Mohon tunggu...
Deliana Setia
Deliana Setia Mohon Tunggu... karyawan swasta -

I'm just an ordinary person, living this beautiful life that God gave me www.kitadankota.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Aih…. Senangnya Beristri Banyak di Pulau Sumba!

6 April 2014   12:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:00 2016
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi/Kompasiana (KOMPAS IMAGES/NI LUH MADE PERTIWI F)"][/caption] Selain menyimpan sejuta keindahan alam nan eksotis, Pulau Sumba juga mengguratkan aneka adat  istiadat yang menarik untuk disimak. Sumba selalu menarik untuk ditelisik lebih jauh. Mungkin tidak semua orang di Pulau Sumba makmur. Namun, jangan pernah tertipu oleh penampilan sederhana, kulit hitam kering, pakaian lusuh berlumuran lumpur, serta jauh dari perawatan wajah dan tubuh. Tidak berarti mereka hidup serba kekurangan, tidak berarti mereka miskin. Bisa jadi sebaliknya. Jika ditanya lebih lanjut, “Berapa ternak yang Bapak punya?” Tidak perlu terkaget  jika jawabannya ratusan. Atau tanyalah, “Berapa luas sawah yang Bapak miliki?” Tidak perlu terheran jika responnya puluhan hektar. Mereka tidak seperti warga Jakarta yang menyimpan uangnya di bank. Harta mereka berserakan di kebun dan padang rumput, tanpa takut ada yang mengambil atau merampasnya. Harta mereka dibiarkan berkeliaran di padang rumput karena hartanya berupa ratusan ekor hewan ternak, baik sapi maupun kuda. Harta mereka juga berbentuk puluhan hektar sawah yang membentang di Bumi Sumba.  Bahkan mereka tidak tahu persis area yang mereka punya. Jika ditanya batas propertinya, mereka jawab, “Sampai kumpulan pohon kehi di ujung sana….” Sebagai catatan, pohon kehi adalah pohon khas Sumba yang struktur dahan dan rantingnya terlihat sangat eksotis ketika musim kering. [caption id="" align="aligncenter" width="300" caption="Hamparan Sawah yang menghijau di Pulau Sumba"]

Hamparan Sawah yang menghijau di Pulau Sumba
Hamparan Sawah yang menghijau di Pulau Sumba
[/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="300" caption="Padang savana di Pulau Sumba"]
Padang savana di Pulau Sumba
Padang savana di Pulau Sumba
[/caption] Kaya, punya ratusan ternak, puluhan hektar sawah, tidak lengkap bila tidak memiliki istri lebih dari satu. Tidak hanya dua, tiga, atau empat. Bahkan ada pula yang lebih dari lima. Wajah standar tidak menjadi masalah. Ingin rasanya meneriakkan pertanyaan, “Haduh…! Apa tidak puas beristri satu?” Untung masih dapat menahan diri, tapi tetap dengan pertanyaan-pertanyaan untuk memuaskan rasa ingin tahu. Hanya tentunya dengan nada yang lebih halus. Jadi teringat lagu yang pernah diluncurkan oleh Ahmad Dhani dengan judul “Madu Tiga” yang bertutur tentang senangnya hati kalau beristri dua. Istri tua merajuk, balik ke rumah istri muda. Kalau keduanya ngambek, gampang saja.. Kawin lagi. Ternyata di Sumba bisa lebih dari lima, bahkan ada yang 12 sekaligus. Masih penasaran, saya coba menelisik lebih lanjut alasan beristri banyak. Ternyata jawabannya simpel, “Supaya ada yang ngurus sawah dan ternak, kalau istri saya hanya satu, siapa yang ngurus sawah dan ternak?” Agak sulit untuk diterima akal pikiran saya. Pasti akan muncul pertanyaan lanjutan, “Mengapa tidak mempekerjakan orang lain untuk mengurus sawah dan ternak? Bukankah lebih baik menggaji pekerja?” Tapi tentunya kita tidak dapat memaksakan seseorang untuk memiliki pendapat dan pandangan yang sama. Kebetulan bertemu dengan salah satu Kepala Desa di Kabupaten Sumba Timur. Tepatnya mantan Kepala Desa karena minggu lalu anaknya yang terpilih untuk menggantikannya. Wajah tuanya terlihat jelas. Bajunya sangat lusuh, kulitnya hitam, dan masih terlihat lumpur di sana-sini. Tidak tampak bahwa dia memiliki properti yang sangat banyak. Ketika ditanya, ternyata beliau memiliki istri tiga. Tidak ada rasa canggung atau malu ketika beliau menjawab bahwa beliau memiliki istri tiga. Bahkan tanpa diminta, beliau menjelaskan bahwa anaknya, kepala desa yang sekarang, juga memiliki istri tiga. “Wow…!” Sempat pula lewat ke rumah seorang Sekretaris Desa. Orang dari Kabupaten langsung menjelaskan, “Itu rumah istrinya yang kedua. Rumah istri pertamanya tidak jauh kok..”. Terlihat sebuah rumah yang sangat sederhana. Tapi sekali lagi, jangan menilai seseorang dari rumahnya. Hartanya tidak kalah banyak. Praktek poligami di Sumba sudah menjadi hal yang lumrah dan wajar.  Mungkin kita saja yang menganggap hal itu aneh. Beristri banyak agar ada yang mengurus propertinya. Dan lebih terheran lagi ketika mengetahui bahwa rumah para istrinya banyak yang berdekatan, demikian pula dengan rumah anak-anaknya. Semakin terheran karena umumnya mereka sudah merupakan penganut Katholik atau Kristen Protestan. Bagaimana itu bisa diakui gereja yang menganut paham monogami? Jawabannya, “Yang diakui hanya istri yang pertama.” Tapi ada penjelasan yang sedikit melegakan dari salah seorang aparat kabupaten yang mengantar kami, “Tapi sekarang, sudah mulai jauh berkurang karena pengaruh gereja.” Kita dengan mudah dapat menjumpai pria paruh baya, dengan jabatan hanya Kepala Dusun yang memiliki istri tiga. “Jangankan kepala dusun, pria biasa saja bisa memiliki istri tiga kok….” Gubraaakkk! Tepok jidat deh… Tersenyum simpul sendiri, “Aih…senangnya para pria di Pulau Sumba ini. Butuh yang mengelola sawah dan ternak, tinggal kawin lagi….” Timbul pertanyaan, “Apakah jumlah populasi wanita di Pulau Sumba lebih banyak? Sehingga perlu untuk menjadi istri kedua, ketiga, dan seterusnya?” Hari sudah mulai sore, sudah waktunya untuk kembali ke Kota Waingapu, ibu kota Kabupaten Sumba Timur. Pertanyaan demi pertanyaan masih menggelayut di benak. Sudahlah… itulah budaya mereka… Tapi pasti menarik jika menelitinya lebih lanjut. Jadi… Tertarik untuk menjadi istri ke lima? Hehehe… Tidak saya sarankan lho… Selamat pagi. Salam. (Del)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun