(Oleh: Dela Aptika Gusani)
"Dan terasalah olehku betapa gampangnya orang yang hidup dalam kesengsaraan itu kadang-kadang --dengan diam-diam-- menikmati kebahagiaan.."
(Pramoedya Ananta Toer)
Itu sudah berbulan-bulan yang lalu sejak raga ini meninggalkan Dusun Punti Tapau dan Punti Meraga Desa Nekan, Entikong. Namun, jiwa dan ingatan ini seakan tak pernah lepas darinya. Entikong yang merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Sanggau ini adalah wilayah perbatasan Kalimantan Barat Indonesia dengan negeri Serawak Malaysia. Sebulan petualangan hidup di Entikong saya jalani dalam rangka Kuliah Kerja Nyata (K2N) UI 2010 bersama dengan 9 orang teman saya yang lain, 1 orang kakak pendamping dan 1 orang dosen pembimbing.
30 hari yang takkan terlupakan, anugerah yang sangat indah dari Tuhan, sebulan penuh pembelajaran dan arti hidup. Tumbuhnya persaudaraan dari orang-orang yang sebelumnya mungkin tak pernah terbayangkan untuk bertemu. Saya disini mereka disana, kita saudara sebangsa tapi tak saling mengenal. Begitu juga dengan teman-teman seperjuangan, lebih dari persahabatan terjalin diantara kita yang baru saling mengenal sebulan sebelum keberangkatan. Ya, kita adalah keluarga.
Perjalanan kami dimulai di pagi buta itu di 1 Juli 2010. Setelah penerbangan ke Pontianak, Saya dan rombongan melanjutkan perjalanan menggunakan bis jurusan Pontianak-Entikong, sedikit lebih bagus dibanding metromini Jakarta, selama kurang lebih 8 jam hingga Entikong. Hari itu, hujan dan pelangi menyambut kedatangan kami. Perjalanan pun dilanjutkan esok paginya dengan menggunakan ojeg menempuh jalanan off road selama kurang lebih 30 menit. Lintasan dengan view yang sungguh menawan tetapi juga sangat cukup membuat sport jantung.
Hanya 30 menit jarak yang memisahkan. Namun, kehidupan terasa berubah. Tidak ada listrik. Sinyal handphone pun hanya ada di satu titik, di depan gereja Katolik Punti Meraga yang merupakan daerah tertinggi di Dusun Punti Tapau dan Punti Meraga. Hewan ternak dimana-mana. Kondisinya telah jauh berbeda dari Entikong sekalipun. Apalagi jika dibandingkan dengan hiruk pikuk kota metropolitan Jakarta.
Terdapat satu SD yang juga merupakan satu-satunya sekolah di sini, yaitu SDN 04 Punti Tapau. Sekolah lanjutan berada jauh dari kampung. Oleh karena itu, banyak diantara mereka yang putus sekolah. Mayoritas memang hanya mengenyam pendidikan hingga bangku sekolah dasar. Tahun itu saja, hanya 4 orang anak yang beruntung bisa melanjutkan pendidikan mereka ke SMP.
Fasilitas kesehatan pun tidak dijumpai disini. Jika sakit, mereka biasanya berobat ke dukun kampung atau ke Puskesmas yang berada di kecamatan. Di kecamatan Entikong hanya terdapat satu orang bidan, Ibu Anastasya yang sangat menginspirasi. Beliau telah cukup berumur tapi masih sangat kuat menempuh sulitnya perjalanan ke 6 wilayah desa di Entikong melewati jalanan licin penuh rintangan, menempuh derasnya arus sungai berjam-jam, dan mendaki gunung untuk melaksanakan Posyandu bulanan.
Keluarga
Selalu merindukan keluarga ini, keluarga Pak Kiyong yang baik hati. Terimakasih sudah menjadi orangtua, nenek dan saudara-saudara yang sangat menyayangi kami dan begitu terbukanya menerima kami. Bapak yang punya banyak cerita dan petuah, Ibu yang mencintai kami layaknya anak sendiri, si adek cantik Cil Cicilia Nova yang selalu memberi keceriaan, Ongki "anak gaul" yang selalu sedia membantu kami, dan nenek yang meskipun sudah tua masih mampu membersihkan lada setiap harinya. Terimakasih Tuhan, Engkau berikan hamba keluarga kedua yang sangat sempurna ini.
Anak-anak