Delapan tahun lalu, Presiden Jokowi menggagas program BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit) untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan petani sawit. Namun, dari target peremajaan sawit rakyat (PSR) 500 ribu hektar per 3 tahun, baru sekitar 180 ribu hektar yang tercapai. Mengapa program tersebut berjalan begitu lambat?
Saat ini, harga sawit sedang tinggi-tingginya, bayangkan jika telah dilakukan peremajaan 5 tahun lalu, berarti sekarang petani sedang menikmati panen dan keuntungan yang besar. Sayang, tidak semua petani sawit swadaya dapat menikmatinya. Padahal setelah peremajaan, produktivitas bisa ditingkatkan.
Satu role model yang berhasil berkat mengikuti program PSR BPDPKS adalah KUD Muktijaya, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan.  Bambang Gianto sebagai Ketua KUD Muktijaya mengatakan bahwa komoditas unggulan mereka ialah sawit dan karet. Pemerintah Daerah Banyuasin memfokuskan peningkatan produktivitas terhadap kedua unggulan tersebut. Mengetahui hal ini, tahun 2017, Presiden Jokowi menanam benih sawit di Banyuasin sebagai daerah pertama kali diimplementasikan program PSR.
Dampak positif dari BPDPKS
Yang kemudian menghasilkan pencapaian-pencapaian, terdiri dari: lembaga yang turut serta dalam PSR sejumlah 38; luas Rekomtek sebesar 16.625,50 ha; lahan yang diremajakan seluas 15.573 Â ha; dan telah panen dari lahan sebesar 6.230 ha dengan produktivitas 1 sampai 1,96 ton/hektar tanaman berusia 26---46 bulan. Mereka pun telah menerapkan ISPO dengan membentuk Tim MSPOI (Musi Banyuasin Sustainable Palm Oil Initiative). Pada tahun 2020, sesuai Perpres No. 109 tahun 2020 tentang percepatan pelaksanaan proyek strategis Nasional (PSN) poin 199, Musi Banyuasin terpilih sebagai pilot project pengembangan teknologi produksi IVO dan bensin sawit, bekerja sama dengan ITB, yang terintegrasi dengan kebun rakyat sawit.
'Bicara pengalaman, ada yang manis dan ada yang pahit, " ucap Bambang Gianto. Yang manis-manis telah diutarakan di atas.Â
Kendala Program Peremajaan Sawit
Lambatnya program BPDPKS, tak lepas dari kasus-kasus yang ditemukan di lapangan. Namun, ada dua hal utama yang menyebabkan program BPDPKS berjalan pelan, yaitu perihal kelembagaan dan legalisasi. Para petani KUD Muktijaya pun merasakan hal yang sama.
Ia bercerita waktu itu setelah peremajaan, muncul rasa khawatir petani termasuk pemerintah, apakah TBS akankah berkualitas dan dapat dibeli, karena selama ini pembelinya hanya mitra. Kendala lainnya perihal kelembagaan, pendampingan, dan status sertifikat. Satu dari syarat pengajuan BPDPKS, petani swadaya harus bergabung ke komunitas, KUD, atau asosiasi. Tidak semua petani tahu keberadaan 3 bentuk perkumpulan itu bahkan di daerahnya sendiri. Tidak semua pun terbiasa dalam pengurusan lembaga, termasuk membuat proposal, padahal ini utama dilakukan. Soal status sertifikat juga membuat petani resah, terlebih yang memiliki lahan lebih dari 25 tahun, tapi berada di kawasan hutan. Belum ditambah tata pengelolaan kebun yang baik. Kendala di atas terjadi di Banyuasin, belum di daerah lain. Di daerah lain, tidak sedikit yang bermasalah dengan digital, makanya, pendampingan dibutuhkan dari sisi administrasi sampai pengelolaan lahan.
Permasalahan di atas tidak membuat para petani di Banyuasin tinggal diam. Karena setiap masalah ada solusi. Beberapa hal yang mereka lakukan, yakni pertama, mendorong pembentukan KUD sekaligus mencegahnya saling ganggu di antara mereka; kedua, membuat role model tambahan, yaitu membangun kelembagaan dengan tidak meninggalkan prinsip kemitraan, serta membawa lembaga pada bargaining position, terutama dalam menentukan off taker dan kemitraan saat tanaman memasuki awal panen; ketiga, mereka juga memerlukan pendamping untuk menentukan pendamping, mitra, dan off taker, juga pendampingan untuk pembuatan RAB, memenuhi kebutuhan dokumen, teknis dalam peremajaan yang berorientasi pada penerapan GAP (Good Agricultural Practices).