Mohon tunggu...
Deliana Setia
Deliana Setia Mohon Tunggu... karyawan swasta -

I'm just an ordinary person, living this beautiful life that God gave me www.kitadankota.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Para Komentator Gelap di Kompasiana, Mulailah Menulis!

1 September 2013   18:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:31 881
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_262872" align="aligncenter" width="180" caption="Komentator Gelap. Sumber Foto: http://jhoeco.blogspot.com/"][/caption]

Beberapa hari lalu, coba tayangkan tulisan tentang sosok Wagiman alias Bu Risma, Walikota Surabaya. Tulisannya bisa dibaca di sini. Hasilnya di luar dugaan. Sambutannya di luar perkiraan. Terus terang, tak menyangka akan mendapat tanggapan dari banyak Kompasianer lainnya. Beragam komentarnya, beraneka tanggapannya. Walaupun puji syukur, banyak yang isinya positif. Terima kasih.

Saya termasuk baru di Kompasiana. Baru sekitar 2 bulan setengah gabung dengan Kompasiana. Dengan niatan tulus, hanya ingin mencoba menuangkan hal-hal yang melintas di benak, yang mampir di pikiran. Menuliskannya dalam tulisan, lalu membagikannya dengan yang lain.  Semata agar buah pikiran tidak hanya tertinggal di benak, tanpa makna. Bersyukur, termasuk Kompasianer yang beruntung. Walau masih baru, ternyata tulisan-tulisan yang disajikan, setidaknya dibaca orang lain, dan ditanggapi. Itu saja sudah cukup.

Begitu banyaknya komentar dan tanggapan yang mampir, sampai nyaris tak selalu sempat untuk menanggapinya. Semua semata karena beragam kegiatan yang mendera. Keterbatasan dalam menanggapi tulisan pulalah yang melahirkan ide. “Kenapa tidak menanggapinya dalam bentuk tulisan?”. OK.

Tergelitik dengan tanggapan salah satu Kompasianer yang mampir, “Kok gak ada hujan, gak ada angin, nulis tentang Bu Risma, bahkan sampai nyinggung-nyinggung Pak Jokowi. Bu Risma di Jatim, otomatis penulis orang Jawa, atau setidaknya tinggal di Jatim. Masa getun aja gak tahu artinya?” Demikian kira-kira komentarnya. Sejujurnya, saya bukan orang Jawa Timur. Hanya, dengan segala kerendahan hati, in my humble opinion, menurut hemat saya, seseorang tidak harus selalu berasal dari daerah yang bersangkutan dan menguasai bahasa daerah yang bersangkutan, untuk menuliskan sesuatu atau seseorang dari daerah tersebut. Menurut hemat saya, seseorang tidak harus berasal dari Jawa Timur, atau dari Surabaya, untuk bisa dan boleh menuliskan tentang sosok Bu Risma, sang Walikota Surabaya. Penulis tidak harus berasal dan tinggal di Jakarta untuk menulis tentang Jakarta maupun tentang Jokowi dan Ahok. Seseorang tidak harus mengerti dan menguasai Bahasa Perancis untuk menuliskan tentang Paris atau tentang Menara Eiffel atau tentang pemimpin Perancis. Terkadang, untuk tulisan-tulisan tertentu, dia dapat memperolehnya dari kunjungannya ke sana, atau bahkan hanya dengan mendapatkan beragam informasi dari sumber yang dapat dia sebutkan. Namun, tetap harus dapat dipertanggungjawabkan.

Ada pula komentar lainnya. Mungkin beliau penggemar fanatik Jokowi. Yang merasa tidak rela kalau idolanya ada yang mengkritik, atau merasa sangat tersinggung jika ada yang mencapnya suka pencitraan. Senyum lagi. Ah, mungkin beliau tidak terlalu cermat membaca artikel. Mungkin ada beberapa paragraf yang terluput. Mungkin telah terjadi salah persepsi. Berusaha berfikir positif. Padahal jelas-jelas di judulnya tercantum, “Dua Pemimpin Jempol: Sayang Wagiman Tidak Sekondang Jokowi”. Berarti, saya pun telah memberikan penilaian baik pada Jokowi. Telah memberikan jempol pada Jokowi. Walau, tetap saya tidak ingin fanatik, karena fanatisme berlebih, tidak baik. Saya hanya mengatakan, sayang Bu Risma tidak seterkenal Jokowi. Itu dalam rangka untuk mencoba mengangkat Bu Risma. Seorang tokoh lain, yang juga layak dibanggakan. Berusaha memberikan apresiasi. Ternyata di tengah galaunya negeri, masih ada sosok-sosok pemimpin yang lurus, yang baik, yang patut diberi pujian.

Komentar lain, sepertinya dari penggemar Jokowi juga. Yang merasa tersinggung jika ada anggapan bahwa Jokowi hebat karena menjadi “Media Darling”. Dikatakan, Jokowi sudah banyak berbuat sejak tahun 2005, sejak masih di Solo. Senyum lagi. Berarti, mungkin dia terluput juga. Atau tidak terlalu cermat baca artikelnya. Tetap berfikiran positif. Tetap tersenyum. Justru itu. Menurut hemat saya, tidak ada yang salah dengan menjadi “Media Darling”. Sepanjang itu dalam takaran yang pas, dalam porsi yang wajar. Agar tetap jernih. Tetap berpendapat, sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. Khusus terkait dengan tulisan tersebut, saya tidak mengatakan Jokowi tidak memiliki upaya sebelumnya, waktu beliau masih menjadi Walikota Solo. Acungan jempol juga saya berikan untuk Jokowi. Dalam konteks tulisan tersebut, saya justru ingin mencoba membuka wawasan, memberikan alternatif berita. Bahwa masih ada tokoh lain, yaitu Bu Risma yang layak pula diberitakan. Dalam kadar yang pas.

Jadi teringat, ketika pernah menayangkan sedikit masukan untuk Ahok di sini. Para penggemar fanatik Ahok, langsung meradang. Padahal, jika dicermati dengan seksama, saya hanya bermaksud untuk menempatkan kekaguman dan apresiasi dalam takaran yang pas. Tanpa mengaburkan koreksi. Tanpa perlu membutakan segalanya. Ahok pun sudah menegaskan, jika ada yang keliru, harap luruskan. Menurut hemat saya, kritik boleh, tapi tidak hanya mengkritik, tapi cobalah sertakan alasannya, tunjukkan letak kekeliruannya. Bahkan akan jauh lebih baik lagi jika ungkapkan pula solusinya, koreksinya. Istilah kerennya, berikan kritik yang membangun. Jangan hanya mencerca dan mencela.

Jika saya perhatikan, setidaknya dari kacamata pribadi, berdasarkan komentar-komentar yang sempat mampir, umumnya para komentator tersebut sangat gesit. Selalu mampir di tiap tulisan yang mungkin, belum tentu pula seperti anggapannya. Biasanya, tanpa ada foto dan sering tidak memiliki satu pun tulisan yang pernah tayang. Ternyata mereka hanya berkomentar, tanpa pernah menulis sesuatu, tanpa memiliki artikel hasil karya mereka. Seolah mereka adalah para komentator gelap. Segelap foto dan identitas mereka.

Untuk itulah, dengan segala kerendahan hati, tanpa mengurangi rasa hormat, saya himbau. Cobalah untuk menulis! Cobalah tuangkan buah pikiran anda dalam bentuk tulisan. Jangan hanya berhenti pada komentar. Berikan pandangan tentang idola anda. Bagaimanapun, terima kasih telah mampir di tulisan-tulisan saya. Setidaknya, telah mencoba membaca tulisan saya. Jangan bosan untuk mampir di tulisan-tulisan saya selanjutnya. Terima kasih. Salam. (Del)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun