Mohon tunggu...
Delianur
Delianur Mohon Tunggu... Penulis - a Journey

a Journey

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Bersyukur Jadi Caleg

15 April 2014   15:31 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:39 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sore hari di hari H pencoblosan seorang teman memberi kabar. Katanya organisasi alumni PII Jawa Barat tidak mendukung saya. Tepatnya alumni mendukung PPP dan PBB. Karena saya di PAN berarti alumni PII tidak mendukung saya sebagai caleg PAN. Pemberi informasi tidak bisa memberi info lebih detail karena dia tidak mengikuti pertemuannya secara langsung. Bisa dikatakan saya mendapat informasi dari tangan kedua.

Agak heran, terkejut, aneh, marah bercampur dengan geli mendengar berita tersebut. Saya bertanya dalam hati kenapa orang tua saya setega itu yah? Apa yang kurang dengan saya dari segi ke PII an. Hanya dengan mengklik wikipedia saja disana tercantum kalau namanya Delianur itu adalah mantan Ketua Umum Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia priode 2004-2006. Masih kurang?Saya bisa tunjukan kalau istri saya itu mantan Ketua PII wati se Jawa Barat yang karir nya juga sampai ke pengurus pusat. Atau mesti saya tunjukan juga kartu nikah saya bila saya itu menikah di bulan Mei, bulan kelahiran PII.

Mungkin karena ketika memutuskan menjadi caleg saya sudah siap dengan segala paradoksal dan ironi, saya relatif bisa mencerna informasi itu sembari tersenyum. Terlebih ketika dua orang teman yang saya beritahu tentang kabar ini merespon dengan senyuman juga. Bila yang satu meledek “Wah kalau begitu basis PAN hilang dong” sambil mengetik emoticon smile dalam BBM nya. Sementara teman yang satu lagi sambil tertawa mengatakan yang punya massa adalah mantan aktivis-aktivis PII yang ada di kampung-kampung yang terbukti intens membina masyarakat.

Pucuk dicinta ulam tiba. Esoknya ada sms ke hp saya dari pengurus alumni PII. Undangan muhasabah pasca pileg. Iseng saya balas sms dengan konfirmasi betulkah perhimpunan alumni memutuskan mendukung PPP dan PBB dalam pileg. Jawabannya begitu jelas “PPP dan PBB eta Partai Islam”. Jadi saya memang tidak didukung. Mungkin karena PAN, partai yang saya naungi bukanlah partai islam sehingga saya tidak didukung. Memang dalam setiap kesempatan sering disebutkan bila PAN itu buka partai islam karena tidak berazaskan islam.

Jadi sekian tahun saya beraktivitas di PII, mulai dari tingkat kecamatan sampai tingkat pusat, status itu hilang seketika hanya karena saya di PAN. Sekian lama orang tua saya di PII berbicara perjuangan islam, perubahan masyarakat tetapi ketika ada anak didiknya yang bertandang maju untuk ambil bagian, tidak didukung. Karena dianggap tidak lagi islami hanya karena masuk partai yang tidak berazaskan islam. Munafik bila saya mengatakan tidak sakit hati dan tersinggung. Tetapi seperti yang saya ungkapkan diatas; ujung-ujungnya kita tersenyum. Karena dunia sarat dengan paradoksal dan ironi.

Beruntung Jadi Caleg

Beberapa bulan berstatus sebagai caleg dan berjibaku keluar masuk kampung, bisa dikatakan tidak ada orang yang menanyakan azaz partai saya apa. Pertanyaan dan pernyataan dominan di tengah masyarakat adalah tentang fasilitas publik, pendidikan, kesehatan dan sembako. Mereka menanyakan kenapa jalan ke desa mereka tidak kunjung diperbaiki, apa halangannya sampai sarana prasarana di Puskesmas tidak memadai, mengeluh tentang biaya sekolah yang terus naik serta kapan harga sembako bisa murah.

Tidak ada pertanyaan tentang azas partai apa apalagi visi dan misi partai saya. Ternyata bagi mereka apapun partai nya, asal masalah infrastruktur tuntas, pasti mereka dukung. Bahkan sepertinya bagi masyarakat biar pun partainya tidak berazas, asal jalan ke desa mereka beres, anak-anak bisa sekolah, pengajian di masjid jalan terus dan harga-harga murah, itu partai yang akan mereka bela.

Tetapi bukan tidak ada orang yang menanyakan partai saya apa dan berdiskusi pilihan azas yang diambil partai saya. Biasanya yang menanyakan itu adalah orang terkemuka di daerah tersebut, secara sosial dan ekonomi diatas rata-rata masyarakat sekitarnya. Tetapi apa komentar orang sekitar begitu saya keluar rumah orang tersebut dan berdialog santai di warung?Saya disebut hanya menghabiskan energi dan waktu saja. Karena orang tersebut hanya bisa membawa suara dari dirinya sendiri, tidak dari orang lain. Sebuah eufimisme tingkat tinggi masyarakat yang menyatakan bila orang tersebut tidak memiliki umat.

Itulah keuntungan saya menjadi caleg. Pengetahuan saya tentang masyarakat tidak lagi hanya berdasar buku-buku, diskusi, ilusi atau judgement yang bernada pejoratif yang memakai ukuran dirinya sendiri. Menganggap masyarakat tidak religius hanya karena jarang shalat jamaah, sementara kita tidak pernah tahu dinamika yang menghimpit dirinya. Menganggap masyarakat tidak demokratis tetapi luput memperhatikan dinamika sosio kultural di sekelilingnya.

Ternyata kondisi ini tidak berhenti sampai disini. Bila dirunut sebetulnya banyak hal yang bisa dipelajari ketika saya menjadi caleg. Tidak hanya kesempatan berinteraksi langsung dengan masyarakat, tetapi lebih dari itu saya juga diberi kesempatan untuk mengenal dan mengetahui bagaimana karakther setiap tokoh masyarakat juga saudara bila dihadapkan pada perhelatan politik.

Salah satu pimpinan sebuah ormas berhasil di loby untuk mendukung saya. Akhirnya tercapai kesepakatan tetapi dengan syarat ada uang yang jumlahnya tidak sedikit. Bisa dikatakan uang itu mahar politik bukan biaya politik. Bila mahar politik semacam kartu pass untuk masuk ke komunitasnya, maka biaya politik adalah biaya operasional politik. Bila yang pertama saya anggap tidak wajar, terlebih bila datang dari pimpinan ormas Islam, maka yang kedua saya anggap wajar bahkan sebuah keharusan.

Dari sini saya faham. Ternyata berita selama ini yang menyatakan bila masyarakat kita sangat materialistis dan transaksional itu berita yang kurang lengkap. Pragmatisme itu ternyata berlaku juga pada elite kepemipinan lokal dan regional. Dan pengalaman seperti ini tidak hanya saya alami dengan satu ormas saja.

Lain perilaku tokoh masyarakat, lain lagi perilaku saudara dan tetangga. Salah seorang yang juga nyaleg dari partai tetangga dalam khutbah jumat nya menyatakan tentang pentingnya persatuan umat. Katanya perjuangan umat islam akan berhasil bila semua bersatu melupakan egoisme masing-masing golongan. Hal ini tidak hanya diungkap sekali tetapi berkali-kali. Ungkapan yang saya anggap sebagai komitmen ini pun saya respon.

Segera saya berbenah diri mensikapi statemen pak khatib yang juga caleg tersebut. Demi persatuan, dari 700 bendera partai yang ada di posko saya, tidak satupun saya pasang di sekitar rumah. Dari berkarung-karung kaos partai yang ada, tidak satupun saya bagikan ke lingkungan sekitar saya. Dari ratusan baligho, banner, spanduk yang ada di posko saya, hanya 1 baligho saja yang saya pasang di sekitar rumah. Ketika begitu banyak caleg DPRD dari PAN minta tolong untuk mendapat suara di sekitar lingkungan saya, maka saya tolak dengan alasan bahwa saya punya saudara dan tetangga yang juga caleg meski dari partai lain.

Tetapi kemudian apa yang terjadi?Tiba-tiba Di depan gang menuju rumah saya terpasang banner calon DPR RI yang separtai dengannya. Bahkan lebih ngeri lagi, jalan gang menuju rumah saya pun dipasang banner caleg DPR RI tersebut. Saya tidak tahu ini sebuah ironi, ketidaktahuan atau kesombongan. Sejak kapan persatuan umat islam bisa terwujud bila orang tidak mengikutsertakan tenggang rasa dan saling pengertian dalam kesehariannya. Hanya karena saya menghormat orang tua saja lalu saya bisa menahan diri.

Sementara caleg lain, yang juga saudara, membuat manuver politik lebih aneh lagi. Katanya meskipun beda partai tetapi karena saya saudara dan orang daerah, maka dia akan memperjuangkan saya untuk caleg ke pusat nya. Lain ucapan lain kenyataan. Beberapa saat kemudian saudara saya datang dengan caleg DPR RI sambil bawa kerudung dan uang Rp 10.000 dibagi-bagi ke Ibu-ibu tetangga saya.

Tetapi sekali lagi dari sinilah ada pelajaran yang sangat berharga. Saya baru faham kenapa ada istilah sunda yang berbunyi “Batur Jadi Dulur Dan DulurJjadi Batur” (orang lain jadi saudara dan saudara jadi orang lain). Karena kadang-kadang kita hanya punya status persaudaraan disebabkan pertalian nasab atau darah semata bukan pertalian kasih sayang. Sedangkan pada sisi lain kadang kita tidak punya kaitan nasab apa-apa dengan seseorang tetapi kemudian ada pertalian kasih sayang yang sangat kuat. Dan menurut saya itulah saudara kita. Jadi dalam persaudaraan antara nasab dan kasih sayang itu sering menjadi sesuatu yang berbeda.

Pemilu Sebagai Penyingkap

Dalam satu fragmen sufi yang dinisbatkan pada Hasan Al Bashri dikisahkan tentang murid Hasan Al Bashri yang takjub melihat orang yang sedang ibadah haji. Dia memuji kesalehan orang-orang yang sedang menyemut didepan ka’bah. Lalu Hasan Al Bashri menawarkan pada muridnya untuk memperlihatkan siapa yang sesungguhnya sedang thawaf dihadapan baitullah. Diusapnya muka orang tersebut oleh Hasan Al Bashri, ketika selesai diusap maka nampaklah dihadapan orang tersebut gerombolan binatang seperti babi, singa, monyet, ular, bunglon bukan manusia seperti yang dia lihat.

Pemilu mungkin tidak sedahsyat usapan tangan Hasan Al Bashri yang bisa menunjukan wujud asli seorang manusia. Tetapi pemilu bisa mengidentifikasi kita mana orang yang bersifat rakus seperti babi, ganas seperti singa, palsu seperti bunglon, curang seperti monyet dan licik seperti ular. Meskipun mereka tampil dalam wajah yang sangat religius dengan sorban dan kopiahnya serta berstatus sebagai pemimpin umat.

Dan kearifan politik adalah perintah ketika kita mesti berbuat baik kepada semua orang, meski harus tetap menerapkan prinsip waspada. Lalu bila kita geser sedikit mendengar uraian para psikolog; ikhlaslah dengan perbuatan baik itu. Supaya kita bisa lepas dan sehat baik secara jasmani maupun rohani. Tidak ada kerugian ketika kita berbuat baik kepada siapapun.

Waallahu’alam bishawab

Bandung, 14 April 2014-04-14

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun