Mohon tunggu...
Delianur
Delianur Mohon Tunggu... Penulis - a Journey

a Journey

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Memang Jodoh, Karya Terakhir Penulis Sitti Nurbaya

31 Juli 2020   21:47 Diperbarui: 31 Juli 2020   21:59 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memang Jodoh Karya Terakhir Penulis Sitti Nurbaya

Bagaimanapun, roman Sitti Nurbaya karangan Marah Roesli adalah karya legendaris. Salah satu karya terkemuka yang masih disebut-sebut sampai sekarang. Bagi para sastrawan, Sitti Nurbaya dianggap sebagai tonggak baru sastra Indonesia modern yang memperkenalkan Romantisme. Setelah karya sastra sebelumnya banyak bercorak hikayat. Sementara bagi masyarakat umum, Sitti Nurbaya seperti menyuarakan suara hati akan tradisi yang kerap dianggap membelenggu kemajuan. Terlebih ketika kritik ini berbentuk cerita kisah-kasih tak sampai antara dua sejoli. Anak-anak muda yang dikenal progressif, pastinya sangat terwakili dengan novel ini.

Kepopuleran Roman Sitti Nurbaya sendiri bisa dilihat dari penyebutan orang terhadap tokoh-tokoh novel ini. Banyak orang mengaitkan Sitti Nurbaya sebagai simbol penolakan terhadap kawin paksa, Datuk Maringgih sebagai tokoh perusak kehidupan dan Syamsul Bachri sebagai pemuda terdholimi yang mesti dikasihani. Padahal bila novelnya dibaca, Sitti Nurbaya adalah simbol anak berbakti, sementara Datuk Maringgih patriot yang rela menetaskan darah untuk membela kaumnya. Adapun Syamsul Bachri, pada akhirnya terlihat seperti pemuda frustasi karena cinta yang mengabdi kepada kolonialisme Belanda untuk menuntaskan dendam cintanya.

Sementara itu Marah Roesli penulis Roman Sitti Nurbaya, disebutkan mempunyai cerita hidup yang sangat menarik berkait dengan budaya Minangkabau yang dikritik dalam novel nya itu.

Marah Roesli adalah pemuda cerdas keturunan bangsawan. Marah yang menjadi awal namanya adalah penanda bahwa dia anak orang terpandang di ranah Minang. Karena kepintarannya, Marah disebutkan mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikannya ke Belanda. Namun karena tidak disetujui orang tuanya, Marah melanjutkan sekolahnya ke Bogor untuk mempelajari Ilmu pertanian. Kesempatan belajar ke Belanda konon digantikan oleh seorang yang dikemudian hari dikenal tokoh perintis kemerdekaan nasional; Tan Malaka.

Berkaitan dengan karyanya Sitti Nurbaya, konon Marah juga mesti bersitegang dengan ninik mamak dan tetua adat di kampung halamannya. Karena dianggap sudah mempermalukan adat dan tradisi di tanah kelahirannya.

Sebagaimana Sitti Nurbaya yang menceritakan konflik dengan adat, utamanya adat perkawinan, Marah Roesli dalam dunia nyata pun bersitegang dengan adat. Marah yang merupakan seorang bangsawan, justru menikah dengan perempuan Sunda. Bukan dengan gadis Minang. Sesuatu yang bukan hanya dianggap melanggar adat, tetapi juga mencoreng para pemuka adat.

Masalah bertambah rumit manakala usulan adat supaya Marah menikah lagi dengan gadis Minang, ditolak Marah. Bagi adat, pernikahan kedua kali Marah dengan gadis Minang adalah solusi dari sepak terjang Marah yang sudah mempermalukan Adat. Apalagi beristri banyak adalah hal yang lumrah dan memungkinkan bagi Marah yang jelas nasabnya (kebangsawanannya). Marah menolaknya. Karena bagi Marah, lelaki dengan banyak istri bukanlah kehidupan sebuah keluarga yang ideal. Meskipun Agama membolehkan lelaki beristri lebih dari satu, faktanya dia melihat ada banyak problem dalam kehidupan lelaki beristri lebih dari satu.

Karena pertengkaran dengan adat inilah, Marah Roesli disebut tidak pernah kembali lagi ke kampung halamannya. Setelah meninggalkan Padang untuk belajar Ilmu Pertanian di Bogor dan menikah dengan gadis Sunda di kota hujan ini, Marah hanya sekali kembali ke Ranah Minang. Malah ketika mendapat tugas di Payakumbuh, Marah menolak. Setelah mengikuti penugasan pemerintah ke berbagai negeri di Indonesia, Marah menetap di Sukabumi, meninggal di Bandung untuk kemudian dikuburkan di Bogor. Satu komplek kuburan dengan istri satu-satunya yang dia cintai, Raden Ratna Kancana, anaknya, Rushan Roesli, dan cucunya yang juga musisi terkenal, Harry Roesli.

Berdasar gambaran sekilas diatas, muncul dua pertanyaan. Pertama, darimanakah Marah Roesli mendapat inspirasi menulis Roman Sitti Nurbaya. Sebuah sastra yang disebut sebagai Roman pertama di Indonesia sehingga HB Jasin menyebut Marah Roesli sebagai Bapak Roman modern Indonesia.

Pertanyaan Kedua, kenapa Marah Roesli menghadapi konflik yang begitu besar dengan tetua adatnya sehingga tidak kembali ke kampung halaman dan dimakamkan di rantau?Begitu besarkah konflik yang diakibatkan roman Sitti Nurbaya kepada kehidupan Marah?Bila konflik Marah dengan adat diakibatkan kritiknya terhadap adat, kenapa hal serupa tidak menimpa Buya Hamka?Seorang penulis pasca generasi Marah Roesli yang sama-sama berasal dari Minangkabau yang juga tidak kalah keras kritikannya terhadap adat Minang.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun