antara Marah Roesli dari Minang dan Raden Asnawati dari Sunda, mau tidak mau memberikan gambaran kepada kita tentang stereo type apa yang berkembang di masyarakat Sunda tentang orang Padang khususnya dan Sumatra umumnya. Juga sebaliknya. Novel ini juga menggambarkan apa yang ada di benak masyarakat Minang dan Sumatra tentang perempuan Sunda.
Selain kedua hal diatas, maka yang menarik adalah bahasa yang disajikan Marah. Melalui "Memang Jodoh" kita akan menikmati bahasa Melayu lama, menurut Remy Sylado ini adalah bahasa Melayu Tinggi sebagai lawan Melayu Rendah atau Melayu populer, yang mungkin sudah tidak lagi digunakan orang tetapi masih bisa kita fahami
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H