[caption id="attachment_2218" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber ilustrasi : http://great-images.org/wp-content/uploads/2014/01/happiness_001.jpg"][/caption] Saya setuju dengan pernyataan “bahagia itu relatif”. Alasan bahagia yang dirasakan seseorang belum tentu sama dengan yang lainnya. Rasa bahagia yang dirasakan oleh seseorang belum tentu memiliki kadar yang sama dengan yang lainnya. Bahagia juga tidak selalu berbanding lurus dengan kemakmuran dan kekayaan materi. Bahagia dapat dihasilkan dalam situasi maupun kondisi yang berbeda dan tergantung cara kita memandangnya. Bahagia pun merupakan sebuah pilihan. Bahagia akan senantiasa hadir bila kita dapat menyukuri sesuatu yang kita miliki. Terdapat berbagai survey yang mengungkapkan tentang indeks kebahagiaan negara. Sebuah badan PBB, yaitu UN Sustainable Development Solutions Network (SDSN) telah melakukan survey untuk mengukur indeks kebahagiaan (index of happines) dengan membandingkan kondisi negara-negara di dunia. Penilaian tingkat kebahagiaan dilakukan berdasarkan kebijakan yang diambil pemerintah dalam mensejahterakan rakyatnya, terutama terkait indeks kebebasan, korupsi, dan PDB perkapita masing-masing negara. Akan tetapi, beda halnya dengan Bhutan. Bhutan merupakan sebuah negara kecil yang berada di Asia Selatan yang dikenal sebagai Negeri Naga Guntur. Sang Raja, Jigme Singye Wangchuck IV memiliki tolok ukur yang berbeda untuk mengukur kebahagiaan. Jika umumnya tingkat kemajuan negara dilihat berdasarkan Gross Domestic Product (PDB)-nya, maka Bhutan memiliki Gross National Happiness (GNH). Sejak tahun 1971, Bhutan menolak Gross Domestic Product (GDP) sebagai satu-satunya cara untuk mengukur kemajuan. Pada tahun 2005, Bhutan telah menarik perhatian dunia, ketika Sang Raja memperkenalkan teorinya/pendekatannya bahwa kemakmuran diukur berdasarkan tingkat kebahagiaan. Teorinya terkenal dengan “Model Bhutan”. Menurut Model Bhutan, kebahagiaan adalah perkembangan yang seimbang antara materi dan spiritual, perlindungan terhadap lingkungan hidup, dan proteksi terhadap kebudayaan tradisional di atas perkembangan ekonomi. Banyak tindakan yang telah dilakukan Bhutan dalam hal pelestarian lingkungan. Misalnya dengan menerapkan larangan merokok untuk seluruh negeri serta melarang impor kantong plastik. Setiap orang setiap tahun minimal harus menanam 10 batang pohon. Tutupan hutan di Bhutan masih bertahan di kisaran 72% dan meraih urutan nomor 1 di Asia. Sebesar 26% lahannya dijadikan taman nasional. Untuk itulah Bhutan pada 2005 meraih hadiah sebagai “Pengawal Bumi” dari PBB. Raja Jigme Singye Wangchuck telah memperkenalkan reformasi yang signifikan. Beliau rela memindahkan sebagian besar kekuasaannya kepada Perdana Menteri. Sang Raja tidak mengedepankan perkembangan ekonomi semata melainkan memiliki keinginan untuk menjadikan sebuah negara yang berbahagia. Setali tiga uang antara Raja dengan Perdana Menterinya, Tshering Tobgay, 48, yang terpilih tahun lalu. Dia percaya bahwa bila menginginkan “Model Bhutan” diterima dan ditiru oleh negara lain, Bhutan harus membuktikan bahwa filosofi GNH telah sukses diterapkan. Prioritas utamanya tetap penerapan filosofi GNH di negeri Bhutan sendiri. Tobgay merupakan perdana menteri kedua sejak Raja Jigme memperkenalkan demokrasi di Bhutan pada tahun 2008. Tobgay mengkhawatirkan negaranya yang lokasinya terjepit di antara India dan China dalam kondisi yang berbahaya. Ini dimungkinkan bila terjebak pada situasi rasa nyaman atas image positif yang diberikan oleh dunia luar. Kontradiksi dengan kondisi yang secara realistis harus dihadapi oleh Bhutan. Bhutan tidak luput dari permasalahan yang tengah dihadapinya, seperti tingkat pengangguran kaum muda, kemiskinan, PDB yang rendah, dan sebagainya. Meskipun memiliki tingkat PDB yang rendah dan tekanan politik untuk menciptakan lapangan pekerjaan dan mengatasi migrasi ke ibukota, Tobgay masih memiliki keyakinan untuk menemukan cara meningkatkan kemakmuran tanpa mengorbankan prinsip GNH. Tobgay tidak menginginkan pembangunan yang dilakukan di negaranya menimbulkan kerusakan lingkungan dan mengorbankan nilai-nilai budayanya. Setiap perusahaan yang ingin menanamkan investasi di Bhutan tetap harus menerapkan prinsip GNH secara serius agar dapat mendapatkan nilai tambah, tetap menghormati nilai-nilai yang dianut Bhutan dan sesuai dengan budaya. Syarat utamanya, harus mendukung Bhutan untuk mencapai “green economy”. Sebuah ide besar dari negara kecil Bhutan, yang bukan tidak mungkin akan mengubah dunia. Jika seluruh dunia dapat mengusung prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, kebahagiaan warga yang tinggal, hidup dan berpenghidupan di dalamnya, serta tetap memiliki rasa bahagia sebagai makhluk Tuhan yang menghormati dan menghargai keberadaan makhluk Tuhan lainnya, tidak mustahil akan tercipta dunia yang indah, aman, nyaman, dan tentunya bahagia. Bagaimana dengan Indonesia? Salah satu kota yang belakangan ini juga turut mengusung “index of happiness” adalah Kota Bandung. Walikota Bandung, Ridwan Kamil, juga mengusung kebahagiaan sebagai tolok ukur dengan konsep yang sedikit berbeda. Beliau bertekad untuk menjadikan Bandung sebagai kota yang penduduknya dapat tersenyum, menyapa, dan menemukan hal baru. Semoga terwujud. Semoga pemimpin Indonesia yang akan terpilih nanti juga memiliki pertimbangan yang sama. Tidak hanya menjadikan Indonesia sebuah negara yang maju secara ekonomi, tapi juga menjadi negara yang masyarakatnya bahagia dan bangga tinggal di dalamnya. Sudah ah… Sudah waktunya untuk kerja… Selamat Pagi. Salam. (Del) Sumber : 1. http://www.theguardian.com/world/2012/dec/01/bhutan-wealth-happiness-counts 2. http://www.theguardian.com/sustainable-business/bhutan-prime-minister-business-gross-national-happiness
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H