Kedua, orang bukan hanya butuh waktu lama, tetapi juga butuh pembimbing untuk memahami maksud sebuah Kitab. Tanpa pembimbing dan belajar secara instant, dia terancam akan tersesat dan membahayakan dirinya.Â
Karenanya Guru, adalah faktor penting dalam upaya memahami sebuah Kitab. Perannya bukan hanya mediator transfer Ilmu tapi juga proses membentuk karakther murid. Guru yang baik adalah guru yang bisa membentuk kharakter baik muridnya. Sebaliknya, Guru yang jahat adalah Guru yang membentuk karakther jahat pada muridnyaÂ
Hal ini tidak jauh berbeda dengan dunia Islam. Masyarakat Muslim mempunyai panduan untuk belajar Agama dengan cara yang baik, benar dan efektif. Sebuah Kitab yang sangat populer di kalangan pesantren yang memberikan panduan untuk belajar adalah Kitab bernama Ta'limul Muta'alim Thariqatul 'Ulum. Kitab Klasik yang terdiri dari 13 Bab dan ditulis oleh Imam Al-Zarnuji yang diperkirakan lahir pada tahun 570 H. Sebagaimana tidak ada keterangan jelas mengenai waktu meninggalnya, asal Imam Al-Zarnujui pun masih terdapat perbedaan pendapat. Satu keterangan menyebutkan beliau dari Turki, keterangan lain menyebutkan beliau dari Afganisthan.
Ta'limul Muta'alim Thariqatul 'Ulum tidak hanya memberikan panduan metode dalam belajar, tetapi juga panduan ethik. Misalkan ketika mengurai Bab niat belajar. Al-Zarnuji mengingatkan bahwa hendaknya niat belajar itu adalah dalam kerangka kita bersyukur karena memiliki jiwa dan raga yang sehat.Â
Bukan belajar untuk mencari kedudukan, menghasilkan uang sebanyak-banyaknya atau mencari penghormatan di tengah masyarakat. Belajar untuk meraih kedudukan, uang atau jabatan penting, pada dasarnya tidak mengapa. Hanya saja tujuan menduduki posisi itu mesti diniatkan untuk kembali membangun masyarakat. Itulah diantara panduan ethik belajar menurut Kitab itu.
Mengutip pendapat Ali bin Abi Thalib tentang syarat-syarat menuntut Ilmu yang efektif, disebutkan bahwa Ilmu tidak akan kita peroleh kalau kita tidak mengalokasikan waktu yang panjang atau thuluz zaman.Â
Dalam hikayat orang Islam disebutkan tentang seorang pintar bernama Ibn Hajar dimana secara leterleks nama tersebut berarti anak batu. Nama ini disematkan konon karena dia sempat putus asa karena lupa selalu menyertai setiap upaya dia mengkaji sesuatu. Namun semangat belajar nya tumbuh manakala melihat batu bolong karena tetesan air. Batu yang begitu keras, bisa bolong oleh air yang lembut karena konsistensi dan waktu yang lama.
Hal lain yang diperlukan dalam belajar adalah irsyadul ustadz atau bimbingan seorang guru. Tanpa bimbingan guru, pembelajar dikhawatirkan keliru memahami maksud dalam sebuah Kitab Suci. Bila keliru memahami sebuah Kitab suci, maka dipastikan dia bukan hanya tersesat, tetapi juga akan merusak dirinya sendiri dan sekitarnya.
Misalkan saja bila orang Islam memahami ayat pertama surat al-Ikhlas yang berbunyi "Qul Huwallahu Ahad" yang berarti "Katakanlah Dialah Allah yang Maha Esa". Dalam ayat ini, kata "Dia" memakai kata "Huwa" yang dalam bahasa Arab merupakan kata pengganti ketiga (dhomir) untuk laki-laki atau "He" dalam bahasa Inggris. Kebalikannya adalah "Hiya" atau bermakna "She". Tanpa seorang guru, orang akan mudah keliru memahami bahwa dalam Islam, Tuhan itu berkelamin laki-laki. Problem akan makin sangat rumit manakalah orang akan bertemu dengan ayat-ayat Kitab Suci yang secara sekilas terlihat menyesatkan atau bertentangan satu sama lainnya.
Di era internet seperti sekarang, hampir semua orang bukan hanya sudah mempunyai dan memegang Kitab suci tetapi juga membawanya kemana-mana. Tidak perlu lagi mencari kesana kemari untuk mencari Kitab suci.Â
Masalahnya, orang memahami Kitab suci bukan hanya tanpa bimbingan, tetapi juga dengan cara instant. Tidak aneh bila ada satu peristiwa, dengan sangat mudah menempelkan satu terjemahan Kitab suci untuk memahami kejadian itu.Â