Bertepatan dengan hari pendidikan pada 2 Mei yang lalu, salah satu intelektual muslim Indonesia terkemuka, Yudi Latif, menulis hal menarik berkaitan dengan era disrupsi dan pendidikan karakter. Sebagaimana biasanya, Kang Yudi Latif selalu bisa mengeksplorasi nilai-nilai lama dengan narasi baru yang lebih segar dan mencerahkan. Membaca tulisan-tulisan Kang Yudi seperti mengingatkan kita akan kekeliruan pemahaman kita akan nilai-nilai dan peristiwa masa lalu dan mengingatkan untuk tidak merasa diri lebih canggih dan modern hanya karena sudah memamah teori-teori sosial terbaru.
Paragraf awal artikel berjudul "Pendidikan di Era Baru" itu, Kang Yudi mengingatkan tentang kelatahan orang yang mengingatkan fenomena disrupsi secara berlebih-lebihan. Era disrupsi digambarkan sebagai sebuah skenario yang akan membawa manusia pada kehancuran tanpa ada jalan keluar. Padahal sepanjang sejarah peradaban manusia, era disrupsi itu pada dasarnya telah datang berkali-kali dan mengubah arah kehidupan manusia.
Perbedaan era disrupsi dahulu dan sekarang ada pada game changer (pengubah permainan). Zaman batu berakhir bukan karena batunya habis, tetapi karena ada teknologi perunggu sebagai game changer yang baru. Zaman perunggu berakhir bukan karena perunggu habis, tetapi adanya teknologi besi sebagai game changer pengganti. Begitu seterusnya. Perbedaannya terletak pada akselarasi dan skala disrupsi itu sendiri. Bila pada masa lalu disrupsi terjadi relatif lambat, maka disrupsi pada era sekarang berjalan cepat dan memiliki cakupan yang luas.
Berkaitan dengan pendidikan, lalu apakah era disrupsi mesti merombak total semua arah pendidikan kita?Menurut artikel diatas, pada dasarnya pokok-pokok tujuan pendidikan tidak perlu berubah. Era disrupsi dengan game changer yang belum pernah ada sebelumnya, hanya mengingatkan kita untuk merubah metodologi atau pola pendekatan dalam pelaksanaan pendidikan.
Efek massif disrupsi tidak bisa direspon dunia pendidikan dengan menjadikan dirinya sebagai pabrik tenaga kerja "siap pakai" untuk fokus menyiapkan peserta didik menguasai keterampilan tertentu. Karena kecepatan inovasi teknologi akan membuat keterampilan tersebut menjadi kadaluarsa. Daya sintas pendidikan tidak bisa mengandalkan pendekatan berbasis tantangan dan ancaman (threat based) melainkan harus mengembangkan pendidikan berbasis penguatan kapabilitas (capability based). Pendidikan tidak disiapkan sebagai pemasok "batu-bata" hanya karena terjadi ledakan permintaan batu-batu, namun harus diposisikan sebagai pemasok "tanah liat" yang memiliki elastisitas untuk memenuhi ragam keperluan.
Pelaksanaan pendidikan berbasis pendidikan, menuntut penyiapan peserta didik sebagai manusia pembelajar sepanjang hidup. Out put dunia pendidikan adalah manusia yang senantiasa memperbaharui dirinya untuk mengikuti setiap tantangan zaman. Era disrupsi, dan segala bentuk era baru dengan game changer yang baru yang tidak terprediksi sebelumnya, tidak selalu berarti mengubah hakikat prinsip pendidikan. Long life education itu tidak berbeda dengan Ki Hadjaran Dewantara yang mendefinisikan pendidikan sebagai proses belajar menjadi manusia seutuhnya dengan mempelajari dan mengembangkan kehidupan (mikro dan makro kosmos) sepanjang hidup.
Sebagai manusia pembelajar, orang harus mempunyai dua macam kemampuan. Di satu sisi harus memiliki kelenturan menyesuaikan diri dengan perubahan, di sisi lain memiliki akar yang kuat agar tidak mudah roboh diterpa angin besar. Bila yang pertama membutuhkan daya kreatif, maka yang kedua memerlukan daya karakter.
Diluar masalah sinematografi yang belum saya fahami, maka film Sunset Boulevard yang diproduksi pada tahun 1950 ini, seperti memvisualisasikan apa yang diungkap oleh artikel diatas. Tentang era disrupsi di dunia film, yang gagap dihadapi oleh salah satu aktornya.
Sebagaimana diungkap oleh Yudi Latif tentang disrupsi yang pada dasarnya juga sudah terjadi sepanjang peradaban manusia namun hanya berbeda skala dan kerapatannya, maka pada suatu masa di dunia film pun sempat terjadi era disrupsi. Ada game changer baru dalam dunia film yang merubah arah perjalanan dunia film, dan pada satu titik telah memakan korban bagi orang yang tidak bisa beradaptasi dengan keadaan tersebut. Â Â Â
Pada masanya ketika teknologi transmisi signal hanya bisa mengirimkan gambar, maka yang berkembang adalah film bisu. Film yang hanya berisi visualisasi tanpa ada suara yang mengiringi. Pada film seperti ini, aktor yang bisa menampilkan gesture yang sempurna menjadi aktor yang sangat diperhitungkan. Meskipun suaranya tidak ritmis dan sangat mengganggu pendengaran. Aktor Charlie Chaplin dengan gerak tanpa suaranya menjadi tokoh yang sangat dikenal dan laris pada era film bisu.