Mohon tunggu...
DELA MAYA SARI
DELA MAYA SARI Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi Program Studi S1 Psikologi Universitas Muhammadiyah Banjarmasin

Dela Maya Sari seorang mahasiswi Program Studi S1 Psikologi Universitas Muhammadiyah Banjarmasin, berasal dari Kabupaten Tapin di Provinsi Kalimantan Selatan.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Kenyataan Pahit di Balik Romantisasi Gangguan Mental

20 Juni 2024   14:44 Diperbarui: 20 Juni 2024   17:36 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Self-diagnose merupakan fenomena yang ramai dilakukan generasi Z. Lahir di era digital, menjadikan mereka terbiasa mencari informasi mandiri melalui internet sejak dini tanpa pengawasan intensif orangtua. Mudahnya akses terhadap gejala gangguan mental di media sosial membuat generasi Z cenderung mengaitkan sensasi fisik dan emosi sepele dengan diagnosis tertentu tanpa validasi tenaga ahli. Dorongan untuk berbagi cerita antar teman sebaya serta prestise diri untuk terlihat "unik" melalui klaim memiliki kondisi "trendi" justru mempercepat praktik self-diagnose.

Menurut Srivastava (2016) dalam (Lorensya, E. A., 2021) Self-diagnose adalah proses ketika seseorang berupaya untuk mengamati dan mengenali gejala serta kondisi kejiwaan yang dimiliki berlandaskan pengetahuan pribadi maupun informasi yang didapat secara online, namun tanpa melalui konsultasi dengan tenaga medis yang kompeten. Akibat dari tindakan diagnosis sendiri ini dapat berpotensi menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap penilaian resmi dokter mengenai diagnosis pasien yang sebenarnya. Selain itu, diagnosis diri yang belum divalidasi juga berisiko mengurangi rasa empati masyarakat terhadap orang-orang yang memang memerlukan perlakuan khusus untuk masalah kesehatan jiwa mereka (Nurhanifah, et al., 2023).

Kegemaran generasi Z dalam melakukan self-diagnose memperparah dampak negatif dari romantisasi gangguan mental di berbagai platform media sosial seperti Instagram, twitter, tiktok dan berbagai platform lain dengan menyatakan hashtag #Bipolar, #Anorexia, #Cutting dan hashtag gangguan-gangguan mental lainnya. Apalagi banyaknya influencer yang membagikan hari-harinya yang mengalami salah satu gangguan mental, namun tidak terlihat melakukan perawatan ataupun berdiskusi pada dokter. Hal tersebut semakin menguatkan persepsi bahwa gangguan mental hanyalah tren dan bukan masalah kesehatan yang serius. Romantisasi ini juga menjadikan menurunnya empati terhadap pasien yang membutuhkan perawatan medis dan meningkatkan stigma bahwa gangguan mental itu menarik dan unik serta dapat dijadikan alat untuk menarik perhatian.

Sebenarnya apa sih yang dimaksud dengan romantisasi gangguan mental?

Menurut Mulveen dan Hepworth (2006), Istilah "romantisasi gangguan" merujuk pada cara menggambarkan suatu kondisi gangguan mental yang cenderung hanya menonjolkan sisi positifnya saja, tanpa menjelaskan dampak medis yang sebenarnya. Hal ini bisa membingungkan orang untuk membedakan antara gejala penyakit dengan gaya hidup.

Penelitian Whitlock et al (2006) menganalisis konten di situs web pro-self harm. Penelitian ini menemukan bahwa banyak konten di situs-situs ini menggambarkan self harm sebagai cara untuk mengungkapkan diri dan melepaskan stres, bukan sebagai gejala gangguan mental. Konten-konten ini justru menggencarkan ide bahwa self harm merupakan pilihan gaya hidup.

Kasus self harm seperti cutting dimaknai sebagai ekspresi diri yang indah dan memikat, luka tersebut dipublikasikan dengan hashtag seperti #cuttergirl atau #cuttersanonymous. Self harm juga banyak dipromosikan sebagai gaya hidup melalui tato, aksesoris bahkan sampai lukisan maupun karya seni  yang menampilkan luka cutting sebagai simbol keindahan atau kekuatan diri, padahal dari hal tersebut dapat menimbulkan minat berbahaya khususnya di kalangan remaja.

Romantisasi gangguan mental yang terjadi berpotensi merugikan kesehatan masyarakat yang dimana dapat melemahkan deteksi dini pada gejala mental yang seharusnya membutuhkan perawatan. Hal ini juga melemahkan stigma bahwa gangguan mental itu memerlukan penanganan yang serius, sehingga menjadikan terhambatnya akses perawatan  bagi penderita, karena dianggap sebuah candaan dan memperburuk kesehatan pasien yang mengalami gangguan. Oleh karena itu, kita perlu lebih cermat dalam mengonsumsi informasi terkait kesehatan mental agar tidak terpengaruh secara berlebihan. Sejumlah pihak terkait seperti pengelola media digital dan pemerintah turut dituntut untuk memberikan sosialisasi mengenai bahaya romantisasi tersebut. Dengan kerja sama yang kita lakukan, diharapkan dapat meminimalkan efek merugikan akibat tren ini sekaligus meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesehatan mental.

Marilah kita bersama membangun masyarakat yang peduli terhadap kondisi kejiwaan sesama!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun