Mohon tunggu...
Delfi Yudha Frasetia
Delfi Yudha Frasetia Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Editor in Chief di http://katabangdel.com/ Character Education Enthusiast | Business Analyst | Co-Founder MGI Foundation

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mempersiapkan Orang-tua dan Guru Sebagai Fondasi Pendidikan Karakter

25 Februari 2015   18:16 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:31 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Angin segar terus dihembuskan kementerian pendidikan dasar dan kebudayaan dalam membenahi hiruk-pikuk dunia pendidikan di Indonesia. Setelah mengkaji efektifitas kurikulum 2013, dua gagasan teranyar kembali digodok dan siap untuk diterapkan. Disamping gagasan pembentukan direktorat pelatihan dan tunjangan guru sebagai manifestasi keberpihakan pada guru, gagasan yang juga mendapat perhatian adalah pembentukan Direktorat Keayahbundaan.

Berada di bawah naungan Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUDNI) direktorat keayahbundaan digadang-gadang mampu memberikan edukasi maksimal bagi para orang tua dalam mendidik anak-anaknya. Orang tua menjadi bagian terpenting dalam pertumbuhan setiap anak namun pengetahuan dan keterampilannya ternyata tak tersiapkan dengan baik menjadi dasar urgensi dibentuknya direktorat ini.

Pada tahap awal direktorat ini akan menyiapkan situs tentang informasi seputar anak, metode belajar yang baik, mengetahui dan mengawasi pertumbuhan anak dan beberapa pengetahuan dasar yang wajib dipahami setiap orang tua dalam mendidik anak.

Tentunya tidak ada kebijakan yang langsung sempurna dan memberikan dampak besar dalam jangka pendek. Beberapa kelemahan Direktorat ini tetap menjadi perhatian pemerintah dalam melakukan pembenahan, seperti masih banyaknya orang tua yang belum mampu mengakses internet, hingga permasalahan persepsi atau pemahaman dalam mempelajari pengetahuan yang disampaikan direktorat keayahbundaan. Namun kesadaran pemerintah akan pentingnya orang tua dalam sebuah sistem pendidikan, serta political will pemerintah dalam membenahi masalah ini lewat sebuah kebijakan teknis adalah layak mendapat apresiasi.

Tentunya setiap orang tua diharapkan untuk belajar memahami esensi dari sebuah pendidikan dimana mereka berada pada posisi penting yang tidak hanya sebagai pengawas, melainkan pendidik utama yang menentukan perkembangan seorang anak. Ketika kesadaran itu telah lahir maka setiap orang tua akan paham bahwa keberhasilan seorang anak merupakan keberhasilan setiap orang tua (bukan hanya guru). Begitupun sebaliknya, anak yang bermasalah merupakan cerminan dari orang tua yang bermasalah.

Menumbuhkan karakter yang baik pada setiap anak oleh orang tua dapat menjadi bekal yang paling dibutuhkan setiap anak sebelum ia memasuki dunia pendidikan formal. Dengan karakter tersebutlah anak-anak akan belajar, bermain, dan berinteraksi dengan teman-temannya. Permasalahan lingkungan sosial yang berpotensi mempengaruhi karakter baik si anak akan diatasi oleh kurikulum sekolah lewat guru-guru yang mendidik anak tersebut. Dengan kurikulum sekolah yang baik, guru yang baik, serta bekal pendidikan karakter yang baik oleh orang tua, maka anak tersebut akan tumbuh menjadi anak yang cerdas dan berkarakter.

Menurut Pusat Bahasa Kemendikbud, karakter diartikan sebagai bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak. Nilai-nilai yang terdapat diatas hampir dipastikan tidak akan bisa muncul tanpa adanya kemauan untuk menjalani proses perubahan yang berkesinambungan. Artinya membentuk karakter merupakan sebuah proses yang tidak cepat dan tidak dapat diselesaikan dengan hanya menegur, menceramahi, memarahi, ataupun lewat materi-materi karakter di dalam kelas sekolah.

Sejatinya sebuah perilaku yang dilakukan secara berulang-ulang akan menjadi sebuah kebiasaan, lalu kemudiaan kebiasaan yang terus menerus dipelihara dan diterapkan kemana pun orang tersebut berada maka lahirlah sebuah karakter. Sehingga dapat dikatakan bahwa pendidikan karakter adalah sebuah proses penanaman (inkulkasi) suatu nilai-nilai moral mulai dari sebuah perilaku sederhana namun konsisten lalu menjadi sifat yang melekat.

Sehingga disini bagaimana orang tua memberi contoh atau teladan sangat menentukan pembentukan karakter. Sifat-sifat baik orang tua yang ditunjukan dan diteladani oleh anak-anak merupakan transfer karakter paling efektif. Dengan pengetahuan kurikulum ayah-bunda yang setiap orang tua miliki, mereka dapat mengetahui mana perilaku yang pantas dan tidak pantas ditunjukan pada anak-anaknya.

Namun dewasa ini memang masih banyak orang-tua yang belum memahami bahwa mereka adalah bagian terpenting dalam proses pendidikan karakter. Mereka belum sadar nilai-nilai apapun yang mereka tanamkan baik yang buruk maupun yang baik, akan melekat dengan mudah pada anak mereka. Banyak kalangan orang-tua mengasosiasikan pendidikan itu sebagai tugasnya sekolah. Sehingga dalam mindset nya, pendidikan hanya didapat di lingkungan sekolah. Padahal pendidikan itu tidak hanya berbicara sekolah. Pendidikan sejatinya adalah usaha bersama dalam mengajarkan suatu hal baik agar seseorang tahu, mengerti, dan mau menerapkan nilai-nilai yang dipelajarinya dalam kehidupan sehari-hari.

Setelah lingkungan keluarga, maka lingkungan sekolah menjadi tempat dimana seharusnya pendidikan karakter ditegakkan dengan baik. Pemerintah lewat kementerian yang membidangi pendidikan telah berupaya agar pendidikan karakter menjadi basic dari setiap ilmu pengetahuan. Sehingga nilai-nilai karakter tidak boleh luput dari setiap pembelajaran.

Pada dasarnya masih terdapat banyak kekurangan pada implementasinya. Terutama terdapat pada masalah guru.Guru harus benar-benar mengerti apa yang menjadi permasalahan karakter yang melanda bangsa ini. Ketika guru telah paham maka ia akan dengan mudah merancang metode pembelajaran yang ingin ia bawakan. Sehingga pada akhirnya dalam setiap mata pelajaran pun dapat disisipkan nilai-nilai karakter yang akan membentuk kepribadian siswa.

Namun tidak bisa kita pungkiri bahwa masih banyak pula guru yang belum memahami esensi pembelajaran karakter. Misalkan pelajaran tentang kejujuran, masih banyak guru yang menggunakan metode lama dimana yang mereka tekankan adalah anak didik mampu menjawab definisi dari kejujuran, apa manfaat berbuat jujur, ataupun ciri-ciri anak jujur, lalu menghapalnya atau sering disebut memorize oriented. Apabila anak tersebut mampu menjawab soal dengan baik maka ia akan mendapat nilai baik dalam bidang kejujuran. Pertanyaan yang mendasar adalah apakah dengan ia menjawab dengan baik pertanyaan tersebut lantas ia dapat di katakan jujur?.

Di beberapa sekolah mulai satu dekade kebelakang tumbuh aktivitas yang berupaya menstimulasi siswa-siswi untuk berbuat jujur secara nyata, misalnya kantin kejujuran, koperasi kejujuran, perpustakaan kejujuran dan lain-lain. Namun program tersebut kebanyakan hanya hitungan minggu ataupun bulan. Alasan dihentikan dan sebenarnya sudah banyak diprediksi sejak awal adalah rugi atau tumpur, karena masih banyak anak yang tidak berlaku jujur dalam proses transaksi di dalam aktivitas pembelajaran nilai moral tersebut. Tapi apakah bijak jika itu dihentikan? seharusnya tidak. Kerugian itu tidak seberapa jika kita bandingkan dengan kerugian yang akan dialami bangsa kita, jika penerus bangsa dengan mental yang bobrok seperti itu dibiarkan tumbuh dan menguasai bangsa ini. Perbaikan mental secara persuasif secara berkelanjutan pada dasarnya bisa menjadi solusi dalam meluruskan sifat buruk yang dimiliki seorang anak.

Jika ingin serius membenahi permasalahan karakter bangsa, maka pemahaman dan kompetensi guru harus terus ditingkatkan. Guru harus benar-benar paham esensi setiap nilai-nilai moral dari karakter yang akan diajarkan. Kalau gurunya saja tidak mampu menginterpretasikan nilai-nilai moral yang tersirat dalam buku teori kedalam aktivitas kehidupan sehari-hari, maka kita hanya akan melahirkan generasi yang tahu bahwa berbuat tidak baik itu dilarang, tetapi jika itu menguntungkan, maka ada toleransi bagi pelanggarnya. Sungguh berbahaya.

Orang-tua harus segera sadar bahwa di tangannya lah bibit-bibit karakter baik itu berada. Jika orang tua sadar dan berusaha menjadi pribadi yang baik untuk diri sendiri dan keluarga, maka anak akan meneladani hal tersebut. Sekolah juga harus terus mengasah kepekaan guru terhadap esensi dari pendidikan karakter. Suka tidak suka gurulah yang memiliki andil besar disamping orang tua sebagai penanam nilai-nilai moral yang pada akhirnya akan membentuk karakter anak. Semoga lewat orang tua dan guru-guru yang berkarakter bangsa ini akan terus melahirkan generasi yang berkarakter.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun