Perspektif Demografis dan Politik
Kebijakan transmigrasi, terutama di Papua, tidak hanya menjadi masalah sosial tetapi juga merupakan isu politis yang mengancam keberlangsungan OAP. Dalam pandangan ahli demografis politik, seperti yang disampaikan oleh Dr. Riwanti Tirtosudarmo dalam webinar HIPMAPA-SALATIGA (8 November 2024), transmigrasi lebih dilihat sebagai sebuah ideologi politik yang tidak mempertimbangkan secara serius dampaknya terhadap OAP. Dr. Riwanti berpendapat bahwa, meskipun transmigrasi di Indonesia sering diposisikan sebagai solusi untuk pemerataan penduduk, kebijakan ini berisiko memperburuk ketimpangan sosial di Papua, memperbesar kesenjangan antara OAP dan kelompok pendatang, serta memperburuk konflik horizontal antara kedua kelompok tersebut.
Program transmigrasi yang dijalankan dengan tujuan pemerataan penduduk justru bisa menciptakan ketimpangan yang lebih besar, karena sebagian besar pendatang baru datang dengan sumber daya dan dukungan yang lebih kuat dari pemerintah pusat, sementara OAP masih menghadapi kesulitan dalam hal akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur yang layak. Dalam hal ini, kebijakan transmigrasi tidak hanya tidak efektif, tetapi juga tidak adil.
Perspektif Hak Asasi Manusia (HAM)
Dari sudut pandang HAM, transmigrasi di Papua mengancam hak-hak dasar OAP, termasuk hak atas tanah, hak untuk mempertahankan budaya dan bahasa mereka, serta hak untuk mengakses pembangunan yang adil. Wiliam Walela, seorang tokoh pemuda Papua, dalam webinar HIPMAPA-SALATIGA (8 November 2024), mengungkapkan bahwa transmigrasi menambah tekanan pada hak-hak politik dan ekonomi OAP. Selain itu, transmigrasi yang tidak berbasis pada prinsip keadilan sosial berpotensi memperburuk ketegangan antara pendatang dan masyarakat lokal, bahkan dapat memperburuk pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat adat di Papua.
Transmigrasi sering kali dilaksanakan tanpa memperhitungkan perasaan dan keberadaan OAP yang sudah lama menghuni tanah tersebut. Banyak dari mereka yang merasa bahwa tanah mereka telah dirampas oleh kebijakan ini, sementara mereka tetap terpinggirkan dalam hal pembangunan sosial dan ekonomi.
Dampak Ekologis dan Sosial Budaya
Dari perspektif ekologis dan etnolinguistik, transmigrasi di Papua juga membawa dampak yang sangat merugikan. Melkior NN Sitokdana, seorang dosen dan penasihat HIPMAPA-SALATIGA, dalam webinar HIPMAPA-SALATIGA (8 November 2024), menekankan bahwa transmigrasi dapat merusak ekosistem yang ada di Papua, menghancurkan hutan adat, dan mengancam keberlanjutan kehidupan masyarakat adat yang bergantung pada hutan dan sumber daya alam lainnya. Program transmigrasi juga berpotensi memperburuk kerusakan lingkungan yang sudah ada, seperti deforestasi, yang pada akhirnya akan berdampak pada ketahanan pangan dan kehidupan masyarakat adat.
Selain itu, kebijakan transmigrasi dapat memperburuk kerusakan sosial dan budaya. OAP yang sudah berabad-abad hidup dengan budaya dan tradisi mereka sendiri, merasa terancam oleh kehadiran kelompok pendatang yang datang dengan pola hidup dan budaya yang berbeda. Ketegangan sosial dan konflik horizontal dapat meningkat, dan pada akhirnya, identitas budaya OAP yang kaya bisa tergerus seiring berjalannya waktu.
Kesimpulan dan Solusi
Kebijakan transmigrasi di Papua, meskipun dilatarbelakangi oleh niat untuk pemerataan pembangunan, membawa berbagai dampak negatif yang mengancam eksistensi OAP, baik secara sosial, budaya, politik, maupun ekologis. Oleh karena itu, perlu ada evaluasi menyeluruh terkait dampak kebijakan ini, dengan mempertimbangkan suara dan hak-hak masyarakat adat Papua. Program pembangunan di Papua seharusnya lebih fokus pada peningkatan kualitas hidup OAP melalui pendidikan, kesehatan, dan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.