Bila dapat diandaikan sebagai contoh, soal meluapnya sungai ciliwung beberapa hari lalu mendatangkan banjir di kota Jakarta dan sekitarnya dan menjadi headline di media-media sosial untuk beberapa waktu. Luapan sungai ciliwung menyebabkan ribuan penduduk Jakarta harus mengungsi dan menetap di permukiman-permukiman yang tidak terdampak banjir. Perasaan warga Jakarta yang terdampak banjir mungkin beragam, sedih, marah atau bingung mencari cara mengatasinya. Mungkin perasaan itu juga dirasakan oleh Gubernur DKI, Anies Baswedan terhadap langkah-langkah taktis yang harus dilakukannya secara cepat. Menarik di sini, banjir dialami warga Jakarta juga dialami warga Tangerang Selatan dan Bekasi namun media-media online ramai membicarakan banjir di Jakarta dan mengaitkan banjir tersebut dengan kinerja Gubernur DKI, Anies Baswedan. Ia diolok-olok hanya dapat menata kata daripada menata kota. Meme-meme ditimpakan kepadanya tanpa ada perlawanan (klarifikasi) berarti darinya. Seperti seorang jatuh ditimpa tangga, ia dibandingkan pula dengan gubernur sebelumnya, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang dikatakan memiliki kemampuan manajerial tinggi dalam menata kota. Dalam arti, banjir yang disebabkan volume air berlebihan di sungai ciliwung hingga meluap dan menggenangi beberapa titik di kota Jakarta dikarenakan ketidakmampuan Anies dalam menata kota, terutama menormalisasi sungai sebagaimana telah dilakukan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) ketika ia memimpin Jakarta.Â
Mengapa netizen ramai mempersoalkan kinerja Anies dan membandingkan dengan Ahok? Â Tentu dapat dijawab dalam berbagai perspektif, salah satunya adanya sejarah polarisasi masyarakat yang cukup kuat pada masa Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI 2017 silam yang belum terselesaikan. Sekalipun terlihat adanya tata kata Anies untuk merajut kembali kerukunan warga Jakarta pasca pilgub ternyata tidak nampak pada tataran konkritnya. Konsolidasi terhadap kelompok yang berseberangan dengannya saat Pilgub lalu tidak berbentuk atau terkesan dibiarkan.
Di sini menjadi catatan tersendiri bahwa membangun hubungan baik tentunya bermula dari kata atau janji. Janji merajut kembali kerukunan warga Jakarta yang tidak muncul di permukaan.Â
Membangun hubungan baik tidak mudah, ia akan menjadi sementara atau berjangka pendek saat kata atau janji tidak terealisasi. Bencana banjir di Jakarta yang seharusnya mendapat perhatian dan dukungan moril dari seluruh warga Jakarta, kini menjadi catatan betapa pentingnya membangun hubungan baik berjangka panjang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H