Mohon tunggu...
Deliana Setia
Deliana Setia Mohon Tunggu... karyawan swasta -

I'm just an ordinary person, living this beautiful life that God gave me www.kitadankota.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Andai Nilai Kejujuran di Bali Dapat Menular

14 September 2013   10:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:55 1369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap kunjungan ke Bali, baik dalam rangka tugas maupun untuk tujuan wisata selalu menyisakan cerita. Selalu ada yang melintas, mampir di hati, dan memerlukan penuangan. Selalu menggoda untuk sekedar digoreskan dalam tulisan. Sebenarnya, telah lama mendengar perihal keistimewaan orang Bali. Konon katanya, banyak yang bilang, orang Bali, terutama Bali Hindu, Bali yang memeluk agama Hindu, terkenal sangat jujur. Sangat menjunjung kejujuran. Benarkah? Jujur itu indah. Itu yang seharusnya ditanamkan dalam diri. Saat ini, nilai kejujuran semakin lama semakin terkikis oleh berbagai kepentingan. Yang menempatkan posisi kejujuran menjadi semakin terdesak. Terkikis dan terdesak oleh keinginan duniawi. Namun, kita masih bisa sedikit berlega hati, Bali masih bisa mempertahankan nilai   kejujurannya. Setidaknya berdasarkan pengalaman dan kunjungan ke Bali 2 hari terakhir ini. [caption id="" align="aligncenter" width="390" caption="Deretan pohon kemboja yang tengah berbunga, berderet rapi.Sumber Foto: Dokumentasi Pribadi"][/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="390" caption="Ibu tua pemungut bunga. Sebuah potret kejujuran di Bali.Sumber Foto: Dokumentasi Pribadi"]

[/caption] Dari jauh terlihat, seorang ibu tua memunguti bunga-bunga kemboja yang telah jatuh ke tanah. Dengan tekun, beliau punguti satu persatu, dimasukkan ke dalam kantung plastik transparan yang dibawanya. Tak lupa, jika ada sampah yang menggeletak, ikut dia punguti pula, lalu dimasukkan ke tempat sampah di sekitarnya. Hati tergelitik. "Hhmm…. Buat apa ibu tua itu memunguti dan mengumpulkan bunga-bunga yang sudah terjatuh?”. Lebih baik tanya langsung. Ternyata ibu tua itu memunguti bunga kemboja, untuk dikeringkan. Setelah kering, bunga kemboja akan dijual ke pengepul, untuk selanjutnya diolah dan diambil wewangiannya sebagai pewangi pada dupa, minyak, dan sebagainya. Ternyata, untuk satu kilogram bunga kering, dihargai Rp. 45.000,00 hingga Rp. 60.000,00. Nilai kejujuran sangat tampak dalam diri sang ibu tua. Pasti terbersit di pikiran, “Mengapa ibu itu tidak memetik sebagian bunga kemboja yang masih di pohon? Toh pohonnya tidak terlalu tinggi? Toh tidak ada seorang pun yang mengawasi? Toh sangat banyak bunganya? Jika hanya sebagian yang diambil, tidak akan kentara. Tentunya hasil yang diperoleh jauh lebih banyak”. Jawaban si ibu sangat sederhana, namun menyiratkan nilai kejujuran, “Tidak boleh, tidak baik”. Wow! Tidak jauh dari sana, terdapat beberapa kolam ikan. Kolamnya sangat jernih. Banyak sekali ikan di dalamnya, besar-besar. Siap panen. Seorang rekan kembali terheran-heran, “Coba kolam ikan ini ada di Jakarta atau di sekitarnya, pasti sudah habis diambil orang”. Tetapi di Bali tidak terjadi. Padahal lokasi kolam itu sangat memungkinkan untuk terlaksananya pencurian. Kembali terkagum. Rekan dari Bali seakan mengerti keheranan kami. Dia langsung menjelaskan, “Kalau mau tahu lebih lagi, coba lihat ke penjara di Bali, jarang sekali narapidananya yang orang Bali asli. Kalaupun ada, biasanya karena kasus pembunuhan atau warisan, tidak ada yang karena pencurian atau perampokan”. Kok bisa? “Kalau ada yang mencuri dan tertangkap basah, akan diadili di banjar, diarak keliling dengan membawa hasil curiannya diiringi dengan tetabuhan khas Bali. Pencuri pasti malu dan warga lain yang melihat pasti akan berfikir ulang jika ingin melakukan hal yang sama”. Bahkan, rumah-rumah di kampung-kampung hingga sekarang dibiarkan tak terkunci, tidak pernah dikunci pintunya. Tidak pernah terjadi peristiwa pencurian. [caption id="" align="aligncenter" width="390" caption="Bakso Babi 100% Haram.Sumber Foto: Dokumentasi Pribadi"]
Gambar
Gambar
[/caption] Tidak jauh dari tempat parkir, ada gerobak dorong tukang bakso. Bukan baso biasa. Melihatnya langsung tersungging senyum. “Hehehe, ini juga salah satu bentuk kejujuran orang Bali”. Penjual baso di Bali tidak perlu berbohong pada konsumennya, jika memang baksonya tidak diperuntukkan bagi orang yang tidak diperbolehkan untuk menikmatinya. Sudah jelas tertera di gerobaknya, "Baso babi 100% haram". Tidak seperti di daerah lain, yang justru berusaha untuk menutupinya. Andai nilai kejujuran di Bali bisa menular ke wilayah lainnya di Indonesia….. Betapa indahnya. Mungkin Indonesia jauh lebih damai, lebih tentram, lebih nyaman. Salam. (Del)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun