Pada hari Rabu, 22 Februari 2023 IAIN Ponorogo kedatangan Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang dalam acara Ekspos Produk Akademik dan Seminar Penguatan Moderasi Beragama, dengan tema "Moderasi Beragama sebagai Modal Hidup Rukun Antar Umat Beragama". Acara ini bertujuan untuk penguatan moderasi beragama khususnya di lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam. Mahasiswa sangat antusias mengikuti acara ini, bahkan ada yang duduk di lantai. Di bagian belakang juga terdapat stand buku, yang bisa dikunjungi mahasiswa.
Acara pembukaan diawali dengan sambutan dari kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang, kemudian dibuka oleh ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Mahasiswa IAIN Ponorogo. Selanjutnya menyanyikan lagu Indonesia raya dan Mars Kemenag RI. Sebelum acara inti dimulai, pihak kampus menampilkan pagelaran Reyog Ponorogo yang berasal dari UKM Paguyuban Seni Reyog Mahasiswa Watoe Dhakon.Â
Dalam pementasan tersebut juga diselingi musik mars Syubbanul Wathan yang artinya cinta tanah air. Adanya musik tersebut menambah suasana moderasi yang selaras dengan tujuan seminar ini. Tidak sedikit mahasiswa yang mengabadikan penampilan reyog ini, sehingga banyak yang berdiri untuk bisa mengambil gambar.
Narasumber seminar ini ada tiga yang berasal dari UIN Walisongo Semarang. Diantaranya ada Prof. Dr. Syamsul Maarif, M.Ag. yang saat ini menjabat sebagai Dekan Fakultas Psikologi dan Kesehatan UIN Walisongo Semarang (2019 - sekarang), dan Pengasuh Ponpes Mahasiswa al-Khawarizmi Mijen Semarang.
Sama halnya tujuan di awal, pemaparan materi ini terkait dengan penguatan moderasi beragama. Di era sekarang ini, pemerintah sedang gencar-gencarnya mencanangkan moderasi beragama sebagai prioritas dari pembangunan nasional. Hal ini karena Indonesia sendiri terbentuk dari keragaman, baik suku, bahasa, ras, maupun agama. Namun, realitas sekarang keberagaman dalam kehidupan makin menurun. Untuk itu perlu memelihara keragaman supaya Negara Indonesia tetap utuh selamanya. Hal ini perlu dilakukan terutama sejak di bangku sekolah, agar ketika terjun ke masyarakat memiliki pedoman untuk selalu bermoderasi beragama.
Dalam hal menjaga keutuhan Negara Indonesia ini yang terpenting adalah keselarasan hidup bersama, meskipun beraneka ragam sehingga nantinya memiliki rasa tenggang rasa dan toleransi. Tenggang rasa dimaknai sebagai kemampuan dan kesediaan untuk mengendalikan diri, sedangkan toleransi adalah menghormati perbedaan. Dalam konteks kehidupan beragama, maka kita harus menciptakan kehidupan beragama yang moderat, di mana dari berbagai keyakinan dapat membangun kehidupan yang harmonis tanpa ada perselisihan. Lembaga Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag) menjadi leading sektor moderasi beragama karena dianggap andal dan profesional untuk mewujudkan manusia yang sholeh, cerdas, dan moderat. Sebab embrio dari ketegangan sosial itu biasanya dipicu oleh sentimen keagamaan yang memaksakan tafsir keimanan kepada kelompok lain. Sehingga perlu pencegahan sejak dini.Â
Pemerintah melalui Kemenag memiliki tugas untuk mengedukasi dan melatih kepada masyarakat secara umum terutama mahasiswa, sebagai tindakan preemtif. Sebelum seseorang terpapar akan paham yang ekstrem, kemenag perlu melatih dan mendidik masyarakat supaya dapat beragama yang baik atau yang sejalan dengan ajaran agama (shiratul mustaqim) ketika di masyarakat. Target 2023 edukasi moderasi beragama bukan hanya di instansi kementerian agama, tetapi merambah keluar, yaitu bisa ke kementerian lainnya.Â
Sekarang ini kekerasan bukan hanya sekadar saling menyiderai, kerusakan fisik atau barang orang lain. Terdapat juga kekerasan berbasis agama yang tidak lain adalah pikiran dan tindakan yang berdampak pada humanisme. Ketika seseorang sudah terpapar ideologi ekstrem baik kanan atau kiri, maka akan membahayakan dirinya dan juga orang lain. Karena dia akan mengklaim subjektif keagamaan dan membenarkan pada salah satu tafsir agama saja dan menganggap yang lain itu salah. Nah, hal-hal semacam ini bisa dilakukan oleh banyak orang karena beberapa alasan, antara lain mengalami krisis ekonomi, krisis teologi, krisis pendidikan, ketidakadilan dalam pemerintah, sehingga akan berusaha menemukan pembenaran sampai titik penghabisan.Â
Organisasi keagamaan, seperti NU dan Muhammadiyah perlu memahami persoalan-persoalan dasar di masyarakat ekstremitas sehingga dapat memproyeksi moderasi beragama di Indonesia. Terorisme itu bisa dikatakan tidak memiliki agama, jadi jangan dihubungkan dengan Islam. Karena Islam adalah agama yang penuh cinta dan kasih. Kita harus bisa melawan semua bersama-sama. Jangan kalah dengan imajinasi mereka yang membawa teror-teror.Â