Mohon tunggu...
Deliana Setia
Deliana Setia Mohon Tunggu... karyawan swasta -

I'm just an ordinary person, living this beautiful life that God gave me www.kitadankota.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Satu Senja Bersama Suku Marind di Merauke

31 Mei 2014   16:05 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:54 1200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="429" caption="Bersama Suku Marind di Merauke"][/caption] Masih dalam rangkaian seri tulisan tentang Merauke, salah satu kabupaten di ujung Timur Indonesia. Kunjungan singkat ke Merauke tentunya menyisakan beragam hal yang sayang bila tidak diceritakan. Ketika tugas dan urusan pekerjaan telah rampung  dan masih tersisa waktu beberapa jam, yang terlintas dalam benak adalah… “Mari kita jelajahi Merauke”. Tujuannya sudah jelas, ingin melakukan jelajah pantai. Pantai Lampu Satu dan Pantai Wendu yang jadi sasaran. Pantai Lampu Satu berada dekat dengan pusat Kota Merauke sehingga tidak memerlukan waktu yang lama untuk menjangkaunya. Giliran Pantai Wendu. Lokasinya ternyata membutuhkan waktu yang lumayan lama. Sekitar 1,5 jam perjalanan. Melalui jalanan yang sebagian besar berlubang. Puas berfoto dan menikmati keindahan pantai, waktunya kembali ke Kota Merauke. Perjalanan pulang dari pantai Wendu kembali harus melalui jalanan dengan lubang-lubang besar. Mobil terguncang secara periodik mengikuti kondisi jalanan yang cukup memprihatinkan. Jam menunjuk angka 5 sore. “Mau ke mana lagi nih?”. Langsung tercetus ide, “Ngobrol sama penduduk asli yuk….!”. Mata langsung tengok kanan dan kiri jalan, siapa tahu ada penduduk asli yang mau kita recoki dan kita ajak ngobrol. Tidak ada tujuan dan maksud apapun selain sekedar ingin berinteraksi dengan penduduk lokal. Mumpung berada agak jauh dari Kota Merauke karena sepertinya sedikit sulit menemukan suku asli Merauke di Kota Merauke. Penduduknya sebagian besar merupakan pendatang seperti yang pernah saya tuangkan dalam tulisan : Merauke, Miniatur Indonesia di Timur Papua. Gayung mulai bersambut. Tampak sekelompok penduduk lokal yang tengah berkumpul mengelilingi api unggun di depan rumahnya yang terletak di pinggir jalan. Awalnya bingung, “Bagaimana cara menyapanya ya..? Bagaimana cara memulai obrolan? Bagaimana kalau mereka menolak? Bagaimana kalau mereka mencurigai kita memiliki maksud-maksud tertentu?”. Langsung ditepis, “Ah…ayo turun…!” [caption id="" align="aligncenter" width="428" caption="Kebersamaan di satu senja bersama Suku Marind di Merauke"]

[/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="272" caption="Bersama seorang Ibu Suku Marind di Merauke"]
Gambar
Gambar
[/caption] Ternyata tidak sulit untuk melakukan interaksi dengan mereka. Suasana langsung cair seketika. Ketegangan langsung lumer begitu kami turun dan mengulurkan tangan, menjabat erat tangan mereka, dan menyapa mereka. Awal percakapannya cukup dengan, “Boleh kami bergabung?”. Percakapan selanjutnya mengalir dengan lancar. Dari percakapan hangat yang terjadi di antara kami, banyak hal yang saya ketahui. Banyak informasi yang kami hasilkan walau hanya sekedar obrolan ringan. Terkuak kenyataan bahwa ternyata mereka yang berkumpul di situ masih memiliki ikatan kekerabatan. Mereka tinggal di rumah yang berdekatan. Hampir setiap hari kumpul di sekeliling api unggun untuk menghabiskan senja, hingga malam mulai merayap dan kantuk mulai menyerang. Umumnya yang lelaki memiliki mata pencaharian sebagai nelayan. Cara menangkap ikannya menggunakan jaring seperti yang terlihat teronggok di ujung rumah. Ketika ditanya, “Dijual ke mana ikan-ikan itu?”. Ternyata sudah ada pengepul-pengepul yang mendatangi mereka dan mengambil ikan-ikan tersebut untuk dijual di Kota Merauke atau dijual ke daerah lain. [caption id="" align="aligncenter" width="423" caption="Cerianya anak-anak Suku Marind di Merauke"]
Gambar
Gambar
[/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="423" caption="Keceriaan khas anak-anak "]
Gambar
Gambar
[/caption] Anak-anak yang turut bergabung di seputar api unggun tetap bermain dengan ceria. Sebagian melakukan permainan khas anak-anak, lari saling berkejaran. Beberapa yang telah cukup usianya, merupakan anak SD yang berada tidak jauh dari rumah. Nama-nama mereka cukup keren. Ada yang bernama Victor, Jeremy, Emily, Anthony, Jonathan, Thomas, dan nama-nama berbau asing lainnya. Perhatian tertuju pada seorang bayi yang berada di gendongan kain ibunya. Angin berhembus cukup kencang. Si anak tengah lelap tertidur. Umurnya baru belum genap satu tahun. Ternyata anak tersebut tengah sakit malaria. Refleks, langsung tercetus tanya, “Sudah dibawa berobat?”. Sang ibu menjawab, “Sudah dibawa ke dokter di Puskesmas sana. Besok akan saya bawa kembali ke Puskesmas”. Badannya hangat. Terbersit di pikiran, “Waduh! Hari mulai gelap dan angin kencang begini, kok masih berada di luar rumah?”. Mereka merupakan Suku Marind. Di Merauke terdapat banyak suku dan Marind adalah satu di antaranya. Terkadang ada yang menyebut Suku Malind. Setelah ditanyakan, ternyata Suku Malind dan Suku Marind berbeda. Suku Marind merupakan suku tersendiri yang awalnya hasil dari perkawinan antara Suku Malind dengan orang yang di luar Suku Malind. Untuk seterusnya, keturunan mereka disebut Suku Marind. Umumnya mereka penganut Katholik. Terdapat gereja Katholik tidak jauh dari sana. Suku Marind sendiri memiliki banyak sub suku, antara lain Marori, Kanum, Yeinan, dan Pantai yang tersebar di Merauke hingga Tanah Merah di Kabupaten Boven Digul. Kebetulan, yang saya temui adalah Suku Marind Pantai. Suku Marind Pantai bermukim di lokasi yang tidak jauh dari pantai dan mengandalkan hidupnya dari hasil tangkapan di laut, antara lain udang dan ikan. Suku Marind yang lainnya umumnya tinggal di pedalaman dan memiliki mata pencaharian dari hasil pertanian dan hasil hutan. Senja mulai turun, berganti dengan malam. Cuaca semakin dingin. Namun kaum pria di sana tetap bertelanjang dada. Obrolan masih terasa hangat, namun sudah waktunya kami pulang. Jalanan yang banyak berlubang menyisakan rasa khawatir kami dalam menempuh perjalanan pulang terlalu malam. Kami pun pamit. Satu senja yang indah kami lewati bersama Suku Marind di Merauke. Semuanya menorehkan kenangan manis untuk dibawa pulang. Kehangatan penerimaan mereka, senyum mereka, keterbukaan mereka, keceriaan anak-anak, dan kebersamaan antar kerabat yang terjalin di antara mereka seolah menghapus bersih praduga awal tentang keraguan untuk berinteraksi dengan mereka. Semuanya berpangkal dalam satu kata. Kita memiliki kesamaan. Memiliki perekat yang menyatukan. Satu Indonesia, yang sama-sama kita cintai. Selamat pagi. Salam. (Del)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun