Mohon tunggu...
Delfi Yudha Frasetia
Delfi Yudha Frasetia Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Editor in Chief di http://katabangdel.com/ Character Education Enthusiast | Business Analyst | Co-Founder MGI Foundation

Selanjutnya

Tutup

Politik

Demokrasi itu Bebas Memberi Solusi, Bukan Memberi Kritik

28 September 2015   17:02 Diperbarui: 28 September 2015   17:43 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pernah melihat sebuah film yang banyak adegan pemainnya menggunakan topi warna-warni (merah, biru, hijau, dan kuning) khas anak-anak?. Mereka berada disebuah perusahaan besar yang sangat Hi-Tech dan dipenuhi orang-orang yang super-duper pintar. Tapi! Anehnya bukan interior dengan teknologi tinggi yang ada didalam perusahaan itu, melainkan aneka permainan anak, seperti perosotan, ayun-ayunan, hingga bola-bola. Gimana? Ingat?. Iya, itu adalah potret sebuah film yang kerenz bangetz, The Internship. Dan perusahaan yang saya sebutkan adalah… Yes, Google!. Apa pasal hingga Google dikaitkan dengan demokrasi?. Pertama Google tidak akan dapat berkembang dinegara komunis. Kedua, Google itu adalah sebuah jelmaan dari demokrasi itu sendiri. Google dibesarkan dari pengguna, oleh pengguna, dan untuk pengguna internet. See, Google sekarang telah menjadi sebuah entitas yang begitu kompleks dan powerful. Mohon seribu maaf, sekedar perumpamaan, tapi saya melihat beberapa kehebatan dari pencipta sudah dimiliki oleh Google. Apalagi semenjak Google Cloud yang konon memiliki server di seluruh awan di langit dunia ini diluncurkan, google tidak hanya maha pemberi (search engine) melainkan maha tahu (dimanapun dan apapun yang kita lakukan mampu dipantau mereka). Masyaallah maha besar Allah yang meridhoi terciptanya teknologi itu.

Percayalah, Google tidak akan seperti ini jika didalamnya hanya ada tukang kritik. Tukang kritik benar-benar tidak memberikan sumbangsih apapun. Definisi tukang kritik disini tentu adalah orang yang hanya mencemooh terobosan, menghardik kekurangan, memanas-manasi keadaan, sampai mengkambing-hitamkan si pemberi solusi yang salah. Untungnya ada sekelompok orang yang terus berusaha mengubah Google, lewat sebuah kompetisi pegawai intern, bersama dua pria bernasip sama yang “sebenarnya tidak pintar” mereka mengajukan ide, ditolak, dicemooh, tapi terus memberikan gagasan, sikapnya kadang berlawanan dan dinilai membahayakan status quo, tapi terus memberi solusi. Akhirnya, lewat film ini saya menyadari bahwa pemberi solusi memang terkadang terlihat berlawanan, tapi justru mereka yang menjadi denyut dari kesuksesan Google

Demokrasi Indonesia

Dewasa ini, Amerika serikat tentu mudah menemukan masyarakat dengan mental pemberi solusi (innovator). Sistem pendidikan disana memang menekankan pada kebebasan berpendapat, catat, berpendapat bukan mengkritik. Yang tidak bijak pasti langsung saja berujar “sama aja kelezz!”. Tapi coba sedikit kita runut, orang yang menyampaikan pendapat itu pasti ialah orang yang memiliki ide atau gagasan sendiri, lalu kemudian mencoba mengadu gagasan miliknya. Sedangkan orang yang mengkritik, apakah sudah pasti ia punya gagasan?. (jawab dalam hati)

Baca ulasan selengkapnya disini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun