Mohon tunggu...
Deky B
Deky B Mohon Tunggu... Guru - Guru

Menghimpun tulisan para siswa SMAN 15 Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kesetiaan Kakek Penjual Jagung di Pinggir Jalan, Nadya Angelina XII-4

22 Oktober 2024   14:37 Diperbarui: 22 Oktober 2024   15:18 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kesetiaan Seorang Kakek Tua Penjual Jagung di Pinggir Jalan
Oleh Nadya Angelina Putri


Setiap pagi, dengan tubuh yang mulai rapuh, demi menyambung hidup kakek ini harus menopang dagangan jagungnya di atas seutas bambu. Bahu yang renta itu sudah terbiasa menanggung beban, mungkin sudah puluhan tahun, namun langkahnya tetap tenang, meski perlahan.


Di sebuah belokan yang tak terlalu ramai di dalam komplek, seorang kakek tua, Pak Samin, masih setia menjajakan jagung manisnya. "Jagung manisnya masih angat neng," kata Pak Samin sambil menyerahkan bungkusan jagung kepada seorang pelanggan. Suaranya sedikit parau, tapi terdengar ramah. Tangannya yang keriput cekatan membuka daun jagung, mengeluarkan aroma harum jagung rebus yang menguar.


Setiap pagi, Pak Samin berjalan dari rumahnya di ujung gang dekat pasar. Bopongannya selalu penuh jagung segar yang ia persiapkan sendiri. Jalan yang ia tempuh tak selalu mudah.

Meski usianya sudah lebih dari 75 tahun, ia masih mengandalkan kedua kakinya untuk menapaki aspal yang mulai memanas oleh matahari siang. Di bawah pohon teduh, ia berhenti, meletakkan bopongannya di tanah, dan menunggu pembeli datang.


"Saya udah jualan jagung dari dulu, pas masih muda," ujarnya. "Dulu, sama istri, yang nanam sendiri jagung di ladang. Sekarang mah beli, ngambil dari pasar."


Istrinya sudah tiada beberapa tahun lalu. Namun, bagi Pak Samin, menjual jagung bukan hanya sekadar cara untuk mencari nafkah. Ini adalah caranya mengenang masa-masa ketika ia dan istrinya bekerja bersama. "Jagung ini, punya cerita panjang," katanya dengan senyum kecil. 

"Dulu istri yang ngeladeni pembeli, sekarang saya sendiri."

Tak jarang, ia memberikan jagung lebih dari yang dibeli, terutama kepada anak-anak. "Saya senang ngelihat mereka senyum," katanya singkat, sambil mengusap keringat di dahinya. Meski hidup tak lagi mudah bagi Pak Samin, ia tak pernah mengeluh. Hari-harinya dihabiskan menjajakan jagung di jalanan, menawarkan rasa manis yang ia persiapkan dengan hati-hati. 

"Selama badan ini masih kuat, saya jalan terus," ujarnya dengan tekad yang tak mudah goyah.


Di mata banyak orang, mungkin Pak Samin hanya seorang kakek tua yang menjual jagung di pinggir jalan. Namun, bagi mereka yang mengenalnya, ia adalah bagian dari ritme kota kecil ini, simbol kesederhanaan dan ketekunan yang terus hidup, meski waktu tak lagi berpihak padanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun