Harga daging sapi yang tak kunjung turun membuat SBY marah. SBY marah, semua sibuk. Jajaran menteri dan pejabat-pejabat di bawahnya seakan berlomba untuk mengambil inisiatif, melakukan tindakan dan kebijakan, demi memuaskan sang bos. Semua bagaikan kebakaran jenggot. Bahkan yang tidak memiliki jenggot pun ikut terbakar, tersengat, dan tergopoh. Ada menteri yang langsung sibuk menstabilkan harga, ada yang melakukan upaya percepatan impor, ada yang langsung menugaskan Bulog untuk impor sapi, ada juga yang cepat mengamankan posisi. Yang terakhir, mungkin supaya tidak terpental dari kursi. [caption id="" align="alignnone" width="520" caption="Sapi Sumba TimurSumber Foto: Koleksi Tri Agustin"][/caption] Sapi memang seksi, sehingga semua urus sapi. Semua terlihat terburu-buru mengambil langkah, walau banyaknya hanya langkah sesaat semata. Langkah untuk jangka pendek, langkah tanggap darurat. Belum ada langkah untuk jangka panjang. Artikel ini tidak mengulas tentang penambahan kuota impor sapi atau tentang carut marut impor sapi atau tentang aktor-aktor pelaku penyelewengan impor sapi, beserta bumbu-bumbu penyedap di sekelilingnya. Melalui tulisan ini saya ingin mengajak kita untuk lebih memikirkan solusi jangka panjang. Toh para pembantu Presiden sudah banyak yang melakukan tindakan darurat jangka pendek. Walau hasilnya belum signifikan. SBY dan para menterinya tentu tahu dan pasti tahu, kebijakan impor bukan solusi jangka panjang. Terlebih pemerintah telah mematok target swasembada daging pada tahun 2014. Salah satu solusi jangka panjangnya adalah memacu produksi daging sapi dalam negeri. Supaya tidak bergantung pada sapi impor. Supaya tidak terbeban penyelewengan kuota. Supaya tidak terganjal mahalnya harga sapi. Solusi jangka panjang tersebut membutuhkan waktu dan keseriusan. Juga membutuhkan pengeroyokan dalam penanganan. Mari kita sejenak menengok Sumba Timur. Ada apa dengan Sumba Timur? Sumba Timur merupakan salah satu kabupaten di Pulau Sumba, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Selain alamnya yang indah, Sumba Timur menyimpan potensi besar. Potensi yang belum tergarap serius, belum tersentuh sempurna. Salah satunya adalah potensi peternakan sapi. Kebetulan, minggu lalu dari tanggal 21 hingga 24 Juli 2013, mendapatkan tugas berkunjung ke Sumba Timur. Kota Waingapu, ibu kota Kabupaten Sumba Timur, dapat dijangkau dari Jakarta melalui perjalanan udara Jakarta-Denpasar-Waingapu atau melalui perjalanan udara Jakarta-Kupang-Waingapu. Kota Waingapu telah memiliki Bandara Umbu Mehang Kunda yang melayani perjalanan ke Kota Kupang, Denpasar, Tambolaka, maupun kota-kota lainnya di luar Pulau Sumba. Jangan heran jika jalan-jalan ke arah Timur Kota Waingapu, yaitu ke arah Kecamatan Pandawai, Kecamatan Umalulu, Kecamatan Kahaungu Eti, dan Kecamatan Rindi, kita akan disuguhi pemandangan hamparan padang rumput, hamparan savana, surganya para sapi. Sepanjang mata memandang, tampak gerombolan sapi yang mandiri, mencari makan sendiri, mencari minum sendiri, dan pulang ke kandang sendiri. Di kala siang terik, di sinilah tempatnya kita menemukan populasi ternak sapi yang berkeliaran jauh lebih banyak dibandingkan manusia yang lalu lalang. Ke manakah para penduduknya? Mungkin orang-orang sedang istirahat di rumah karena sapi-sapi itu tidak memerlukan gembala. Mereka bisa mencari makanannya sendiri. Sempat terbersit tanya, “Kok tidak takut sapinya dicuri?”. Menurut penduduk sana, masing-masing sapi telah diberi tanda inisial pemiliknya berupa tato di badannya dan para sapi tersebut tahu jalan pulangnya sendiri. Sapi-sapi di Sumba Timur memang pintar, sudah terbiasa mencari makan sendiri, mencari sungai untuk minum sendiri, dan pulang ke kandangnya masing-masing ketika sore menjelang. Sektor peternakan di Sumba Timur memegang peran penting, menjadi sumber mata pencaharian sebagian besar penduduk Sumba Timur. Sejak dahulu, Sumba Timur dikenal sebagai pusat penangkaran dan perdagangan ternak, terutama sapi. Sapi yang banyak terdapat di Sumba Timur merupakan jenis sapi ongole yang asalnya dari India. Sapi ongole dari India itu sekarang biakannya dikenal sebagai ras Sumba Ongole. Inilah salah satu solusi jangka panjangnya. Seriusi Sumba Timur. Keroyok Sumba Timur. Gali dan kembangkan potensi yang ada di Sumba Timur. Sumba Timur memiliki potensi yang tidak kalah dibandingkan dengan Australia. Presiden SBY bukannya tidak sadar akan potensi Sumba Timur. Bahkan SBY sudah mulai menginisiasinya sejak tahun lalu. Hanya memang gaungnya tidak berlanjut hingga kini. Semakin hari gaungnya semakin samar terdengar. Tidak lagi menggelegar dan membahana. Masih terekam dalam catatan, tanggal 4 Juli 2012 SBY melakukan kunjungan ke Waingapu. Berkunjung ke Desa Moubokul, Kecamatan Pandawai, Kabupaten Sumba Timur. Kunjungan SBY dilakukan sebagai tindak lanjut dari hasil kunjungan beliau ke Australia dalam rangka membicarakan kerja sama investasi peternakan sapi. Kunjungan ke Waingapu untuk mengembangkan peternakan sapi di Nusa Tenggara Timur. Setidaknya, beliau sudah menginisiasi peluang untuk memacu produksi daging sapi dalam negeri. Hanya memang gaungnya perlu diperdengarkan lagi. Saat ini makin sayup. Perlu dibangunkan kembali. Yang menjadi masalah terbesar dalam pengembangan peternakan sapi di Sumba Timur adalah masalah air. Curah hujan di Sumba Timur rendah. Hanya memiliki hujan kurang lebih selama 3 bulan saja. Diperlukan pembangunan sistem irigasi, sistem embung, pemanfaatan potensi mata air, dan pemanfaatan sumur bor (air tanah). Namun semua ini bukan hal yang mustahil, hanya perlu rekayasa teknologi. Selain permasalahan ketersediaan air, juga perlu keseriusan dalam pembangunan dan pengembangan Pelabuhan Baing, pelabuhan yang dapat menjadi outlet produksi sapi. Tahun 2012, Kementerian Perhubungan telah menggelontorkan ada APBN nya untuk pembangunan Pelabuhan Baing. Yang tak kalah penting mungkin adalah pengenalan pengelolaan ternak menggunakan sistem paronisasi. Maksudnya peternakan sapi dengan sistem kandang, tidak dibiarkan berkeliaran mencari makanan sendiri. Juga pembiakan atau pembudi dayaan rumput untuk pakan ternak. Karena dengan sistem seperti sekarang, ketika musim kemarau, ternak-ternak sapi sangat kurus, sangat menyedihkan, sangat memprihatinkan. Rumput coklat tetap disantap. Tidak ada pilihan lain. Pohon-pohon meranggas, panas sangat terik. Pada kunjungan pertama ke Sumba Timur, Oktober 2012, jelas terlihat. [caption id="" align="aligncenter" width="468" caption="Sapi-sapi terlihat sangat kurus ketika musim kemarauSumber Foto: Koleksi Tri Agustin"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H