Mohon tunggu...
Delia Atika Sari
Delia Atika Sari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Menulis untuk berbagi | Hukum | Isu sosial | Fakta menarik

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Takut Menikah dalam Tren Marriage Is Scary, Bolehkah?

14 September 2024   11:54 Diperbarui: 11 Desember 2024   23:08 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tren Marriage Is Scary di Tik Tok

Marriage is Scary jika diartikan dalam bahasa Indonesia berarti pernikahan itu menakutkan. Tren ini sangat ramai di perbincangkan di media sosial sejak bulan Agustus kemarin. Berawal dari aplikasi Tik Tok, tren ini silih berganti dibuat oleh para kreator. Marriage is scary adalah konten video yang berisi narasi bagaimana ketakutan, konflik, dan kekhawatiran mengenai kehidupan pernikahan. Biasanya, konten tersebut diawali dengan kalimat marriage is scary yang dilanjutkan dengan kata what if atau bayangkan, lalu disambungkan dengan narasi-narasi. Kaum laki-laki dan perempuan turut serta dalam pembuatan konten ini, namun para perempuanlah yang paling mendominasi dalam pembuatan konten ini. Konten tersebut seringkali menceritakan ketakutan dan pandangan pribadi para kreator mengenai pernikahan bahkan ada pula yang menceritakan pengalaman pribadi mereka. Karena tren ini semakin ramai, tren ini jadi merambat viral  di X,Youtube,Instagram, Facebook, bahkan sampai menjadi tema webinar.

Persepsi Kehidupan Pernikahan?

Media sosial khususnya Tik Tok adalah aplikasi yang paling digemari di berbagai lapisan usia saat ini, dan bahkan dengan media sosial dapat mempengaruhi pikiran atau persepsi masyarakat. Hadirnya tren Marriage is Scary ini memberikan ruang bagi netizen untuk berdialog secara tidak langsung. Melihat bagaimana para kreator membagikan video kemudian terlihat netizen saling meng-iyakan dengan cara berkomentar,like, dan membagikan video hingga mencapai ribuan kali. Dengan isi konten yang cenderung negatif, konten tersebut tentu akan memberikan reaksi di berbagai kalangan.

1. Kalangan anak muda yang belum atau akan menikah

Konten negatif tentang pernikahan yang saling dibagikan lewat tren ini bisa jadi memberikan persepsi baru mengenai kehidupan pernikahan. Mereka mungkin saja  takut akan kehilangan kebebasan setelah menikah, mendapat tekanan sosial, pengalaman negatif dalam hubungan orang tua, dan lain sebagainya. Pengalaman-pengalaman yang dibagikan dalam konten tersebut tentu memberikan pandangan baru dan angan-angan bagaimana sulitnya kehidupan pernikahan. Tak hanya itu, dengan hadirnya tren ini bisa saja memberikan pengaruh terhadap tindakan selanjutnya seperti memilih untuk menunda pernikahan bahkan memilih untuk tidak menikah sekalipun.

2. Kalangan mereka yang sudah menikah

Dengan adanya konten ini, dapat mengakibatkan ketidakpuasan dalam hubungan pernikahan yang sudah dijalani. Mereka menganggap bahwa belum mencapai standar pernikahan ideal, yang seringkali digambarkan oleh media sebagai sesuatu yang sempurna. Sehingga tuntutan-tuntutan diajukan kepada pasangan masing-masing untuk memenuhi standar media atau masyarakat.

Pernikahan dalam Islam

Pernikahan sejatinya merupakan salah satu anjuran dalam agama Islam. Perintah untuk menikah  juga tertuang di kitab suci Alquran, salah satunya adalah surat ar-Rum 21, yang artinya “Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah bahwa Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari (jenis) dirimu sendiri agar kamu merasa tenteram kepadanya. Dia menjadikan di antaramu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir. ”Selain itu, ajuran tersebut tidak serta merta dibuat begitu saja, perintah menikah merupakan salah satu tujuan dari syariat islam (maqashid syariah) yakni hifdhun nasl yang berarti menjaga keturunan.

Dalam tren ini, digambarkan bahwa seolah pernikahan itu adalah sesuatu yang menakutkan dan penuh beban, padahal sejatinya pernikahan dalam Islam merupakan  hal yang baik, bahkan dianjurkan untuk disegerakan.

Maka dari itu tempatkan sebuah konten sebagai tontonan bukan tuntunan hidup sepenuhnya. Media sosial sering kali menyajikan gambaran pasangan yang sempurna, di mana mereka tampak selalu bahagia, sukses, dan saling mendukung tanpa kekurangan. Gambaran ini dapat menciptakan tekanan yang tidak realistis, memaksa banyak orang untuk menuntut lebih dari pasangan mereka baik dalam hal penampilan, pencapaian, atau bahkan cara mereka berinteraksi. Akibatnya, kita bisa terjebak dalam ekspektasi yang terlalu tinggi, seolah pasangan kita harus selalu memenuhi standar yang ditetapkan oleh apa yang kita lihat di dunia maya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun