”Bossman is in the house!” begitulah kira-kira suara ini memekik tipis-tipis saat wajahnya kembali memenuhi layar hp saat laman-laman media sosial, terutama Youtube terbuka. Pasti hampir seluruh pengguna sosial media tahu siapa figur yang berjuluk “Bossman Mardigu” a.k.a “Sontoloyo”. Bila belum, si mbah google bisa memberi jawaban. Bila ingin mencari tahu siapa figur ini sebenarnya tidaklah sulit karena ada beberapa artikel yang sudah membahasnya. Tokoh ini cukup menarik perhatian beberapa bulan belakangan ini dengan video-video di channel Youtubenya yang asik untuk diketahui karena berisi gagasan-gagasan yang menghembuskan kesejukan dari segala arah, wusss… wuss…! Kehadirannya di Channel Youtube Helmy Yahya mungkin telah membuatnya keluar dari lubang persembunyian, bila boleh dikatakan demikian, ditambah namanya semakin terangkat ke permukaan saat menerima undangan podcast di channel Deddy Corbuzier. Joss!
Mendengar kiprahnya di dunia bisnis, sebaiknya ia patut diberi apresiasi setinggi-tingginya. Pemikiran-pemikiran yang disampaikannya di video-video berdurasi singkat cukup menegaskan bahwa ia figur bukan receh-receh alias patut diperhitungkan! Yah itu! Karena berpikirnya yang rodo bedo dengan yang umum, sekalipun bukan sesuatu yang baru juga. Pertanyaannya, kenapa dia baru ‘muncul’ saat video-videonya sudah hampir setahun ada di channel Youtubenya? Apakah tidak ada orang yang menyadari keberadaannya atau keengganannya untuk tampil di publik, atau..? Bossque!! Mungkin hanya anda yang bisa menjawabnya. Hehehe…
Apakah ada pemikirannya yang mungkin telah menarik perhatian publik hari-hari ini? Hmm itu pasti! Bila gagasannya yang terkait sistem monetary telah mengangkat namanya ke permukaan, hmm rasanya kok kurang gimana gitu.. Bukan meragukannya! Namun hal ini wajar mengingat kita masih terlalu terbiasa mempertanyakan kredibilitas seseorang dalam menjelaskan perkara, misalnya keuangan. Karena kalo dari perkara itu, Budhe Sri Mulyani mungkin orang yang akan lebih didengar.
Besar kemungkinan ketertarikan publik ingin mengenalnya karena gagasannya menghubungkan kondisi dunia saat ini, termasuk pandemi Corona, dengan tindakan suatu kelompok 'jahat' tertentu yang sedang mengendalikan dunia. Gagasan ini lazim kita kenal sebagai teori konspirasi. Hmm, benar-benar menarik mengaitkan situasi saat ini dengan teori tersebut. Beberapa berita yang dihubungkan dengan teori ini seperti penemuan vaksin Corona oleh Bill Gates yang diduga vaksin tersebut berisi chip yang dapat mengendalikan mereka yang menerima vaksin tersebut, virus Corona yang sengaja dikembangkan oleh negara tertentu untuk tujuan penyatuan mata uang, atau virus ini dikembangkan untuk memberi keuntungan kepada perusahaan farmasi yang mengeluarkan vaksin. Narasi-narasi ini dibangun dari teori konspirasi yang telah berkembang subur di tengah masyarakat dunia, tidak terkecuali negeri tercinta kita, Indonesia. Sebelum lebih jauh, bagi yang belum tahu apa itu teori konspirasi, bisa langsung japri si mbah, karena kalo dijelaskan di sini, panjaang! Hehehe.... lanjut.
Menarik sebenarnya bila kita melangkah mundur setapak dan bertanya mengapa teori ini dapat diterima oleh sebagian orang, termasuk Bossman Mardigu? Ada beberapa pokok pemikiran yang melandasi teori ini bisa diterima. Apa itu? Ini. Keinginan untuk memperoleh kepastian. Semua orang membutuhkan kepastian. Ingin tahu pasti gaji tidak dipotong di saat kerja dari rumah, pasti dapat Tunjangan Hari Raya, pasti bisa bayar ini itu, dan sebagainya. Di tengah situasi pendemik ini, situasi menjadi tidak pasti, kita menjadi galau, bingung, cemas, dan merasa hilang kendali atas keuangan; cicilan rumah, motor, mobil yang sebentar lagi jatuh tempo, gimana ini? Atau mungkin pendapatan; gaji penuh, gaji setengah, atau tidak digaji lagi, hiks.. beneran sedih. Apa yang harus dilakukan? Mau nangis disangka baperan, pesimis, penakut. Mau teriak juga malu sama tetangga. Hadeh!
Seperti air minum di tengah udara tropis yang panas, tentunya sudah tidak di bulan puasa, terasa menyejukkan dahaga. Demikian mempercayai teori konspirasi, seseorang seakan memperoleh kepastiannya kembali. Merasa stabil kembali dan jelas terhadap suatu permasalahan, merasakan kendali terhadap sesuatu, dan merasa lebih percaya diri bahwa ia lebih baik dari kelompok 'jahat' yang sedang mengendalikan dunia ini.
Ditambah teori ini menjadi teryakini dan berkembang subur dalam diri seseorang karena lingkaran sosialnya yang membantu meyakini teori itu benar. Lalu, apakah seseorang akan serta merta teryakini oleh pendapat orang sekitarnya yang setuju dengan teori tersebut? Sangat mungkin. Bila informasi terus menerus diterima maka informasi itu akan menjadi suatu kebenaran baginya. Seorang perwira militer nazi, Paul Joseph Goebbels, mengembangkan teknik propaganda ini yang diberi nama Big Lie, yaitu teknik menyebarluaskan berita bohong melalui media massa sebanyak mungkin dan sesering mungkin hingga kemudian kebohongan tersebut dianggap sebagai suatu kebenaran. Eit! Sabar dulu... Tulisan ini bukan suatu perlawanan terhadap teori ini ya, hanya coba perlahan kita perhatikan atas dasar apa teori ini dibangun. Kekuatiran? Keingintahuan objektif? Kelegaan diri? Apapun dasarnya, akan kembali kepada diri kita. Suasana hati menentukan keputusan kita untuk meyakini sesuatu. Seorang psikolog, Denis Waitley menyampaikan bahwa otak kita tidak dirancang untuk menerima suatu kebenaran, dan tidak juga untuk suatu yang salah. Dengan kata lain, otak kita menerima informasi secara netral, apa adanya, entah informasi itu benar atau tidak. Tergantung dari perasaannya saat itu. Ketika seseorang meyakini suatu gagasan, atau dapat disebut di sini teori, maka terjadi aktivitas otak yang terkait dengan emosi, penghargaan, dan penyataan diri. Itu sebabnya banyaknya keyakinan berbeda satu sama lain. Untuk yang satu ini, bisa nanti dijelaskan dalam tulisan yang lain.
Jadi, hmm apakah Bossman Mardigu mempercayai teori konspirasi itu salah? Tidaklah, karena bila melihat penjelasan di atas, informasi diterima akan terlebih dulu disesuaikan oleh rasa dalam diri, bila pas, terima. Dan sejauh kepercayaan terhadap teori itu dipahami sebagai tempat singgah sementara saja dari kegelisahan batin yang membutuhkan kepastian, maka semuanya akan kembali kepada apa yang disebut 'realita'. Bagaimana bila teori itu benar dan telah menjadi kepercayaan yang hakiki? Hmm, kalo begitu bacalah tulisan ini berulang-ulang! Kiranya kita semua menemukan "AHA!" di dalam tulisan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H