Mohon tunggu...
Delianur
Delianur Mohon Tunggu... Penulis - a Journey

a Journey

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Adakah Titik Kulminasi Politik Uang?

13 Mei 2019   15:31 Diperbarui: 14 Mei 2019   14:45 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu meme tolak politik uang yang disebar Bawaslu Sulsel jelang hari pencoblosan Pemilu 2019 yang jatuh pada 17 April mendatang. (Bawaslu Sulsel)

Daftar politik uang ini akan makin panjang bila kita menambahkan apa yang diungkap mantan Komisioner KPK, Bambang Widjoyanto, sebagai bagian dari politik uang yang nyata juga adanya.

Karena itu sekarang banyak orang mengatakan bahwa pemilu 2019 adalah pemilu paling brutal. Rating pemilu 2014 sebagai pemilu paling brutal seperti turun hanya menjadi pemilu brutal saja. Karena pemilu 2019 lah pemilu paling brutal. Itupun hanya kesimpulan sementara. Karena kita belum tahu apa yang akan terjadi di 5 tahun berikutnya.

Lalu adakah titik kulminasi politik uang di Indonesia?

Jika melihat tren, sepertinya keliru bila politik uang di Indonesia di analogikan dengan pergerakan Matahari dan Bumi dengan titik kulminasi sebagai konsep patokan. Karena ini berkaitan dengan uang dan kekuasaan, politik uang di Indonesia lebih tepat disandingkan dengan transfer pemain sepakbola. Eskalasinya makin lama makin menggila dan seperti tidak memiliki titik kulminasi.

Pada tahun 1992, AC Milan sempat disebut gila dan dikecam dengan mentransfer seorang Gianluigi Lentini seharga 13 Juta Poundsterling dari Torino. Nilai transfer yang tidak hanya memecahkan rekor transfer kala itu, tapi merusak harga pasaran pemain. Terlalu mahal untuk seorang Lentini yang belum jelas prestasinya apa dan datang dari klub medioker. 

Nilai transfer nya lebih mahal dibanding seorang Ruud Gullit yang berharga 6.75 Juta Euro dan Jean Piere Papin seharga 10 Juta Poundsterling yang jelas prestasi dan konstribusinya pada klub sebelumnya.

Tapi selanjutnya kita melihat bahwa 13 Juta Poundsterling seorang Lentini menjadi harga yang tidak bermakna. Setelah sempat geger dengan nilai transfer Ronaldo senilai 19.5 juta poundsterling dari Barcelona ke Inter Milan. 

Dunia mengejek dan mengecam Real Betis yang mau mengeluarkan uang 21.5 Juta Poundsterling untuk seorang Denilson. Pengejek Real Betis beberapa tahun kemudian pasti akan kecele. Karena pada tahun 2016 Manchester United menghargai Paul Pogba senilai 89 Juta Poundsterling untuk menariknya dari Juventus. 

Setahun kemudian nilai Pogba menjadi receh kembali ketika PSG membeli Neymar dari Barcelona dengan harga dua kali lipatnya, sekitar 200 Juta Pounsterling atau 222 Juta Euro.

Sebagaimana politik uang yang pasti digerakan sifat transaksional, maka begitu juga dengan nilai transfer pemain sudah mempertimbangkan keuntungan balik. Seperti ketika Juventus yang dianggap berlebihan membeli Cristiano Ronaldo yang sudah tidak muda lagi dari Real Madrid dengan nilai Rp 1,69 Triliun. 

Ternyata karena transfer itu, dalam waktu sekejap Juventus meraup keuntungan berlipat. Sahamnya naik tajam 22%, sekitar Rp 2,7 Triliun, 95% tiket terusan ludes meski harganya naik 30%, penjualan 520.000 buah Jersey dalam waktu 24 Jam atau bernilai sekitar Rp 915 Milyar, dan penambahan jumlah fans sampai dengan 400.000 follower di twitter.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun