Mohon tunggu...
Dela Tiara Putri
Dela Tiara Putri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hi, thank you for checking my profile. My name is Dela Tiara Putri, a science education student based in Ponorogo, Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Jeritan Bumi: Panggilan Terakhir dari Ibu Alam

5 Oktober 2023   13:21 Diperbarui: 5 Oktober 2023   13:28 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Di ufuk yang jauh, bumi meratap dalam dukacita yang mendalam, merajut benang kesedihan yang tak terucapkan. Gemuruh samudera, suara gelombang yang mengguncang, memanggil dari lubuk hati alam, sebuah seruan yang tak dapat diabaikan oleh manusia.

Gunung-gunung es menangis, air mata yang membeku, mengalir deras ke lembah-lembah yang rapuh. Mereka menyanyikan lagu kepedihan, mengisahkan rindu akan masa keemasan alam. Hutan-hutan kuno menangis, dedaunan gugur dalam kesedihan, menyisakan kenangan indah yang kini menghilang dalam kabut kelam.

Mereka merindukan ketika udara masih bersih, saat matahari bersinar hangat tanpa cela. Langit yang kini kelam, menyaksikan dengan mata yang berlinang, biru cerah yang telah pudar oleh jejak-jejak manusia. Angin berbisik, membawa pesan-pesan masa lalu, memori tentang keelokan yang tak terlupakan, kecantikan yang kini terancam punah.

Tapi, manusia, janganlah melupakan akar sejarahmu yang terikat rapat dengan alam ini. Kekuatan besar ada di tanganmu, untuk memutar roda nasib. Satu langkah kecil, satu tindakan berani, dimulai dari hati yang mencintai dan melindungi, untuk bumi, rumah kita, yang terus menangis pilu.

Bumi adalah bunda yang memeluk kita dalam kandungannya, memberikan kehidupan dan melahirkan keindahan. Namun, dengan tangan kita sendiri, kita telah menggores luka dalam-dalam di hati ibu ini. Saat es mencair dan ombak membanjiri daratan, itu adalah jeritan luka bumi, panggilan terakhir dari ibu yang tersakiti. Saat hutan-hutan terbakar dan keheningan hutan digantikan oleh gemuruh kobaran api, itu adalah jeritan kesedihan alam yang terpingkal.

Mengundang kita untuk kembali ke pangkuan alam, mendengarkan bisikan angin yang membawa pesan yang menggetarkan jiwa, merasakan belaian lembut tanah di bawah telapak kaki, dan memandang keindahan alam yang masih tersisa dengan mata yang jernih. Dalam keheningan itu, mungkin terdengar suara pelan dari jantung bumi yang rapuh: "Kembalilah, manusia, dan lindungilah aku." Di tangan kita terletak kekuatan untuk memutar balik cerita, untuk menggandeng erat tangan ibu alam dan memulihkan keselarasan yang telah terkoyak.

Bersama-sama, kita bisa membawa perubahan. Mengurangi jejak karbon, menganjurkan energi yang ramah lingkungan, dan merangkul setiap wujud kehidupan adalah langkah kecil yang membawa makna besar dalam menjaga bumi ini. Dengan hati yang penuh cinta dan tekad yang bulat, kita dapat mengembalikan senyuman pada wajah ibu bumi, memastikan bahwa jeritan luka tak lagi menggema dan bahwa cinta kita akan bersemi di setiap helai rumput yang bergoyang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun