Sesuai dengan tuntutan tugas dan pekerjaan, beragam perjalanan telah terlewati dan beraneka pengalaman telah didapat. Sebagian meninggalkan kesan mendalam, separuh menorehkan kenangan sesaat, dan paruh lainnya terlupakan begitu saja. Tertiup angin, tersapu hujan, lalu hilang tiada jejak. Perjalanan akan terasa sangat berkesan bila memiliki manfaat, mengguratkan makna, dan meninggalkan pesan serta arti yang mendalam. Seperti halnya perjalanan berikut. Pimpinan menugaskan untuk melakukan monitoring dan evaluasi ke Provinsi Bengkulu. Memonitor dan mengevaluasi hasil pekerjaan di daerah. Kali ini yang jadi sasaran adalah kabupaten di Provinsi Bengkulu, yaitu Kabupaten Bengkulu Selatan. Tidak sendiri, bersama seorang rekan kerja. Anshori namanya. Misinya, melihat calon lokasi dan progres pekerjaan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH). Ayo berangkat! Terdapat dua calon lokasi kegiatan PLTMH yang ada di Kabupaten Bengkulu Selatan, yaitu di Desa Kayu Ajaran Kecamatan Ullu Manna serta Desa Sukamaju Kecamatan Air Nipis. Menurut penjelasan spesialis lingkungan provinsi, lokasi Desa Kayu Ajaran merupakan calon lokasi tersulit di Kabupaten Bengkulu Selatan. “Oh begitu ya… Kalau demikian, ayo ke sana!” [caption id="" align="aligncenter" width="390" caption="Indahnya Bengkulu SelatanSumber Foto : Dokumen Pribadi"][/caption] Perjalanan menuju lokasi awalnya tidak bermasalah, sangat menyenangkan. Kabupaten Bengkulu Selatan yang relatif masih didominasi oleh kawasan hutan, juga memiliki pemandangan yang indah. Sangat memukau dengan pesonanya tersendiri. Sungai yang melintas kawasan bagai sumber geliat kehidupan di sana. Sangat bening, jernih. Pantulan warna hijau dari pepohonan sekitar tampak jelas di sungai. Alam sekitar didominasi nuansa hijau dengan gradasi warna, dari hijau pupus hingga hijau tua. Tampak serasi. Perjalanan terhenti sejenak, sekedar untuk menikmati keagungan Tuhan, Sang Pelukis Semesta. [caption id="" align="aligncenter" width="390" caption="Jalan Menuju Calon LokasiSumber Foto: Dokumen Pribadi"]
[/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="390" caption="Jembatan Kayu Menuju LokasiSumber Foto: Dokumen Pribadi"]
[/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="390" caption="Jembatan Gantung Menuju LokasiSumber Foto: Dokumen Pribadi"]
[/caption] Perjalanan sesungguhnya baru saja dimulai. Petualangan baru akan dijalani. Satu hal yang harus diingat jika hendak memulai tugas lapangan seperti ini. Jangan bayangkan kesukaran yang akan dihadapi. Nikmati saja. Anggap kita sedang berjalan-jalan, berwisata. Supaya perjalanan terasa lebih ringan. Ternyata benar, untuk mencapai calon lokasi PLTMH, sangat jauh dan sulit. “Sesulit apa? Ayo kita lihat “. Perjalanan tidak dapat berlanjut dengan kendaraan. Jembatan tidak dapat dilalui kendaraan. Hanya terbuat dari kayu. Ok lah. Nikmati saja. Jembatan selanjutnya pun tidak dapat dilalui kendaraan, tapi cukup indah. Berupa jembatan gantung. Lolos dari dua jembatan, untuk mencapai sungai sumber PLTMH, masih harus lebih mengerahkan upaya lagi. Masih harus berjalan kaki lagi. Tetap tersenyum, bawa dengan hati gembira. Agar terasa lebih ringan. [caption id="" align="aligncenter" width="390" caption="Sullitnya Medan Menuju LokasiSumber Foto: Dokumen Pribadi"]
[/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="390" caption="Tebing yang Cukup CuramSumber Foto: Dokumen Pribadi"]
[/caption] Rintangan lainnya telah menghadang. Untuk mencapai sungai sumber asal energi PLTMH, harus menuruni tebing. Cukup curam. Untung saat itu tidak hujan dan tidak setelah hujan. Sehingga rute yang akan ditempuh lumayan kering. Pengantar dari Provinsi mulai meragukan, “Tunggu di sini saja Bu, biar kami yang ke sana”. Tanpa perlu menjawab, Anshori, rekan seperjalanan langsung berujar, “Tenang, Mbak Deli bisa”. Anshori memang sudah cukup mengenal saya. Coba dulu. Dengan berpegang pada tanaman-tanaman sekitar, coba menuruni tebing. [caption id="" align="aligncenter" width="390" caption="Sungai yang DitujuSumber Foto: Dokumen Pribadi"]
[/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="281" caption="Anshori di Air Terjun, Sumber EnergiSumber Foto: Dokumen Pribadi"]
[/caption] Lega. Akhirnya sungai tujuan, tergapai sudah. Cek sana, cek sini, lihat sana lihat sini, ok. Istirahat sejenak, tarik nafas. Siap untuk kembali ke atas. Siap untuk melalui jalur yang sama. Semangat! Perjalanan kembali ke atas terasa lebih mudah. Mungkin karena sudah memiliki pengalaman ketika turun tadi. Pertanyaannya, “Mengapa mau bersusah payah mencapai lokasi? Mengapa tidak mendelegasikannya ke teman-teman yang lain?” Alasannya tidak banyak, namun ada beberapa. Jawabannya langsung terlihat dalam perjalanan kembali. Ketika kembali ke posko di desa. [caption id="" align="aligncenter" width="390" caption="Sebagian Rumah Penduduk Target SasaranSumber Foto: Dokumen Pribadi"]
[/caption] Hari mulai menjelang siang. Mentari sudah menampakkan taringnya, cukup terik. Namun perjalanan tidak boleh terhenti. Panggilan perut sudah terasa. Lapar sudah mendera. Kami bergegas menuju desa. Inilah alasan pertama. Di depan tampak deretan rumah penduduk. Lebih tepatnya deretan gubuk penduduk. Tipikalnya hampir sama. Terbuat dari susunan kayu, beratap seng atau rumbia, dan ditopang kayu. Jumlahnya mencapai puluhan rumah. Tanpa listrik, apalagi sinyal telpon. Tanpa jalanan beraspal, apalagi jaringan drainase. Jangan bayangkan lingkungan tempat tinggal di kota. Di kota serba ada, di sana serba seadanya. Jaringan listrik kabel sulit untuk mencapai ke sana, terlalu jauh, sangat tidak efisien. Untuk itulah, coba mencari alternatif lain, dengan berbekal potensi aliran air sungai di sana. Melihat kelayakan pembangunan sebuah PLTMH. Demi agar rumah-rumah tersebut menyala, memiliki nyawa walau malam tiba. [caption id="" align="aligncenter" width="390" caption="Waniita Pemanggul DurianSumber Foto: Dokumen Pribadi"]
[/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="390" caption="Bersama Anshori dan Pemanggul DurianSumber Foto: Dokumen Pribadi"]
[/caption] Masih dalam perjalanan menuju desa, ternyata kami tidak sendiri. Tampak beriringan pula para Ibu, para wanita pemanggul Durian. Di punggungnya ada beban sekeranjang besar durian. “Wow!” Melihat pemandangan menakjubkan, tersadarlah. Saya tidak ada apa-apanya dibandingkan mereka. Kuatnya menempuh perjalanan naik dan turun untuk mencapai lokasi sungai, tidak layak dibandingkan dengan keperkasaan mereka. Perjalanan yang mereka tempuh, lebih jauh dan lebih berat. Plus beban berat durian di punggung. Anshori tak henti menggoda rekan rombongan lain, kala jalannya mulai melambat. “Ayo, masa kalah dengan ibu-ibu yang bawa durian…”. Alasan kedua terjawab. Saya berharap, dengan berbagai cara, setidaknya dapat mengupayakan perbaikan. Sekecil apapun itu. Untuk mereka. Setidaknya bisa mengupayakan jalan, agar mereka tidak perlu lagi memanggul di punggung. Jika tidak memungkinkan untuk diberi perkerasan, setidaknya dapat dilalui oleh gerobak dorong sederhana . Alasan ketiga, sangat sederhana. Agar perjalanan kami lebih bermakna, lebih berarti. Berarti bagi penduduk di sana. Memberikan secercah harapan bagi mereka. Untuk mewujudkan cita dan angan mereka. Cita yang sangat sederhana, yaitu agar desanya lebih maju. [caption id="" align="aligncenter" width="390" caption="Antara Lapar dan Kalap Menikmati DurianSumber Foto: Dokumen Pribadi"]
[/caption] Ternyata di desa, sulit menemukan warung makanan. Padahal panggilan biologis sudah semakin kencang. Perut harus segera diisi. Jam sudah di pukul 3 sore. Anshori mencetuskan gagasan, “Daripada cari-cari warung dan tidak kunjung ketemu, lebih baik kita makan durian saja”. Tak ada rotan, akar pun jadi. Tak ada warung makan, durian pun jadi. Alhasil, kami makan durian. Bengkulu memang terkenal dengan duriannya. Duriannya terasa legit, manis. Tidak terlampau besar, namun memiliki sensasi di setiap gigitannya. Durian segar jatuhan langsung dari pohon yang dibawa oleh para wanita perkasa, langsung diambil. Langsung jadi santapan makan sore, tanpa makan siang. [caption id="" align="aligncenter" width="390" caption="Mobil Penuh dengan DurianSumber Foto: Dokumen Pribadi"]
[/caption] Anshori sangat suka durian. Dia bisa menghabiskan beberapa durian sekaligus dengan sangat lahap. Terlihat sangat nikmat. Sisa-sisa kulit durian berserakan di meja. “Hhmmmm…. Akhirnya kenyang juga Mbak”. Saya hanya bisa berujar, “Sudah, jangan berlebihan Mas, besok kita masih harus ke lokasi lainnya lho...”. Ternyata tak berhenti di sana. Perjalanan pulang masih dibekali dengan tumpukan durian. Bagian belakang mobil dipenuhi durian. Untung bukan di mobil yang saya tumpangi. Alamat bisa mabok durian. Begitulah. Sampai Kota Bengkulu, selesai makan malam yang telat, masih disambung kembali dengan durian. Ketika Anshori coba menawari, “Tidak ah, saya sudah kenyang Mas”. Masih juga belum puas. Esoknya, sarapan, durian lagi. “Waduh!”. Anshori yang ceria, yang sangat perhatian dengan teman-temannya, yang suka dengan alam, terutama pantai, yang senang mengoleksi foto-foto pantai yang pernah dikunjunginya, kini telah tiada. Telah lebih dulu dipanggil Tuhan. Dia masih muda, masih sarat potensi. Masih banyak ide-idenya yang belum terwujud. Masih terngiang di telinga, “Kalau Mbak Deli koleksi pasir dari setiap pantai yang Mbak kunjungi, saya juga koleksi foto-foto pantai yang pernah dikunjungi”. Atau perkataannya, “Lain waktu, kita jalan bareng lagi ya Mbak…”. Pekerjaannya memang memungkinkan untuk itu. Namun, kebiasaan lupa makan dan telat makannya berakibat fatal. Anshori meninggal karena maag akut. Konon juga karena asam lambungnya yang tinggi. Ah saya, kurang paham. Yang pasti, perjalanan ke Bengkulu memberi banyak makna, memberi kesan yang mendalam. Memberi makna bagi pribadi, makna tentang arti sebuah pertemanan. Perjalanan terakhir bersama Anshori yang akan selalu dikenang. Juga memberi makna bagi penduduk di Desa Kayu Ajaran Kecamatan Ullu Manna dan Desa Sukamaju Kecamatan Air Nipis. Warga di sana sekarang telah menikmati terangnya listrik dari PLTMH yang telah selesai dibangun di sana. Sekarang mereka masih bisa bekerja di waktu malam. Anak-anak bisa belajar walau hari telah gelap. Setidaknya ada hasil sumbangsih karya Anshori di sana. Ada kenangan yang tertinggal, yang menyisakan kesan mendalam. Selamat jalan kawan. Kami semua pun, sedang menunggu giliran untuk menuju ke sana. (Del).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya