Biasanya, jika berkunjung dalam rangka tugas pekerjaan ke Pulau Batam, selalu tidak sempat untuk mengeksplor Pulau Rempang dan Pulau Galang. Banyak yang menjadi kendalanya, antara lain karena ketatnya jadwal atau karena harus segera kembali ke Jakarta. Yang dapat dilakukan hanya berkeliling di seputar Kota Batam atau berbelanja di wilayah Nagoya. Keinginan untuk melihat langsung jejak-jejak peninggalan sejarah keberadaan camp pengungsi di Pulau Galang menguatkan tekad untuk menyempatkan mampir ke sana. [caption id="" align="aligncenter" width="390" caption="Jejak Sejarah di Pulau Galang"][/caption] Pulau Galang di sekitar tahun 1980-an cukup dikenal dunia karena menjadi tempat pengungsian bagi warga Vietnam yang mencari perlindungan pasca terjadinya konflik internal antara Vietnam Utara dan Vietnam Selatan. Para pengungsi Vietnam telah mempertaruhkan sepotong nyawa mereka, mengambil resiko tinggi dengan menjadi manusia perahu. Mereka berlayar meninggalkan negara mereka, mengarungi samudra dengan hanya berbekalkan perahu kecil seadanya yang dijejali penumpang yang jauh melebihi kapasitasnya. Terapung-apung berbulan-bulan lamanya mengarungi Laut China Selatan. Sebagian harus merelakan nyawanya di tengah lautan dan sebagian lainnya berhasil meraih daratan, termasuk berlabuh di wilayah Indonesia. Mereka terpaksa melakukan itu untuk lari dari perang saudara yang melanda mereka di tahun 1979. Sebenarnya, para manusia perahu tidak secara langsung berlabuh di Pulau Galang. Awalnya, gelombang manusia perahu mendarat di Kepulauan Natuna bagian Utara, Kepulauan Anambas, dan Pulau Bintan. Para pengungsi diterima oleh masyarakat setempat. Namun, karena gelombang pengungsi terus berdatangan, tentunya menimbulkan permasalahan tersendiri. Komisi Tinggi Urusan Pengungsi PBB (UNHCR) dan Pemerintah Indonesia akhirnya memutuskan untuk menempatkan para pengungsi di Pulau Galang. Selain alasan kemudahan penyaluran pengungsi ke negara ketiga, juga karena Pulau Galang masih cukup luas dan dapat menampung para pengungsi. Para pengungsi ditempatkan di Desa Sijantung, sebagai tempat penampungan sementara. Para pengungsi Vietnam menjalani hidup dan kehidupannya di Pulau Galang hingga tahun 1995. Ada sebagian di antara mereka yang kembali ke negara asalnya dan sebagian lainnya mendapatkan suaka dari negara-negara maju. Kehidupan di camp pengungsi dibuat terisolasi dari lingkungan sekitar maupun dari penduduk setempat. Waktu itu dilakukan untuk mempermudah pengawasan dan penjagaan keamanan. Juga untuk menghindari penyebaran penyakit kelamin yang menjangkiti para pengungsi Vietnam, yang dikenal dengan Vietnam Rose. [caption id="" align="aligncenter" width="390" caption="Jembatan Barelang dan pemandangan indah di sekitarnya"]
[/caption] Sekarang, jika kita berkunjung ke Pulau Galang, tidak terlalu sulit, karena antara Pulau Batam-Pulau Rempang-Pulau Galang telah tersambung dengan jembatan yang dikenal dengan nama Jembatan Barelang (Batam-Rempang-Galang). Dibutuhkan waktu sekitar 1,5 jam berkendara mobil dari pusat Kota Batam ke Pulau Galang. Terdapat 6 jembatan yang menghubungkan pulau-pulau kecil di sana. Jika kita berada di jembatan tersebut, terpampang lukisan alam yang sangat indah. Selaksa lukisan pemandangan alam yang sering dilukis oleh para pelukis. Pandangan mata seakan dimanjakan oleh paparan lukisan alam nan indah, perpaduan antara laut biru dan hutan mangrove di sepanjang pantai yang sebagian besar masih asri. [caption id="" align="aligncenter" width="390" caption="Monyet-monyet yang berkeliaran bebas di sepanjang jalan"]
[/caption] Perjalanan menuju Camp Vietnam harus melewati jalan yang berkelok-kelok, membelah hutan Pulau Galang. Untuk memasuki Camp Vietnam, tidak ada gerbang mencolok, hanya berupa gapura bentuk perahu. Di perjalanan kita masih dapat menemui sekumpulan monyet yang berkeliaran, turun dari hutan yang ada di kanan kiri jalan, bermain di tengah jalanan. [caption id="" align="aligncenter" width="390" caption="Peta lokasi Camp Vietnam di Pulau Galang"]
[/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="390" caption="Papan sederhana di Camp Vietnam Pulau Galang"]
[/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="390" caption="Ajakan untuk kompak?"]
[/caption] Di Pulau Galang inilah jejak-jejak peninggalan para manusia perahu, para pengungsi Vietnam, masih dapat kita telusuri. Dalam kawasan yang dikenal dengan Kampung Vietnam seluas sekitar 80 Ha. kita seolah diajak untuk turut membayangkan kehidupan mereka pada waktu itu. Di kawasan bekas pengungsi Vietnam, tersebar bangunan-bangunan maupun benda-benda peninggalan yang dapat membantu kita untuk mewujudkan gambaran kehidupan para pengungsi yang cukup memilukan. Suasana Camp Vietnam ketika kami kunjungi sangat sepi, seolah hanya kami pengunjungnya. Berkeliling sendiri, mencoba menggalang puing-puing sejarah peninggalan para pengungsi yang masih tertinggal di Pulau Galang. Suasana sunyi, pepohonan yang rimbun, cuaca yang tidak begitu panas, bangunan-bangunan yang minim perawatan, terbengkalai dan merana, seolah memperkuat suasana yang ingin dibangun. Seakan turut memberikan gambaran tentang kehidupan mereka dulu. Ingin meneriakkan pilu, menyebarkan duka yang mereka alami. [caption id="" align="aligncenter" width="390" caption="Humanity Statue (Monumen Kemanusiaan)"]
[/caption] Terdapat banyak bangunan yang membawa kita pada kenangan para pengungsi Vietnam. Berawal dari Humanity Statue (monumen kemanusiaan)yang terletak tidak jauh dari gerbang. Monumen ini berbentuk patung seorang wanita. Humanity Statue seakan berupaya untuk mengingatkan kita akan peristiwa atau lebih tepatnya tragedi kemanusiaan yang menimpa salah satu pengungsi wanita di sana. Tinh Han Loai, seorang wanita pengungsi yang mati bunuh diri karena harus menanggung malu akibat diperkosa oleh sesama pengungsi. Memang banyak peristiwa kriminal yang terjadi antar sesama pengungsi sehingga pemerintah dan UNHCR merasa perlu untuk membangun sebuah penjara di Camp Vietnam. Fungsinya selain untuk memberikan pelajaran bagi para pelaku kejahatan, juga untuk menahan para pengungsi yang mencoba untuk melarikan diri. Mungkin kondisi stres dan depresi yang menimpa mereka turut mempengaruhi. [caption id="" align="aligncenter" width="390" caption="Perahu yang digunakan para pengungsi untuk mengarungi Laut Cina Selatan"]
[/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="390" caption="Sekilas penjelasan tentang perahu"]
[/caption] Di Camp Vietnam kita juga dapat menemukan perahu-perahu yang konon katanya sebagian merupakan perahu asli yang digunakan oleh para pengungsi dalam mengarungi Laut Cina Selatan. Terbayang sudah bagaimana mereka hidup berhimpitan selama berbulan-bulan dalam perahu yang relatif kecil yang katanya dijejali oleh sekitar 40-100 orang. [caption id="" align="aligncenter" width="390" caption="Foto-foto di Museum yang ada di Pulau Galang"]
[/caption] Terdapat pula museum di kawasan wisata sejarah Camp Vietnam. Di dalamnya terpampang foto-foto para pengungsi plus foto-foto kegiatan yang mereka lakukan. Beberapa bangunan yang ada di sana tidak terawat. Beberapa benda peninggalan dibiarkan berkarat tanpa pemeliharaan yang berarti. Padahal, benda-benda dan bangunan-bangunan tersebut merupakan bagian dari sejarah yang sayang jika dilupakan begitu saja. [caption id="" align="aligncenter" width="390" caption="Wisma Trang Galang"]
[/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="390" caption="Bangunan bekas Youth Center"]
[/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="390" caption="Tempat pengobatan (Hospital)"]
[/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="390" caption="Gereja Katolik Nha Duc Me Vo Nhem"]
[/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="390" caption="Vihara Quan Am Tu"]
[/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="390" caption="Patung Dewi di Vihara Quan Am Tu"]
[/caption] Beberapa tempat ibadah turut melengkapi kawasan camp Vietnam. Kondisinya tidak lebih baik. Dibiarkan tanpa perawatan yang seharusnya. Vihara, mushala, gereja Kristen maupun gereja Katolik lengkap tersedia.  terletak di tengah-tengah camp, persis bersebelahan dengan . Semua bangunan masih seperti bentuk aslinya. Hanya vihara yang sedikit tampak lain. Sepertinya masih digunakan karena ketika berkunjung ke sana, bangunan ini nampak lebih bagus jika dibandingkan dengan bangunan ibadah yang lainnya. Telah dicat ulang dengan warna mencolok dan terdapat patung Dewi yang indah. Keadaan ini berbeda 1800 jika dibandingkan dengan gereja Kristen yang ada, yang hanya menyisakan puing saja. Di sana juga ada sekolah-sekolah bahasa yang diperuntukkan bagi para pengungsi dalam rangka persiapan sebelum mereka mendapatkan suaka di negara baru. UNHCR waktu itu mewajibkan para pengungsi agar memiliki keterampilan khusus atau menguasai bahasa asing. Saya belum dapat secara lengkap menggalang puing-puing sejarah yang terserak di Pulau Galang. Namun, telah cukup untuk mendapatkan gambaran dan bayangan kehidupan mereka kala itu. So, tidak ada salahnya untuk melengkapi kunjungan ke Pulau Batam dengan mendatangi dan melihat secara langsung bukti sejarah yang turut mewarnai Indonesia. Tertarik? Salam. (Del)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Humaniora Selengkapnya